Sunday, October 9, 2016

SEMANTIK (MAKNA DAN PENDEFINISIAN)

MAKALAH SEMANTIK (MAKNA DAN PENDEFINISIAN)

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Semantik adalah makna atau lebih tepat makna yang terdapat dalam satuan-satuan ujaran kata, frase, klausa, dan kalimat. Makna adalah persolan bahasa, tetapi keterkaitan dan keterkaitannya dengan segala segi kehidupan manusia sangat erat. Bahasa mampu menstransfer keinginan, gagasan, kehendak, dan emosi dari seorang manusia kemanusia lainnya.

1.2
Rumusan Masalah
1. Apakah pengertian makna!
2. Apakah yang dimaksud dengan tanda, lambang, konsep dan definisi makna!

1.3
Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui makna dan masalahnya!
2. Untuk memahami tanda, lambang, konsep, dan definisi makna!




BAB II
PEMBAHASAN


2.1  Pengertian Makna
Teori yang dikemukakan oleh Ferdinand de Saussure, bapak linguistik modern yang namanya sudah disebut-sebut pada bab pertama, yaitu mengenai yang disebut tanda linguistik (Prancis: signe’ linguitiqe). Menurut de Saussure setiap tanda linguistik terdiri dari dua unsur yaitu (1) yang diartikan (Prancis: signifie’, Inggris: signified) dan (2) yang mengartikan (Prancis: signfiant, Inggris: signifier). Yang diartikan (signifie’, signified) sebenarnya tidak lain dari pada konsep atau makna dari sesuatu tanda bunyi. Sedangkan yang mengartikan (signifian atau signifier) itu adalah tidak lain dari pada bunyi-bunyi itu, yang terbentuk dari fenom-fenom bahasa yang bersangkutan. Jadi, dengan kata lain setiap tanda-linguistik terdiri dari unsur bunyi dan unsur makna. Kedua unsur ini adalah unsur dalam-bahasa (intralingual) yang biasanya merujuk/mengacu kepada sesuatu referen yang merupakan unsur luar-bahasa (ekstralingual). Kalau dibagankan hubungan antara tanda-linguistik (bersama unsur bunyi dan makna) dengan unsur referennya adalah seperti tertera pada halaman 30.
Sebetulnya dalam bidang semantic istilah yang biasa digunakan untuk tanda-linguistik itu adalah leksem, yang lazim didefinisikan sebagai kata atau frase yang merupakan satuan bermakna (Harimurti 1982:98). Sedangkan istilah kata, yang lazim didefinisikan sebagai satuan bahasa yang dapat berdiri sendiri dan dapat terjadi dari morfem tunggal atau gabungan morfem (Harimurti 1982:76) adalah istilah dalam bidang gramatika. Dalam buku ini kedua istilah itu dianggap memiliki pengertian yang sama sebab, baik kata maupun leksem bisa berwujud kata tunggal maupun gabungan kata (frase kliomatik).  Bedanya hanya leksem adalah istilah dalam bidang semantik sedangkan kata adalah istilah dalam bidang gramatika.

Sebuah kata/leksem mengandung makna atau konsep itu. Makna atau konsep bersifat umum; sedangkan sesuatu yang dirujuk, yang berada di luar dunia bahasa, bersifat tertentu. Umpamanya kata , yang sudah kita sebut-sebut di atas mengandungd konsep meja pada umumnyad meja apa saja, atau segala macam meja. Jadi, merupakan abstraksi keseluruhan meja yang ada. Tetapi dalam dunia nyata, meja-meja yang dirujuk adalah bersifat tertentu; atau dengan kata lain dalam dunia nyata kita dapati berbagai macam meja dengan ukuran, bentuk, dan bahannya tidak sama.

Hubungan antara kata sebagai sign dengan maknanya atau konsepnya adalah bersifat langsung. Begitu juga hubungan antara makna itu dengan meja tertentu di dunia nyata juga bersifat langsung; tetapi hubungan antara kata dengan sebuah meja di dunia nyata tidak bersifat langsung. Maka itu, dalam bagan di atas hubungan antara kata dengan referennya ditandai dengan garis terputus-putus.

Hubungan antara kata dengan maknanya, seperti sudah disebutkan pada bab terdahulu, memang bersifat arbiter. Artinya, tidak ada hubungan wajib antara deretan fenom pembentuk kata itu dengan maknanya. Namun, hubungannya bersifat kovensional. Artinya, disepakati oleh setiap anggota masyarakat suatu bahasa untuk mematuhi hubungan itu; sebab kalau tidak, komunikasi verba yang dilakukan akan mendapat hambatan. Oleh karena itu, dapat (atau lebih tepat lagi: makna sebuah kata) tidak akan berubah. Secara diakronis ada kemungkinan bisa berubah sesuai dengan perkembangan budaya dan masyarakat yang bersangkutan.
Persoalan kita sekarang: Apakah setiap kata merujuk kepada suatu referen? Atau apakah setiap kata mempunyai referen? Jika diteliti, ternyata tidak semua kata mempunyai referen. Kata-kata yang termasuk kelas nomina, kelas verba dan ajektifa memang selalu merujuk kepada referen; tetapi kata-kata yang disebut preposisi seperti di, ke, dan dari, dan yang disebuat konjungsi seperti kalau, meskipun, dan karena tidak merujuk kepada suatu referen. Kata-kata yang tidak mempunyai referen disebut kata-kata yang tidak bermakna referensial; sedangkan yang mempunyai referen disebut kata-kata yang bermakna referensial.
Persoalan lain, kita dapat memahami bahwa referen kata kaki adalah kaki anggota tubuh manusia (juga binatang); tetapi bagaimana dengan referen kata kaki pada bentuk kaki gunung, atau kaki meja? Menurut Verhaar referen kata kaki tetap kaki sebagai anggota tubuh manusia dan bukan pada sesuatu yang lain seperti pada gunung atau meja. Pada bentuk kaki gunung dan kaki meja kata kaki digunakan atau dipakai untuk merujuk pada sesuatu yang lain secara metaforis, secara perbandingan. Di sini salah satu cirri makna kaki, yaitu terletak disebelah bawah, perbandingan dengan bagian bawah dari gunung itu. Pada bentuk kaki meja, salah satu ciri makna kaki yaitu penopang berdirinya meja itu.sssss
Jadi, referen sebuah kata adalah tetap, tidak berubah. Adanya kesan tidak tetap atau berubah itu adalah karena digunakannya kata itu secara metaforis.

2.2  Informasi
Makna adalah unsur dari sebuah kata atau lebih tepat sebagai gejala-dalam-ujaran (Utterance-internal-phenomenon). Maka dari itu, ada prinsip umum dalam semantic yang menyatakan bahwa kalau bentuk (maksudnya bentuk kata atau leksem) berbeda maka makna pun berbeda, meskipun barangkali perbedaannya itu hanya sedikit. Jadi, kata ayah dan bapak karena bentuknya berbeda maka maknanya pun berbeda. Contoh lain, seorang ayah setelah memerika buku rapor anaknya, dan melihatd bahwa angka-angka  dalam buku rapor itu banyak yang merah, berkata kepada anaknya dengan nada memuji “Rapormu bagus sekali, Nak!”. Jelas, dia tidak bermaksud memuji sebenarnya bermaksud menegur atau mungkin juga mengejek anaknya itu.

Maksud banyak digunakan dalam bentuk-bentuk ujaran yang disebut metafora, ironi, litotes, dan bentuk-bentuk gaya bahasa lain. Selama masih menyangkut segi bahasa maka maksud itu masih dapat disebut sebagai persoalan bahasa. Tetapi kalau sudah terlalu jauh dan tidak berkaitan lagi dengan bahasa maka sudah tidak dapat lagi disebut sebagai persoalan bidang studi lain; entah filsafat, antropologi, atau juga psikologi.

2.3  Tanda, Lambang, Konsep, dan Definisi
Tanda dalam bahasa Indonesia pertama-tama adalah berarti ‘bekas’. Pukulan rotan yang cukup keras pada punggung akan memberi bekas. Bekas pukulan itu, yang berwarna kemerahan, menjadi tanda akan telah terjadi suatu pukulan dengan rotan pada tempat tersebut. Pada pagi hari secerah sinar matahari yang masuk ke dalam kamar melalui celah-celah dinding merupakan tanda bahwa hari sudah siang. Terdengarnya suara azan atau bunyi beduk dari sebuah mesjid menjadi tanda bahwa waktunya salah telah tiba. Menyalanya lampu lalu lintasd di simpang jalan menjadi merah menjadi tanda bahwa kita harus stop, tidak boleh berjalan terus. Dari contoh-contoh di atas kita dapat melihat bahwa tanda dengan hal yang ditandai dengan hal-hal berikut: (a) bunyi petir, (b) kokok ayam jantan di pagi hari, (c) asap mengepul yang tampak dari kejauhan, (d) seseorang yang terduduk dengan nafas yang tersengal-sengal (ngos-ngosan), dan (e) kulit tangan yang menebal (kapalan).

Lambang sebenarnya juga adalah tanda. Hanya bedanya lambing ini tidak member tanda secara langsung, melainkan melalui sesuatu yang lain. Warna merah pada bendera Sang Merah Putih merupakan lambing “keberanian”, dan warna putih merupakan lambing “kesucian”. Gambar padi dan kapas pada burung Garudad Pancasila melambangkan “keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia”, sedangkan banyaknya bulu burung garuda yang tujuh helai itu melambangkan bahwa proklamasi kemerdekaan terjadi pada tanggal 17 Agustus. Seperti kata Ogden dan Richard (1972:9) lambang ini bersifat konvensional, perjanjian; tetapi ia dapat diorganisasi, direkam, dan dikomunikasikan. Jadi, untuk mengetahui maksud lambang-lambang itu kita harus mempelajarinya.

Bunyi-bunyi bahasa atau satuan bahasa sebenarnya termasuk lambang sebab sifatnya konvensional. Untuk memahami makna atau yang diacu oleh bunyi-bunyi bahasa itu kita harus mempelajarinya. Tanpa mempelajarinya, orang Inggris tidak akan tahu bahwa dalam bahasa Indonesia itu adalah ‘table’ dalam bahasanya.

Lambang bahasa (entah berupa kata gabungan kata, maupun satuan ujaran lainnya) sama dengan lambang dan tanda-tanda dalam bidang lain “mewakili” suatu konsep yang berada di dunia idea tau pikiran kita. Umpamanya kata “mewakili” suatu konsep dalam benak kita berupa benda yang biasa digunkan sebagai tempat duduk dengan wujudnya yang sedemikian rupa sehingga nyaman untuk diduduki. Meskipun dalam dunia nyata ada sedemikian banyaknya jenis dan macam kursi tetapi gambaran abstrak akan konsep kursi itu sama. Oleh karena itu, ada kemungkinan bila seorang pengujar atau membacanya yang ditulis oleh seorang penulis, dia akan memiliki bayangan atau gambaran kursi yang tidak sama dengan yang dimaksud oleh si pengujar atau si penulis. Bisa terjadi si pengujar atau penulis memaksudkan yang dapat dilipat-lipat (dan biasa disebut kursi lipat) sedangkan si pendengar atau pembaca membayangkan kursi berjok empuk seperti yang diduduki seorang direktur dikantor perusahaan besar.
Konsep sebagai referen dari suatu lambang memang tidak pernah bisa “sempurna”. Oleh karena itulah kalau kita menyebut atau atau lambang apa saja, orang sering bertanya “apa yang Anda maksud dengan kursi itu?”, atau juga “apa atau siapa yang Anda maksud dengan pemuda itu?”. Semua ini membuat orang berusaha merumuskan konsep-konsep yang ada dalam dunia idenya dalam suatu rumusan yang disebut definisi atau batasan. Secara umum definisi atau batasan ini member rumusan yang lebih teliti mengenai suatu konsep, walaupun definisi itu sendiri seringkali juga banyak kelemahannya.

2.4  Beberapa Kaidah Umum
1)      Hubungan antara sebuah kata/leksem dengan rujukan atau acuannya bersifat arbiter. Dengan kata lain tidak ada hubungan wajib di antara keduanya.
2)      Secara sinkronik makna sebuah katad/leksem tidak berubah, secara diakronik ada kemungkinan berubah. Maksudnya, dalam jangka waktu terbatas makna sebuah kata tidak akan berubah, tetapi dalam jangka waktu yang relative tidak terbatas ada kemungkinan bisa berubah. Namun, bukan berarti setiap kata akan berubah maknanya.
3)      Bentuk-bentuk yang berbeda akan berbeda pula maknanya. Maksudndya, meskipun perbedaaannya sedikit, tetapi maknanya pasti akan berbeda. Oleh karena itu, dua buah kata yang disebut bersinonim pasti kesamaan maknanya tidak persis seratus persen. Pasti ada perbedaannya. Secara operasional hal ini dapat dibuktikan. Misalnya kata, kini dengan sekarang adalah dua buah kata yang bersinonim. Tapi kata sekarang dalam frase bininya yang sekarang… tidak dapat diganti dengan kata kini. Konstruksi *bininya yang kini adalah tidak gramatikal.
4)      Setiap bahasa memiliki sistem semantik sendiri yang berbeda dengan sistem semantik bahasa lain karena sistem semantik  itu berkaitan erat dengan sistem budaya masyarakat pemakai bahasa itu, sedangkan sistem budaya yang melatarbelakangi setiap bahasa itu tidak sama.
5)      Makna setiap kata/leksem dalam suatu bahasa sangat dipengaruhi oleh pandangan hidup dan sikap anggota masyarakat yang bersangkutan. Misalnya, makna kata babi pada kelompok masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama Islam tidak sama dengan kelompok masyarakat Indonesia yang bukan beragama Islam.
6)      Luasnya makna yang dikandung sebuah bentuk gramatikal berbanding terbalik dengan luasnya bentuk tersebut. Sebagai contoh bandingkan bentuk-bentuk:
(a)    Kereta
(b)   Kereta Api
(c)    Kereta Api Ekspres
(d)   Kereta Api Ekspres Malam
(e)    Kereta Api Ekspdres Malam Luas Biasa

Makna kereta pada (a) sangat luas, dan lebih luas dari (b); makna kereta pada (b) lebih luas daripadad (c); sedangkan (c) masih lebih luas daripada (d); dan dan makna (d) masih lebih luas dari makna (e).









BAB III
PENUTUP

3.1 Simpulan
Teori yang dikemukakan oleh Ferdinand de Saussure disebut tanda linguistik. Menurut de Saussure setiap tanda linguistik terdiri dari dua unsur yaitu (1) yang diartikan sebenarnya tidak lain dari pada konsep atau maknadari sesuatu tanda bunyi. (2) yang mengartikan  adalah tidak lain dari pada bunyi-bunyi, yang terbentuk dari fonem-fonem bahasa yang bersangkutan. Jadi, setiap tanda linguistik  terdiri dari unsur bunyi dan unsur makna


Tanda dalam bahasa indonesia adalah bekas, lambang adalah tanda,  konsep sebagai suatu lambang dalam suatu rumusan disebut definisi atau batasan. Efinisi atau batasan ini memberi rumusan yang lebih teliti mengenai suatu konsep.

No comments:

Post a Comment

PENGARUH KOMPETENSI GURU TERHADAP HASIL BELAJAR PADA PELAJARAN IPA SISWA KELAS IV SD

    PENGARUH KOMPETENSI GURU TERHADAP HASIL BELAJAR PADA PELAJARAN IPA SISWA KELAS IV SD      BAB I PENDAHULUAN   A.  ...