BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Manusia adalah
makhluk Tuhan yang paling tinggi dibanding makhluk Tuhan lainnya. Manusia di
anugerahi kemampuan untuk berpikir, kemampuan untuk memilah dan memilih mana
yang baik dan mana yang buruk. Dengan kelebihan itulah manusia seharusnya mampu
mengelola lingkungan dengan baik.
Kemampuan untuk
berfikir inilah anugerah terbesar yang diberikan oleh Allah Swt. Yang menjadi
pembeda dengan makhluk yang lainnya. Sehingga dengan adanya pikiran dan akal
inilah manusia mampu menentukan kehendak dan kemauannya itu, baik pada kehendak
yang positif ataupun sebalikanya dengan melakukan tindakan yang negative atas
apa yang dikehendakinya.
Namun demikian, kehendak
manusia adalah terbatas. Karena kehendak, keinginan dan kemauan manusia
dibatasi oleh Kehendak Sang Pencipta Kehendak itu sendiri, yakni Allah ‘Azza
Wajalla. Apapu yang kita inginkan haruslah senantiasa diselaraskan denga norma
dan aqidah serta tidak bertentangan dengan yang disyari’akan oleh-Nya.
1.2
Rumusan Masalah
2. apa saja
gejala-gejalanya?
3. faktor
penyebab seseorang bisa mengalami gangguan tersebut?
4. apasajakah
metode yang digunakan untuk treatmen dalam setiap gangguan?
5. bagaimana
profesional bk dalam mengatasi gangguan tersebut?
1.3 Tujuan
1.
Untuk mengetahui apasaja gangguan-gangguan
seksual
2.
Agar mengetahui apasaja gejala-gejala dalam
setiap jenis gangguan
3.
Untuk mengetahui faktor-faktor penyebab
gangguan
4.
Agar mengetahui metode apa yang digunakan
untuk treatmen
5.
Untuk mengetahui apa yang harus dilakukan
sebagai guru BK
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Gangguan
Seksual
Dalam lingkup perilaku seksual, konsep tentang apa yang normal dan apa
yang tidak sangat dipengaruhi oleh faktor sosiokultural. Berbagai pola perilaku
seksual yang dianggap abnormal di inis beag, seperti mastrubasi, hubungan seks
premarital, dan seks oral genital, adalah normal pada masayarakat amerika
dilihat dari frekuensi statistik. Perilaku seksual dapat dianggap abnormal jika
hal tersebut bersifat self-defeating, menyimpang dari norma sosial, menyakiti
orang lain,menyebabkan distres personal, atau mempengaruhi kemampuan seseorang
untuk berfungsi secara normal.
2.2 Jenis-jenis Gangguan Dalam Gangguan Seksual
1.
Pedofilia
Sebuah gangguan yang dimiliki orang dewasa (16 tahun keatas) yang tidak
mampu mengontrol dorongan seksual terhadap anak yang belum matang secara
seksual.
Meskipun pedofilia secara definisi memiliki ketertarikan pada anak-anak,
kecenderungan seksual mereka dan perilaku mereka itu sangat berfariasi.
Beberapa dari mereka tidak mengeluarkan influs mereka, namun memiliki
fantasi kecenderungan yang mengganggu untuk anak-anak. Mereka yang melampiaskan
dorongan pedofilianya melakukan tindakan-tindakan, seperti menelanjangi anak,
menyentuh alat kelamin anak, memaksa anak untuk melakukan aktivitas
oral-genital, dan memaksakan hubungan seksual melalui vaginal atau anal.
2.
Ekshibisionisme
Dalam ekshibionisme (exhibitionism), seseorang memiliki dorongan seksual
yang intens dan fantasi yang menggairahkan yang mencakup memperlihatkan alat
kelamin kepada orang asing. Ekshibisionis biasanya tidak mengharapkan reaksi
seksual dari orang lain namun hal yang diharapkan adalah keterkejutan atau
ketakutan dari orang yang melihat tersebut. Akan tetapi, beberapa
ekshibisonisme memiliki fantasi bahwa orang yang melihat akan terangsang secara
seksual. Ketika mendiskusikan perilaku ekshisibionisme, penting untuk
membedakan gangguan psikologis ini dari perilaku ekshisibionisme yang
berhubungan dengan kondisi neurologis ketika individu kekurangan kapsitas
penghambat yang normal. Parafillia atau ekshibisionisme juga berbeda dari
tontonan yang diberikan sanksi secara sosial (Hollender, 1997) seperti yang
yang terlihat dipantai nudis (pantai tempat orang-orang telanjang) atau klub
telanjang. Orang dengan parafillia merasa bahwa mereka tidak mampu mengontrol
perilaku mereka atau merasa digerakan kepada perilaku ini sebagai usaha nya
yang mati-matian untuk mendapatkan perhatian; hasilnya adalah siksaan emosional
dan kekacauan yang signifikan dalam hidup mereka. Dalam usaha mencoba memahami
bagaimana orang, sebagian besar laki laki, menjadi terdorong secara kompulsif untuk
mempertontonkan alat kelamin mereka, akan berguna jika kita mempertimbangakan,
pengalaman perkembangan awal yang memiliki situasi yang hampir serupa. Menurut
salah satu sudut pandang, ekshibisionis termotifasi untuk mengatasi perasaan
malu dan terhina yang kronis. Prilaku ekshibisinisme yang di lakukan
ekshibisionis tersebut menjadi penangguhan sementara dari perasaan tidak mampu
dengan menyokong perasaan akan ketidakmampuan pribadi (silverstein, 1996)
penjelasan lain yang lebih behavioris menganggap prilaku ekshibisionis sebagai
hasil pengalaman pembelajaran pada masa kanak kanak, saat individu terangsang
secara seksual ketika mempertontonkan diri nya dan merasa senang karena melihat
distres pada orang lain yang di sebabkan oleh prilakunya yang tidak tepat
tersebut.
Dari waktu ke waktu, pengulangan prilaku ini di perkuat hingga menjadi
kecanduan. Faktanya, ekshibisionis sering kali lebih menyukai prilaku ini di
bandingkan hubungan seksual karena mereka telah mengasosiasikan perasaan
kepuasan seksual yang intens dengan mempertontonkan alat kelamin mereka yang
membuat orang asing ketakutan (Money,1984). Prilaku meningkatkan perasaan
maskulinitas dari kekuatan mereka, khusus nya jika keterkejutan atas prilaku
mereka tersebut sangat kuat dan mudah di observasi oleh korban.
3.
Fetisisme
Adalah ketertarikan seksual yang kuat dan berulang terhadap obyek yang
tidak hidup. Orang dengan parafilia fetisisme (fetishism) terkuasai oleh suatu
obyek dan merek amenjadi bergantung pada obyek ini untuk mencapai kepuasan
seksual, lebih menyukai hal tersebut dari pada memiliki intimasi seksual dengan
pasangan. Sulit untuk memperkirakan seperti apa fatisisme yang biasa terjadi
karena para fetisis, hampir semuanya adalah pria, kemungkinan besar tidak
mencari tretmen untuk gangguan mereka tersebut. Obyek fetisisme yang paling
umum adalah bagian bagian dari pakaian yang biasa, seperti pakaian dalam,
stoking, sepatu dan but, tetapi ada jumlah rujukan kejiwaan yang melaporkan
adanya obyek fetisisme yang luas, meliputi suatu yang terbuat dari karet, obyek
dari kulit, popok, peniti, dan bahkan lengan yang di amputasi. Beberapa fetis
melibatkan ketertatikan khusus, misalnya but coklat yang di lilit bulu. Partialism
adalah parafilia yang lain yang di anggap oleh para ahli sebagai farian
fetisisme; orang yang memiliki partialism hanya tertarik pada pemuasan seksual
dari bagian tubuh yang spesifik seperti kaki. Kasus kasus ketika ketertarikan
seksual laki laki bergantung pada pakaian wanita yang di gunakan untuk
pancingan masuk ke kategori lain, fetisisme transversif yang akan kita
diskusikan nanti. Selain itu, suatu prilaku tidak di anggap sebagai fetisisme
jika melibatkan penggunaan obyek yang di desain khusus untuk meningkatkan
gairah seksual seperti vibrator.
Fetisis menjadi terangsang secara seksual oleh suatu obyek. Beberapa
fetisis memegang atau memakai obyek fetisisme. Beberapa yang lain terangsang
dengan membaui obyek, menggosok gosoknya, atau melihat orang lain memakainya
saat melakukan hubungan seksual. Pada beberapa kasus, fetisis bahkan tidak
memiliki hasrat untuk berhubungan seksual dengan pasangannya, malah lebih
memilih melakukan manstrubasi dengan obyek fetisismenya.
Beberapa lelaki merasa tidak mampu ereksi kecuali terhadap obyek
frtisismenya. Beberapa fetisis melakukan prilaku yang aneh, seperti mengisap
obyek fetisismenya, bergulunggulung pada obyek tersebut, membakarnya, atau
memotongnya menjadi bagian bagian.
Ketika mendiskusikan fetisisme penting untuk mengingat perbedaan antara
apa yang di anggap sebagai prilaku seksual yang normal dan yang menyimpang.
Fantasi dan prilaku yang terkadang meningkatkan kepuasan seksual seseorang
berdeda dari keasikan yang bersifat ritual yang terjadi pada fetisisme sejati.
Fetisisme melibatkan jenis prilaku kompulsif yang tampaknya di luar kendali
individu serta dapat menjadi sumber distres yang hebat dan masalah pribadi.
Meskipun beberapa fetisis menggabungkan prilaku fetisisme mereka ke dalam
hubungan seksual dengan pasangan mereka yang menerima prilaku tersebut, prilaku
fetisisme lebih sering mengganggu fungsi seksual yang normal.
Fetisisme tampaknya berkembang dengan cara yang sama seperti
ekshibisionisme, ketika pengalaman pengalaman di awal kehidupan berakibat pada
hubungan antara kesenangan seksual dan obyek fetisisme. Seiring dengan
pertambahan usia, orang tersebut menjadi terkondisikan untuk menghubungkan
antara kepuasan seksual dengan obyek tersebut dari pada orang lain. Misalnya,
fetisis yang lebih menyukai obyek yang berhubungan dengan bayi, seperti popok,
selimut bayi, atau celana popok karet telat mengembangkan asosiasi yang intens
antara perasaan kesenangan genital dan menyentuh obyek di awal masa kanak
kanak. Untuk menguji hipotesis pembelajaran ini (dalam eksperimen yang akan di
anggap tidak etis menurut standar saat ini), salah satu kelompok peneliti
melaporkan bahwa mereka dapat mengondisikan subyek lakilaki untuk menjadi fetis
( rachman, 1966; rachman dan hodgeson, 1968). Dalam salah satu penelitian
tersebut, peneliti memperlihatkan kepada subyek lelaki gambar telanjang dari
wanita yang hampir tidak berbusana (stimulus tak terkondisikan) di pasangkan
dengan gambar bot berbalut bulu (stimulus yang di kondisikan) dan menggunakan
suatu aparatus untuk mengukur respon ereksis subyek lakilaki. Setelah
mengulangulang pemasangan gambar wanita dan sepatu bot (dan aksesoris kaki
lainnya) subyek lakilaki menjadi terangsang hanya dengan melihat aksesoris kaki
(stimulus terkondisikan). Menghilangnya prilaku ini kemudian di capai dengan
secara berulang memperlihatkan sepatu dan bot tanpa gambar wanita. Setelah itu,
subyek kehilangan ketertarikan terhadap obyek tersebut yang tidak laki memiliki
asosiasi seksual.
4.
Voyeurism
Kata voyeur berasal dari bahasa prancis voir yang berarti melihat.
Voyeurism adalah suatu gangguan seksual ketika individu memiliki suatu kompulsi
untuk mendaoatkan pemuasan seksual dari mengobservasi ketelanjangan atau
aktifitas seksual orang lain yang tidak menyadari bahwa mereka sedang dilihat.
Gangguan ini lebih umum terjadi pada kaum pria. Istilah seharihari peeping tom
sering kali di gunakan untuk merujuk kepada karakter tom si penjahit yang
merupakan satusatunya orang di kota tersebut yang pernah melanggar
menggambarkan suatu gangguan dalam hubungan suatu pandangan yang terganggu
mengenai prilaku seksual yang tepat dalam suatu hubungan. Meskipun beberapa
teoritikus telah menyebutkan bahwa secara biologis para individu yang menjadi
orang dengan parafilia mendapatkan prilaku tersebut dari abnormalitas faktor
genetik, hormonal, ataupun neurologis sebagaimana yang kita lihat dalam kasus
pedofilia, suatu penjelas biologis saja di pandang tidak cukup menurut
pendekatan prilaku, satu atau lebih prilaku belajar terjadi pada masa kanak
kanak, termasuk suatu respon terkondisi bagi kenikmatan seksual dengan suatu
obyek stimulus yang tidak tepat. Seiring berjalannya waktu, seseorang menjadi
terdorong secara komfulsif untuk mendapatkan kepuasan (penguat) yang di asosiasikan
dengan obyek atau pengalaman tertentu. Sering kali perasaan tentang sesuatu
kekuatan tertentu menyertai kepuasan ini dengan kata lain, voyeur mengalami
ketergugahan seksual sekaligus perasaan kuat ketika sedang mengintip. Hal ini
juga terjadi pada ekshibisionis, frotteur, dan pedofil yang dapat memuaskan
kebutuhan seksual sekaligus harga dirinya melalui pengalam yang “sukses” dengan
obyek dari hasrat nya.
5.
Vaginismus
Vaginismus adalah kejang urat yang sangat menyakitkan pada vagina (liang peranakan,
farji, puki).
Ada kalanya fungsi vagina itu menjadi sangat abnormal. Yaitu mengadakan
kontraksi kontraksi (penegangan, pengejangan,pengerasan) yang menyakitkan
sekali, yang menyamai sebuah kompresor (kompreso=alat pemadat, penekan,
pemampat). Kontraksi yang sangat kuat pada distal vagina (m.constrictor
cunni,vagina yang bentuknya tidak rata) itu menyebabkan vaginismus dan
paresthesia penuh kesakitan; di pihak pria karena venis lakilaki terjepit
kuatkuat,dan merasakan kesakitan yang luar biasa bagaikan hampir lumpuh
rasanya.
Pada pristiwa lainnya yang sangat luar biasa kontraksi vagina itu
berlangsung begitu hebatnya, sehinnga venis terjepit dan”terperangkap”,
sehinnga tidak bisa keluar dari vagina terjadilah apa yang di sebut dengan
istilah: penis captifus.
Peristiwa vaginismus bisa timbul sepontan tanpa di sadari; bisa reflektip
sewaktu zakar melakukan penetrasi, atau sewaktu berlangsung emossio penis
(zakar mengeluarkan air mani). Atau berlangsung pada waktu di adakan
pemeriksaan ginekologis.
Orang mengenal empat macam atau bentuk vaginismus, yaitu:
v
Vaginismus
reflektif primer, yang terjadi pada saat melakukan coitus/ senggama pertama
kali.
v
Vaginismus
reflektif sekunder, di sebabkan kelainan somatis atau gangguan organis. Pada
mulanya wanita yang bersangkutan mampu melakukan coitus biasa.
v
Vaginismus
psikogen primer, pada peristiwa coitus pertama, yang bersumber pada sebab sebab
psikis (ketakutan dan kecemasan yang hebat, rasarasa berdosa, dll).
v
Vaginismus
psikogen skunder, pada awalnya wanita yang bersangkutan mampu melakukan coitus.
Akan tetapi sesudah beberapa waktu lama nya timbul gejala vaginisme, di
sebabkan oleh “rasa penolakan” secara sadar atau tidak sadar untuk melakukan
coitis. Dan ada rasa antipati atau rasarasa tidak mapan terhadap partner
seksnya.
2.3 Gejala-gejala Gangguan Seksual
1.
Pedofilia
hanya bisa
dirasakan oleh diri sendiri biasanya terjadi setelah seseorang melewati masa
puber dan ia memiliki kecenderungan seksual terhadapa anak-anak dibandingkan
dengan sebaya. Akibat dari kelainan seksual tersebut membuat mereka merasa aneh
dan berusaha untuk menyembunyikannya. Meskipun begitu akhirnya ada juga
penderita pedofilian yang mau bekerja sama demi penetahuan. Berikut in adalah beberapa gejala pedofilia
menurut penderita tesebut. Memiliki perasaan inverior terhadap orang lain
mengalami depresi berlebih ketakutan seseorang mengetahui kelainan seksualnya,
yang akhirnya membuat mereka mengisolasi diri.
2.
Ekshibisionisme
Pada dasarnya
secara kasat mata penderita ekshibisionisme ini tidak memiliki ciri ciri yang
tampak dari luar. Jadi para penderita ekshibisionisme ini sama seperti orang
kebanyakan. Banyak di antara mereka pemalu, kurang percaya diri berasal dari
keluarga yang keras dalam soal seks para peneliti menyatakan ekshibisionis memiliki
pendekatan yang tidak dewasa terhadap kebutuhan yang besar untuk di perhatikan.
Sebelum bereaksi mereka selalu gelisah, tercekam dan tegang. perasaan akan
terasa lega setelah berhasil memamerkan kemaluannya kepada lawan jenisnya. Gejala
ekshibisionistis itu banyak tedapat dikalangan kaum pria jarang sekali terjadi pada wanita.
Penderita
ekshibisionis ini sering menimbulkan gangguan ketertiban umum meskipun jarang
membahayakan masyarakat. Sebanyak 30-40% wanita pernah menjadi korban/ terpapar
oleh ekshibisionisme.
3.
Fetisisme gejala
gejalanya sebagai berikut:
v
sangat tertarik
dengan payudara wanita
v
sering memikirkan
tentang payudara, bahkan dalam waktu yang abnormal.
v
Mempunyai fantasi
yang berulang dan intens tentang payudara.
v
Dorongan seksual
yang intens dan selalu di picu oleh payudara.
v
Menyukai ha-lhal
yang berhubungan dengan payudara(seperti gambar, patung/ukiran).
4.
Voyeurism
Terdapat beberapa tanda yang mengindikasikan bahwa seseorang merupakan
penderita voyeurisme tanda tanda tersebut ialah : selain suka mengintip orang
lain berganti baju, adalah mencapai kepuasan seksual hanya dengan melihat orang
lain berganti baju atau melakukan hubungan suami istri.
Mempunyai hasrat untuk melihat orang orang asing dan membayangkan mereka
melepas baju mereka satu persatu untuk mencapai kepuasan seksual tersebut.
Ketika melihat seseorang berganti baju, para penderita voyeurisme ini
memiliki fantasi yang membuat hasrat seksual mereka menjadi jauh lebih tinggi.
2.4 Etiologi (Penyebab Mengapa
Seseorang Bisa Mengalami Gangguan Tersebut)
1.
Faktor Biologis
Penyakit atau
kurangnya produksi hormon seks dapat mengganggu hasrat, rangsangan atau respon
seksual.
Difaktor biologis
ini mengatakan bahwa gangguan seks itu disebabkan karena kurangnya produksi
hormon jadi menyebabkan seseorang mendapatkan masalah dalam dalam kegiatan
seksualitasnya .
2.
Faktor
Psikodinamika
Teoritikus
psiodinamika memperkirakan bahwa konflik tak sadar yang berasal dari masa
kanak-kanak dapat menjadi akar permasalahan dalam merespon rancangan seksual.
3.
Faktor
Psikososial
v
Kecemasan akan
peforma muncul dari kepedulian yang berlebihan terhadap kemampuan seseorang
untuk memberikan peforma seksual yang baik.
v
Riwayat trauma
atau penganiayaan seksual
v
Kurangnya
kesempatan untuk mendapatkan keterampilan seksual
v
Pemaparan
terhadap sikap dan kepercayaan negatif tentang seksualitas terutama
seksualitaswanita.
4.
Faktor kognitif
v
Pengadopsian
kepercayaan irasional, seperti kepercayaan bahwa seseorang harus kompeten
secara sempurna setiap saat, dapat menyebabkan kecemasan akan peforma
v
Pada ejakulasi
dini, gagal untuk mengukur peningkatan level tegangan seksual yang menyebabkan
ejakulasi
v
Pengaruh kognisi,
seperti ketakutan untuk gagal, dapat menghambat respon seksual yang normal.
5.
Faktor hubungan
v
Masalah hubungan dan
kegagalan untuk mengomunikasikan kebutuhan seksual.
2.5 Metode atau Treatmen
Menyatakan bahwa secara umum, para pengidap parafilia memiliki kontrol
yang lemah. Tidak hanya memunculkan suatu prilaku parafilia yang spesifik, pada
pengidap ini bergerak dari satu jenis parafilia ke jenis lain atau memunculkan
prilaku yang merupakan indikasi dari beberapa kategori sekaligus (Abel dan
osborn,1992).
Sebagaimana yang telah kita lihat treatmen bagi para pengidap parafilia
bukanlah hal yang mudah karena para individu tersebut sering kali menolak untuk
menghentikan prilaku yang bagi mereka menyenangkan atau mereka terlalu malu
untuk mencari bantuan profesional. Intervensi biologis, psikologis, serta
sosiokultural telah di gunakan dalam berbagai kombinasi untuk treatmen ini
dalam area biologis sebagai mana yang telah kita diskusikan bagi fedofilia,
terdapat beberapa bentuk intervensi yang beberapa di antara nya sangat
ekstrem. Intervensi yang paling umum di
gunakan melibatkan resep dari agen farmasi, seperti obat obatan anti Depresi,
ssri, dan hormon-hormon yang keseluruhan nya di tujukan untuk mengurangi hasrat
seksual individu ( Bradford,2001). Akan tetapi, seorang klinisi jarang
melakukan untuk membatasi treatmen yang di lakukan hanya sampai pada intervensi
medis saja. Komponen psikologis dan sosiokultural juga akan memainkan peran
yang penting bagi kesuksesan treatmen. Pada area psikologis, teknik yang paling
umum di gunakan adalah prilaku dan kognitif prilaku. Pada area sosiokultiral
para klinisi sering kali mencari cara untuk melibatkan klien ke dalam suatu
terapy kelompok, ketika beberapa orang dengan pengalam yang sama saling
menceritakan pengalaman serta usaha mereka untuk mencapai kontrol diri. Selain
itu, terapy keluarga dan pasangan juga dapat di rekomendasikan dengan tujuan
untuk memperoleh dukungan dan bantuan dari pada individu yang terdekat dengan
klien.
Tujuan utama treatmen dengan parafilia yang telah melakukan tindak
kejahatan adalah untuk mengubah hasrat penyerang untu memunculkan prilaku
seksual yang di sertai kekerasan. Perhatian media terhadap kejahatan seksual
ini telah mendorong di bentuknya peraturan peraturan bagi predator seksual di
beberapa negara bagian. Peraturan peraturan ini di maksud kan untuk membatasi
para penyerang yang di nilai beresiko untuk melakukan kejahatan
yang sama di masa depan ( Noffsinger dan resnick,2000). Peraturan sejenis ini
memerintahkan ada nya treatmen dan pembatasan secara sadar telah di terbitkan
pada tahun 1940-an dan kemudian di cabut karena treatmen saja telah terbukti
tidak efektif untuk menurunkan tingkat residivis. Metode treatmen terbaru,
termasuk terapy kognitif prilaku, tampaknya cukup menjanjikan, namun tetap di
perlukan sumber sumber tertentu agar treatmen ini dapat tersedia secara luas (
Wood, grossmand, dan fichtner,2000).
a.
Pedofilia
Karena adanya bahaya ekstrem pada korban yang tidak bersalah diakibatkan
oleh perilaku pedofilia, jenis parafilia ini menjadi jenis yang paling banyak
diteliti. Kami akan memberikan perhatian yang lebih besar untuk memahami dan
menangani gangguan ini. Para klinisi dan peneliti menggunakan perspektif
biologis memiliki ketertarikan dalam memahami penyebab pedofilia dibandingkan
dalam menemukan treatmen somatis yang akan mengurangi dorongan seksual
individu.
Konsekuensinya sejumlah pendekatan ditujukan pada sistem endokrin,
seperti memberi hormon wanita progesteron, untuk mengurangi dorongan seks orang
dengan pedofilia dengan menurunkan kadar hormon testoteronnya. Pendekatan
lainnya adalah dengan memberikan antiandrogen yang dimaksudkan untuk memiliki
efek yang sama. Pendekatan yang terbaru para peneliti telah mengembangkan suatu
treatmen yang melibatkan pemberian zat yang dapat menurunkan sekresi testoteron
dengan menghambat aksi kelenjar pituitari. Meskipun intervensi semacam itu
kelihatannya memberi efek positif, hal tersebut merupakan hal yang penting
untuk mengombinasikan treatmen pengobatan dengan psikoterapi
(Rosler&Wiztum,2000).
Intervensi medis yang paling radikal melibatkan operasi. Kastrasi atau
pengambilan testis dimaksudkan untuk mengemilinasi produksi testotero
(Weinberger,Screenivasan, Garrick, & Osran, 2005). Intervensi operasi yang
lain adalah hipotalamotomi atau perusakan nukleus ventromedial, di hipotalamus.
Prosedur ini bertujuan untuk mengubah pola-pola hasrat seksual individu dengan
menargetkan sumber pola-pola tersebut dalam sistem saraf pusat. Hipotalamotomi
paling sering digunakan dijerman, namun dengan efektivitas yang terbatas. Para
peneliti jerman juga melakukan eksperimen dngan hormon pelepas hormon dengan
hormon pelutein (luteinizing hormone releasing hormone-LHRH), suatu zat yang
memicu produksi hormon seks wanita. Treatmen tersebut dilaporkan dapat
mengurangi munculnya ereksi penis, ejakulasi, mastubrasi, dorongan seksual
menyimpang, dan fantasi (Briken, Nika, & Berner, 2001).
b.
Ekshibisionis
Treatmen bagi ekshibisionis membutuhkan pendekatan yang konferhensif
(Maletzky,1997), sering kali melibatkan ketergantungan pada prinsip
pembelajaran seperti counterconditioning atau pengondisian aversif. Klien harus
menghilangkan hubungan antara kesenangan seksual dan prilaku ekshibisionisme.
Misalnya, terapis dapat menggunakan penggondisian terselubung (covert
conditioning), suatu metode prilaku ketika klien membayangkan rasa malu yang
sangat ketika kenalannya melihatnya melakukan prilaku ekshibisionisme. Tambahan
untuk intervensi psikologis, bahwa ada beberapa bukti klinis bahwa paroxetin
(paxil) dapat membantu mengurangi prilaku kompulsif pada ekshibisinisme
(Abouesh dan clayton,1999).
c.
Fetisisme
Hal yang sama kontrofersialnya dengan penelitian ini adalah memberikan
seseorang model untuk melakukan treatmen terhadap fetisis dan peneliti
menyatakan bahwa extinction dan metode prilaku lainnya adalah strategi
treatemen yang efektif. Salah satu teknik tersebut adalah terapy apersif yang
di lakukan dengan memberikan hukuman pada fetisis seperti memakan obat penyebab
muntah atau di hipnotis agar merasa muak saat melakukan masturbasi dengan obyek
fetisismenya.
Pengondisian kembali orgasmik (orgasmic reconditioning) adalah metode
prilaku lainnya yang di dasarkan pada proses belajar kembali. Dalam prosedur
untuk menangani parafilia ini, individu di printahkan untuk merangsang dirinya
dengan suatu fantasi terhadap obyek yang tidak dapat di terima, kemudian
melakukan masturbasi sambil melihat stimulus seksual yang tepat seperti gambar
pasangan dewasa. Jika rangsangannya menurun, maka ia boleh berfantasi lagi
dengan obyek yang tidak dapat di terima namun ia hanya boleh mencapai orgasme
saat fokus pada stimulus yang dapat di terima. Pada saat itu, individu di
harapkan akan semakin berkurang ketergantungannya pada obyek yang tidak dapat
di terima dan semakin meningkat kepuasan seksualnya saat di stimulasi dengan
obyek yang dapat di terima.
d.
Vaginismus
1.
Memberikan
penerangan dan penjelasan sebab sebab terjadinya, dan memberikan bimbingan
psikoterapis.
2.
Wanita yang
bersangkutan di suruh “mengedan” (ngeden) untuk menghilangkan spasme (tarikan
tarikan kejangan) dan kontraksi sewaktu pihak pria melakukan penetrasi dengan
zakarnya.
3.
Pasien di suruh
latihan mengeluarkan flatus atau udara dari perut, lalu mempergunakan salep
serta memasukan dua jari dari salep tadi untuk melebarkan vagina ( sampai
pasien merasa sakit).
4.
Atau belajar
melebarkan vagina dengan menggunakan dilatator (alat untuk melebarkan atau
memuaikan/ mengembangkan).
2.6 Profesional BK Dalam
Mengatasi Jenis-Jenis Gangguan Seksual
Kita seorang guru BK
disini bisa mencari data tentang klien
tersebut dengan mngggunakan beberapa pendekatan, menggunakan psikoanalisis
yaitu dengan menggali tentang pengalaman-pengalaman dimasalalunya, apakah ada
masalah didalam fase-fase perkembangannya atau ada masalah dimasalalunya.
Kemudian data tersebut dikumpulkan lalu kemudian guru BK bisa mengalih
tangankan kasus kepada yang lebih ahli dalam bidang gangguan seks tersebut,
jika mereka membutuhkan data-data tentang klien guru BK bisa memberikannya
sebagai keterangan apa yang terjadi pada klien. karena dalam gangguan seks ini
guru BK bukan orang yang bisa menyembuhkan tetapi guru BK hanya bisa memberi
masukan-masukan yang positf kepada klien, sehingga bisa mengurangi
pikiran-pikiran yangg mengarah kepada gangguan seksual.
DAFTAR PUSTAKA
Kartono, Kartini., 2009, Psikologi Abnormal dan Abnormalitas Seksual.
Bandung: Mandar maju.
Nevid S, Jeffrey, Rathus S, Spencer., dan Greene Beverly,2002,Psikologi
Abnormal. Jakarta: Erlangga.
Krauss,Susan dan Richard P.Halgin.2010.Psikologi Abnormal. Jakarta: Salemba
Humanika.
http://pendyrafadigital.blogspot.co.id/2016/10/gejala-gejala-gangguan-seksual.html
No comments:
Post a Comment