BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Semantik adalah makna atau
lebih tepat makna yang terdapat dalam satuan-satuan ujaran kata, frase, klausa,
dan kalimat. Makna adalah persolan bahasa, tetapi keterkaitan dan
keterkaitannya dengan segala segi kehidupan manusia sangat erat. Bahasa mampu
menstransfer keinginan, gagasan, kehendak, dan emosi dari seorang manusia kemanusia
lainnya.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apakah
pengertian makna!
2. Apakah
yang dimaksud dengan tanda, lambang, konsep dan
definisi makna!
1.3 Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui makna dan masalahnya!
2. Untuk memahami tanda, lambang, konsep, dan
definisi makna!
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Makna
Teori yang dikemukakan oleh
Ferdinand de Saussure, bapak linguistik modern yang namanya sudah disebut-sebut
pada bab pertama, yaitu mengenai yang disebut tanda linguistik (Prancis: signe’
linguitiqe). Menurut de Saussure setiap tanda linguistik terdiri dari dua unsur
yaitu (1) yang diartikan (Prancis: signifie’, Inggris: signified) dan (2) yang
mengartikan (Prancis: signfiant, Inggris: signifier). Yang diartikan
(signifie’, signified) sebenarnya tidak lain dari pada konsep atau makna dari
sesuatu tanda bunyi. Sedangkan yang mengartikan (signifian atau signifier) itu
adalah tidak lain dari pada bunyi-bunyi itu, yang terbentuk dari fenom-fenom
bahasa yang bersangkutan. Jadi, dengan kata lain setiap tanda-linguistik
terdiri dari unsur bunyi dan unsur makna. Kedua unsur ini adalah unsur
dalam-bahasa (intralingual) yang biasanya merujuk/mengacu kepada sesuatu
referen yang merupakan unsur luar-bahasa (ekstralingual). Kalau dibagankan
hubungan antara tanda-linguistik (bersama unsur bunyi dan makna) dengan unsur
referennya adalah seperti tertera pada halaman 30.
Sebetulnya dalam bidang semantic istilah yang biasa digunakan untuk tanda-linguistik itu adalah leksem, yang lazim didefinisikan sebagai kata atau frase yang merupakan satuan bermakna (Harimurti 1982:98). Sedangkan istilah kata, yang lazim didefinisikan sebagai satuan bahasa yang dapat berdiri sendiri dan dapat terjadi dari morfem tunggal atau gabungan morfem (Harimurti 1982:76) adalah istilah dalam bidang gramatika. Dalam buku ini kedua istilah itu dianggap memiliki pengertian yang sama sebab, baik kata maupun leksem bisa berwujud kata tunggal maupun gabungan kata (frase kliomatik). Bedanya hanya leksem adalah istilah dalam bidang semantik sedangkan kata adalah istilah dalam bidang gramatika.
Sebetulnya dalam bidang semantic istilah yang biasa digunakan untuk tanda-linguistik itu adalah leksem, yang lazim didefinisikan sebagai kata atau frase yang merupakan satuan bermakna (Harimurti 1982:98). Sedangkan istilah kata, yang lazim didefinisikan sebagai satuan bahasa yang dapat berdiri sendiri dan dapat terjadi dari morfem tunggal atau gabungan morfem (Harimurti 1982:76) adalah istilah dalam bidang gramatika. Dalam buku ini kedua istilah itu dianggap memiliki pengertian yang sama sebab, baik kata maupun leksem bisa berwujud kata tunggal maupun gabungan kata (frase kliomatik). Bedanya hanya leksem adalah istilah dalam bidang semantik sedangkan kata adalah istilah dalam bidang gramatika.
Sebuah kata/leksem mengandung makna atau konsep itu. Makna atau konsep bersifat umum; sedangkan sesuatu yang dirujuk, yang berada di luar dunia bahasa, bersifat tertentu. Umpamanya kata
Hubungan antara kata
sebagai sign dengan maknanya atau konsepnya adalah bersifat
langsung. Begitu juga hubungan antara makna itu dengan meja tertentu di dunia
nyata juga bersifat langsung; tetapi hubungan antara kata dengan
sebuah meja di dunia nyata tidak bersifat langsung. Maka itu, dalam bagan di
atas hubungan antara kata dengan referennya ditandai dengan garis terputus-putus.
Hubungan antara kata dengan
maknanya, seperti sudah disebutkan pada bab terdahulu, memang bersifat arbiter.
Artinya, tidak ada hubungan wajib antara deretan fenom pembentuk kata itu
dengan maknanya. Namun, hubungannya bersifat kovensional. Artinya, disepakati
oleh setiap anggota masyarakat suatu bahasa untuk mematuhi hubungan itu; sebab
kalau tidak, komunikasi verba yang dilakukan akan mendapat hambatan. Oleh
karena itu, dapat (atau lebih tepat lagi: makna sebuah kata) tidak akan
berubah. Secara diakronis ada kemungkinan bisa berubah sesuai dengan
perkembangan budaya dan masyarakat yang bersangkutan.
Persoalan kita sekarang: Apakah setiap kata merujuk kepada suatu referen? Atau apakah setiap kata mempunyai referen? Jika diteliti, ternyata tidak semua kata mempunyai referen. Kata-kata yang termasuk kelas nomina, kelas verba dan ajektifa memang selalu merujuk kepada referen; tetapi kata-kata yang disebut preposisi seperti di, ke, dan dari, dan yang disebuat konjungsi seperti kalau, meskipun, dan karena tidak merujuk kepada suatu referen. Kata-kata yang tidak mempunyai referen disebut kata-kata yang tidak bermakna referensial; sedangkan yang mempunyai referen disebut kata-kata yang bermakna referensial.
Persoalan lain, kita dapat memahami bahwa referen kata kaki adalah kaki anggota tubuh manusia (juga binatang); tetapi bagaimana dengan referen kata kaki pada bentuk kaki gunung, atau kaki meja? Menurut Verhaar referen kata kaki tetap kaki sebagai anggota tubuh manusia dan bukan pada sesuatu yang lain seperti pada gunung atau meja. Pada bentuk kaki gunung dan kaki meja kata kaki digunakan atau dipakai untuk merujuk pada sesuatu yang lain secara metaforis, secara perbandingan. Di sini salah satu cirri makna kaki, yaitu terletak disebelah bawah, perbandingan dengan bagian bawah dari gunung itu. Pada bentuk kaki meja, salah satu ciri makna kaki yaitu penopang berdirinya meja itu.sssss
Jadi, referen sebuah kata adalah tetap, tidak berubah. Adanya kesan tidak tetap atau berubah itu adalah karena digunakannya kata itu secara metaforis.
Persoalan kita sekarang: Apakah setiap kata merujuk kepada suatu referen? Atau apakah setiap kata mempunyai referen? Jika diteliti, ternyata tidak semua kata mempunyai referen. Kata-kata yang termasuk kelas nomina, kelas verba dan ajektifa memang selalu merujuk kepada referen; tetapi kata-kata yang disebut preposisi seperti di, ke, dan dari, dan yang disebuat konjungsi seperti kalau, meskipun, dan karena tidak merujuk kepada suatu referen. Kata-kata yang tidak mempunyai referen disebut kata-kata yang tidak bermakna referensial; sedangkan yang mempunyai referen disebut kata-kata yang bermakna referensial.
Persoalan lain, kita dapat memahami bahwa referen kata kaki adalah kaki anggota tubuh manusia (juga binatang); tetapi bagaimana dengan referen kata kaki pada bentuk kaki gunung, atau kaki meja? Menurut Verhaar referen kata kaki tetap kaki sebagai anggota tubuh manusia dan bukan pada sesuatu yang lain seperti pada gunung atau meja. Pada bentuk kaki gunung dan kaki meja kata kaki digunakan atau dipakai untuk merujuk pada sesuatu yang lain secara metaforis, secara perbandingan. Di sini salah satu cirri makna kaki, yaitu terletak disebelah bawah, perbandingan dengan bagian bawah dari gunung itu. Pada bentuk kaki meja, salah satu ciri makna kaki yaitu penopang berdirinya meja itu.sssss
Jadi, referen sebuah kata adalah tetap, tidak berubah. Adanya kesan tidak tetap atau berubah itu adalah karena digunakannya kata itu secara metaforis.
2.2 Informasi
Makna adalah unsur dari
sebuah kata atau lebih tepat sebagai gejala-dalam-ujaran (Utterance-internal-phenomenon).
Maka dari itu, ada prinsip umum dalam semantic yang menyatakan bahwa kalau
bentuk (maksudnya bentuk kata atau leksem) berbeda maka makna pun berbeda,
meskipun barangkali perbedaannya itu hanya sedikit. Jadi, kata ayah dan bapak
karena bentuknya berbeda maka maknanya pun berbeda. Contoh lain, seorang ayah
setelah memerika buku rapor anaknya, dan melihatd bahwa angka-angka dalam
buku rapor itu banyak yang merah, berkata kepada anaknya dengan nada memuji
“Rapormu bagus sekali, Nak!”. Jelas, dia tidak bermaksud memuji sebenarnya
bermaksud menegur atau mungkin juga mengejek anaknya itu.
Maksud banyak digunakan dalam
bentuk-bentuk ujaran yang disebut metafora, ironi, litotes, dan bentuk-bentuk
gaya bahasa lain. Selama masih menyangkut segi bahasa maka maksud itu masih
dapat disebut sebagai persoalan bahasa. Tetapi kalau sudah terlalu jauh dan
tidak berkaitan lagi dengan bahasa maka sudah tidak dapat lagi disebut sebagai
persoalan bidang studi lain; entah filsafat, antropologi, atau juga psikologi.
2.3 Tanda, Lambang, Konsep, dan Definisi
Tanda dalam bahasa Indonesia
pertama-tama adalah berarti ‘bekas’. Pukulan rotan yang cukup keras pada punggung
akan memberi bekas. Bekas pukulan itu, yang berwarna kemerahan, menjadi tanda
akan telah terjadi suatu pukulan dengan rotan pada tempat tersebut. Pada pagi
hari secerah sinar matahari yang masuk ke dalam kamar melalui celah-celah
dinding merupakan tanda bahwa hari sudah siang. Terdengarnya suara azan atau
bunyi beduk dari sebuah mesjid menjadi tanda bahwa waktunya salah telah tiba.
Menyalanya lampu lalu lintasd di simpang jalan menjadi merah menjadi tanda
bahwa kita harus stop, tidak boleh berjalan terus. Dari contoh-contoh di atas
kita dapat melihat bahwa tanda dengan hal yang ditandai dengan hal-hal berikut:
(a) bunyi petir, (b) kokok ayam jantan di pagi hari, (c) asap mengepul yang
tampak dari kejauhan, (d) seseorang yang terduduk dengan nafas yang tersengal-sengal
(ngos-ngosan), dan (e) kulit tangan yang menebal (kapalan).
Lambang sebenarnya juga
adalah tanda. Hanya bedanya lambing ini tidak member tanda secara langsung,
melainkan melalui sesuatu yang lain. Warna merah pada bendera Sang Merah Putih
merupakan lambing “keberanian”, dan warna putih merupakan lambing “kesucian”.
Gambar padi dan kapas pada burung Garudad Pancasila melambangkan “keadilan
social bagi seluruh rakyat Indonesia”, sedangkan banyaknya bulu burung garuda
yang tujuh helai itu melambangkan bahwa proklamasi kemerdekaan terjadi pada
tanggal 17 Agustus. Seperti kata Ogden dan Richard (1972:9) lambang ini
bersifat konvensional, perjanjian; tetapi ia dapat diorganisasi, direkam, dan
dikomunikasikan. Jadi, untuk mengetahui maksud lambang-lambang itu kita harus
mempelajarinya.
Bunyi-bunyi bahasa atau
satuan bahasa sebenarnya termasuk lambang sebab sifatnya konvensional. Untuk
memahami makna atau yang diacu oleh bunyi-bunyi bahasa itu kita harus
mempelajarinya. Tanpa mempelajarinya, orang Inggris tidak akan tahu bahwa
dalam bahasa Indonesia itu adalah ‘table’ dalam bahasanya.
Lambang bahasa (entah berupa kata gabungan kata, maupun satuan ujaran lainnya) sama dengan lambang dan tanda-tanda dalam bidang lain “mewakili” suatu konsep yang berada di dunia idea tau pikiran kita. Umpamanya kata
Konsep sebagai referen dari suatu lambang memang tidak pernah bisa “sempurna”. Oleh karena itulah kalau kita menyebut
2.4 Beberapa Kaidah Umum
1)
Hubungan
antara sebuah kata/leksem dengan rujukan atau acuannya bersifat arbiter. Dengan
kata lain tidak ada hubungan wajib di antara keduanya.
2)
Secara
sinkronik makna sebuah katad/leksem tidak berubah, secara diakronik ada
kemungkinan berubah. Maksudnya, dalam jangka waktu terbatas makna sebuah kata
tidak akan berubah, tetapi dalam jangka waktu yang relative tidak terbatas ada
kemungkinan bisa berubah. Namun, bukan berarti setiap kata akan berubah
maknanya.
3)
Bentuk-bentuk
yang berbeda akan berbeda pula maknanya. Maksudndya, meskipun perbedaaannya
sedikit, tetapi maknanya pasti akan berbeda. Oleh karena itu, dua buah kata
yang disebut bersinonim pasti kesamaan maknanya tidak persis seratus persen.
Pasti ada perbedaannya. Secara operasional hal ini dapat dibuktikan. Misalnya
kata, kini dengan sekarang adalah dua buah kata yang bersinonim. Tapi kata
sekarang dalam frase bininya yang sekarang… tidak dapat diganti dengan kata
kini. Konstruksi *bininya yang kini adalah tidak gramatikal.
4)
Setiap
bahasa memiliki sistem semantik sendiri yang berbeda dengan sistem semantik
bahasa lain karena sistem semantik itu berkaitan erat dengan sistem
budaya masyarakat pemakai bahasa itu, sedangkan sistem budaya yang
melatarbelakangi setiap bahasa itu tidak sama.
5)
Makna
setiap kata/leksem dalam suatu bahasa sangat dipengaruhi oleh pandangan hidup
dan sikap anggota masyarakat yang bersangkutan. Misalnya, makna kata babi pada
kelompok masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama Islam tidak sama dengan
kelompok masyarakat Indonesia yang bukan beragama Islam.
6)
Luasnya makna
yang dikandung sebuah bentuk gramatikal berbanding terbalik dengan luasnya
bentuk tersebut. Sebagai contoh bandingkan bentuk-bentuk:
(a)
Kereta
(b)
Kereta Api
(c)
Kereta Api Ekspres
(d)
Kereta Api Ekspres Malam
(e)
Kereta Api Ekspdres Malam Luas Biasa
Makna kereta pada (a) sangat
luas, dan lebih luas dari (b); makna kereta pada (b) lebih luas daripadad (c);
sedangkan (c) masih lebih luas daripada (d); dan dan makna (d) masih lebih luas
dari makna (e).
BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
Teori yang dikemukakan oleh
Ferdinand de Saussure disebut tanda linguistik. Menurut de Saussure setiap
tanda linguistik terdiri dari dua unsur yaitu (1) yang diartikan sebenarnya
tidak lain dari pada konsep atau maknadari sesuatu tanda bunyi. (2) yang
mengartikan adalah tidak lain dari pada bunyi-bunyi, yang terbentuk dari
fonem-fonem bahasa yang bersangkutan. Jadi, setiap tanda linguistik
terdiri dari unsur bunyi dan unsur makna
Tanda dalam bahasa indonesia
adalah bekas, lambang adalah tanda, konsep sebagai suatu lambang dalam
suatu rumusan disebut definisi atau batasan. Efinisi atau batasan ini memberi
rumusan yang lebih teliti mengenai suatu konsep.
No comments:
Post a Comment