Monday, October 17, 2016

MAKALAH GANGGUAN SEXSUAL

BAB I
PENDAHULUAN


1.1    Latar Belakang
Manusia adalah makhluk Tuhan yang paling tinggi dibanding makhluk Tuhan lainnya. Manusia di anugerahi kemampuan untuk berpikir, kemampuan untuk memilah dan memilih mana yang baik dan mana yang buruk. Dengan kelebihan itulah manusia seharusnya mampu mengelola lingkungan dengan baik.
Kemampuan untuk berfikir inilah anugerah terbesar yang diberikan oleh Allah Swt. Yang menjadi pembeda dengan makhluk yang lainnya. Sehingga dengan adanya pikiran dan akal inilah manusia mampu menentukan kehendak dan kemauannya itu, baik pada kehendak yang positif ataupun sebalikanya dengan melakukan tindakan yang negative atas apa yang dikehendakinya.
Namun demikian, kehendak manusia adalah terbatas. Karena kehendak, keinginan dan kemauan manusia dibatasi oleh Kehendak Sang Pencipta Kehendak itu sendiri, yakni Allah ‘Azza Wajalla. Apapu yang kita inginkan haruslah senantiasa diselaraskan denga norma dan aqidah serta tidak bertentangan dengan yang disyari’akan oleh-Nya.

1.2 Rumusan Masalah
1.      apasaja jenis-jenis gangguan dalam gangguan seksual?
2.      apa saja gejala-gejalanya?
3.      faktor penyebab seseorang bisa mengalami gangguan tersebut?
4.      apasajakah metode yang digunakan untuk treatmen dalam setiap gangguan?
5.      bagaimana profesional bk dalam mengatasi gangguan tersebut?

1.3   Tujuan
1.      Untuk mengetahui apasaja gangguan-gangguan seksual
2.      Agar mengetahui apasaja gejala-gejala dalam setiap jenis gangguan
3.      Untuk mengetahui faktor-faktor penyebab gangguan
4.      Agar mengetahui metode apa yang digunakan untuk treatmen
5.      Untuk mengetahui apa yang harus dilakukan sebagai guru BK

BAB II
PEMBAHASAN

2.1  Pengertian Gangguan Seksual
Dalam lingkup perilaku seksual, konsep tentang apa yang normal dan apa yang tidak sangat dipengaruhi oleh faktor sosiokultural. Berbagai pola perilaku seksual yang dianggap abnormal di inis beag, seperti mastrubasi, hubungan seks premarital, dan seks oral genital, adalah normal pada masayarakat amerika dilihat dari frekuensi statistik. Perilaku seksual dapat dianggap abnormal jika hal tersebut bersifat self-defeating, menyimpang dari norma sosial, menyakiti orang lain,menyebabkan distres personal, atau mempengaruhi kemampuan seseorang untuk berfungsi secara normal.

2.2  Jenis-jenis Gangguan Dalam Gangguan Seksual
1.      Pedofilia
Sebuah gangguan yang dimiliki orang dewasa (16 tahun keatas) yang tidak mampu mengontrol dorongan seksual terhadap anak yang belum matang secara seksual.

Meskipun pedofilia secara definisi memiliki ketertarikan pada anak-anak, kecenderungan seksual mereka dan perilaku mereka itu sangat berfariasi.
Beberapa dari mereka tidak mengeluarkan influs mereka, namun memiliki fantasi kecenderungan yang mengganggu untuk anak-anak. Mereka yang melampiaskan dorongan pedofilianya melakukan tindakan-tindakan, seperti menelanjangi anak, menyentuh alat kelamin anak, memaksa anak untuk melakukan aktivitas oral-genital, dan memaksakan hubungan seksual melalui vaginal atau anal.

2.      Ekshibisionisme
Dalam ekshibionisme (exhibitionism), seseorang memiliki dorongan seksual yang intens dan fantasi yang menggairahkan yang mencakup memperlihatkan alat kelamin kepada orang asing. Ekshibisionis biasanya tidak mengharapkan reaksi seksual dari orang lain namun hal yang diharapkan adalah keterkejutan atau ketakutan dari orang yang melihat tersebut. Akan tetapi, beberapa ekshibisonisme memiliki fantasi bahwa orang yang melihat akan terangsang secara seksual. Ketika mendiskusikan perilaku ekshisibionisme, penting untuk membedakan gangguan psikologis ini dari perilaku ekshisibionisme yang berhubungan dengan kondisi neurologis ketika individu kekurangan kapsitas penghambat yang normal. Parafillia atau ekshibisionisme juga berbeda dari tontonan yang diberikan sanksi secara sosial (Hollender, 1997) seperti yang yang terlihat dipantai nudis (pantai tempat orang-orang telanjang) atau klub telanjang. Orang dengan parafillia merasa bahwa mereka tidak mampu mengontrol perilaku mereka atau merasa digerakan kepada perilaku ini sebagai usaha nya yang mati-matian untuk mendapatkan perhatian; hasilnya adalah siksaan emosional dan kekacauan yang signifikan dalam hidup mereka. Dalam usaha mencoba memahami bagaimana orang, sebagian besar laki laki, menjadi terdorong secara kompulsif untuk mempertontonkan alat kelamin mereka, akan berguna jika kita mempertimbangakan, pengalaman perkembangan awal yang memiliki situasi yang hampir serupa. Menurut salah satu sudut pandang, ekshibisionis termotifasi untuk mengatasi perasaan malu dan terhina yang kronis. Prilaku ekshibisinisme yang di lakukan ekshibisionis tersebut menjadi penangguhan sementara dari perasaan tidak mampu dengan menyokong perasaan akan ketidakmampuan pribadi (silverstein, 1996) penjelasan lain yang lebih behavioris menganggap prilaku ekshibisionis sebagai hasil pengalaman pembelajaran pada masa kanak kanak, saat individu terangsang secara seksual ketika mempertontonkan diri nya dan merasa senang karena melihat distres pada orang lain yang di sebabkan oleh prilakunya yang tidak tepat tersebut.

Dari waktu ke waktu, pengulangan prilaku ini di perkuat hingga menjadi kecanduan. Faktanya, ekshibisionis sering kali lebih menyukai prilaku ini di bandingkan hubungan seksual karena mereka telah mengasosiasikan perasaan kepuasan seksual yang intens dengan mempertontonkan alat kelamin mereka yang membuat orang asing ketakutan (Money,1984). Prilaku meningkatkan perasaan maskulinitas dari kekuatan mereka, khusus nya jika keterkejutan atas prilaku mereka tersebut sangat kuat dan mudah di observasi oleh korban.

3.      Fetisisme
Adalah ketertarikan seksual yang kuat dan berulang terhadap obyek yang tidak hidup. Orang dengan parafilia fetisisme (fetishism) terkuasai oleh suatu obyek dan merek amenjadi bergantung pada obyek ini untuk mencapai kepuasan seksual, lebih menyukai hal tersebut dari pada memiliki intimasi seksual dengan pasangan. Sulit untuk memperkirakan seperti apa fatisisme yang biasa terjadi karena para fetisis, hampir semuanya adalah pria, kemungkinan besar tidak mencari tretmen untuk gangguan mereka tersebut. Obyek fetisisme yang paling umum adalah bagian bagian dari pakaian yang biasa, seperti pakaian dalam, stoking, sepatu dan but, tetapi ada jumlah rujukan kejiwaan yang melaporkan adanya obyek fetisisme yang luas, meliputi suatu yang terbuat dari karet, obyek dari kulit, popok, peniti, dan bahkan lengan yang di amputasi. Beberapa fetis melibatkan ketertatikan khusus, misalnya but coklat yang di lilit bulu. Partialism adalah parafilia yang lain yang di anggap oleh para ahli sebagai farian fetisisme; orang yang memiliki partialism hanya tertarik pada pemuasan seksual dari bagian tubuh yang spesifik seperti kaki. Kasus kasus ketika ketertarikan seksual laki laki bergantung pada pakaian wanita yang di gunakan untuk pancingan masuk ke kategori lain, fetisisme transversif yang akan kita diskusikan nanti. Selain itu, suatu prilaku tidak di anggap sebagai fetisisme jika melibatkan penggunaan obyek yang di desain khusus untuk meningkatkan gairah seksual seperti vibrator.

Fetisis menjadi terangsang secara seksual oleh suatu obyek. Beberapa fetisis memegang atau memakai obyek fetisisme. Beberapa yang lain terangsang dengan membaui obyek, menggosok gosoknya, atau melihat orang lain memakainya saat melakukan hubungan seksual. Pada beberapa kasus, fetisis bahkan tidak memiliki hasrat untuk berhubungan seksual dengan pasangannya, malah lebih memilih melakukan manstrubasi dengan obyek fetisismenya.
Beberapa lelaki merasa tidak mampu ereksi kecuali terhadap obyek frtisismenya. Beberapa fetisis melakukan prilaku yang aneh, seperti mengisap obyek fetisismenya, bergulunggulung pada obyek tersebut, membakarnya, atau memotongnya menjadi bagian bagian.

Ketika mendiskusikan fetisisme penting untuk mengingat perbedaan antara apa yang di anggap sebagai prilaku seksual yang normal dan yang menyimpang. Fantasi dan prilaku yang terkadang meningkatkan kepuasan seksual seseorang berdeda dari keasikan yang bersifat ritual yang terjadi pada fetisisme sejati. Fetisisme melibatkan jenis prilaku kompulsif yang tampaknya di luar kendali individu serta dapat menjadi sumber distres yang hebat dan masalah pribadi. Meskipun beberapa fetisis menggabungkan prilaku fetisisme mereka ke dalam hubungan seksual dengan pasangan mereka yang menerima prilaku tersebut, prilaku fetisisme lebih sering mengganggu fungsi seksual yang normal.

Fetisisme tampaknya berkembang dengan cara yang sama seperti ekshibisionisme, ketika pengalaman pengalaman di awal kehidupan berakibat pada hubungan antara kesenangan seksual dan obyek fetisisme. Seiring dengan pertambahan usia, orang tersebut menjadi terkondisikan untuk menghubungkan antara kepuasan seksual dengan obyek tersebut dari pada orang lain. Misalnya, fetisis yang lebih menyukai obyek yang berhubungan dengan bayi, seperti popok, selimut bayi, atau celana popok karet telat mengembangkan asosiasi yang intens antara perasaan kesenangan genital dan menyentuh obyek di awal masa kanak kanak. Untuk menguji hipotesis pembelajaran ini (dalam eksperimen yang akan di anggap tidak etis menurut standar saat ini), salah satu kelompok peneliti melaporkan bahwa mereka dapat mengondisikan subyek lakilaki untuk menjadi fetis ( rachman, 1966; rachman dan hodgeson, 1968). Dalam salah satu penelitian tersebut, peneliti memperlihatkan kepada subyek lelaki gambar telanjang dari wanita yang hampir tidak berbusana (stimulus tak terkondisikan) di pasangkan dengan gambar bot berbalut bulu (stimulus yang di kondisikan) dan menggunakan suatu aparatus untuk mengukur respon ereksis subyek lakilaki. Setelah mengulangulang pemasangan gambar wanita dan sepatu bot (dan aksesoris kaki lainnya) subyek lakilaki menjadi terangsang hanya dengan melihat aksesoris kaki (stimulus terkondisikan). Menghilangnya prilaku ini kemudian di capai dengan secara berulang memperlihatkan sepatu dan bot tanpa gambar wanita. Setelah itu, subyek kehilangan ketertarikan terhadap obyek tersebut yang tidak laki memiliki asosiasi seksual.

4.      Voyeurism
Kata voyeur berasal dari bahasa prancis voir yang berarti melihat. Voyeurism adalah suatu gangguan seksual ketika individu memiliki suatu kompulsi untuk mendaoatkan pemuasan seksual dari mengobservasi ketelanjangan atau aktifitas seksual orang lain yang tidak menyadari bahwa mereka sedang dilihat. Gangguan ini lebih umum terjadi pada kaum pria. Istilah seharihari peeping tom sering kali di gunakan untuk merujuk kepada karakter tom si penjahit yang merupakan satusatunya orang di kota tersebut yang pernah melanggar menggambarkan suatu gangguan dalam hubungan suatu pandangan yang terganggu mengenai prilaku seksual yang tepat dalam suatu hubungan. Meskipun beberapa teoritikus telah menyebutkan bahwa secara biologis para individu yang menjadi orang dengan parafilia mendapatkan prilaku tersebut dari abnormalitas faktor genetik, hormonal, ataupun neurologis sebagaimana yang kita lihat dalam kasus pedofilia, suatu penjelas biologis saja di pandang tidak cukup menurut pendekatan prilaku, satu atau lebih prilaku belajar terjadi pada masa kanak kanak, termasuk suatu respon terkondisi bagi kenikmatan seksual dengan suatu obyek stimulus yang tidak tepat. Seiring berjalannya waktu, seseorang menjadi terdorong secara komfulsif untuk mendapatkan kepuasan (penguat) yang di asosiasikan dengan obyek atau pengalaman tertentu. Sering kali perasaan tentang sesuatu kekuatan tertentu menyertai kepuasan ini dengan kata lain, voyeur mengalami ketergugahan seksual sekaligus perasaan kuat ketika sedang mengintip. Hal ini juga terjadi pada ekshibisionis, frotteur, dan pedofil yang dapat memuaskan kebutuhan seksual sekaligus harga dirinya melalui pengalam yang “sukses” dengan obyek dari hasrat nya.

5.      Vaginismus
Vaginismus adalah kejang urat yang sangat menyakitkan pada vagina (liang peranakan, farji, puki).
Ada kalanya fungsi vagina itu menjadi sangat abnormal. Yaitu mengadakan kontraksi kontraksi (penegangan, pengejangan,pengerasan) yang menyakitkan sekali, yang menyamai sebuah kompresor (kompreso=alat pemadat, penekan, pemampat). Kontraksi yang sangat kuat pada distal vagina (m.constrictor cunni,vagina yang bentuknya tidak rata) itu menyebabkan vaginismus dan paresthesia penuh kesakitan; di pihak pria karena venis lakilaki terjepit kuatkuat,dan merasakan kesakitan yang luar biasa bagaikan hampir lumpuh rasanya.

Pada pristiwa lainnya yang sangat luar biasa kontraksi vagina itu berlangsung begitu hebatnya, sehinnga venis terjepit dan”terperangkap”, sehinnga tidak bisa keluar dari vagina terjadilah apa yang di sebut dengan istilah: penis captifus.
Peristiwa vaginismus bisa timbul sepontan tanpa di sadari; bisa reflektip sewaktu zakar melakukan penetrasi, atau sewaktu berlangsung emossio penis (zakar mengeluarkan air mani). Atau berlangsung pada waktu di adakan pemeriksaan ginekologis.

Orang mengenal empat macam atau bentuk vaginismus, yaitu:
v  Vaginismus reflektif primer, yang terjadi pada saat melakukan coitus/ senggama pertama kali.
v  Vaginismus reflektif sekunder, di sebabkan kelainan somatis atau gangguan organis. Pada mulanya wanita yang bersangkutan mampu melakukan coitus biasa.
v  Vaginismus psikogen primer, pada peristiwa coitus pertama, yang bersumber pada sebab sebab psikis (ketakutan dan kecemasan yang hebat, rasarasa berdosa, dll).
v  Vaginismus psikogen skunder, pada awalnya wanita yang bersangkutan mampu melakukan coitus. Akan tetapi sesudah beberapa waktu lama nya timbul gejala vaginisme, di sebabkan oleh “rasa penolakan” secara sadar atau tidak sadar untuk melakukan coitis. Dan ada rasa antipati atau rasarasa tidak mapan terhadap partner seksnya.

2.3  Gejala-gejala  Gangguan Seksual
1.      Pedofilia
hanya bisa dirasakan oleh diri sendiri biasanya terjadi setelah seseorang melewati masa puber dan ia memiliki kecenderungan seksual terhadapa anak-anak dibandingkan dengan sebaya. Akibat dari kelainan seksual tersebut membuat mereka merasa aneh dan berusaha untuk menyembunyikannya. Meskipun begitu akhirnya ada juga penderita pedofilian yang mau bekerja sama demi penetahuan.  Berikut in adalah beberapa gejala pedofilia menurut penderita tesebut. Memiliki perasaan inverior terhadap orang lain mengalami depresi berlebih ketakutan seseorang mengetahui kelainan seksualnya, yang akhirnya membuat mereka mengisolasi diri.

2.      Ekshibisionisme
Pada dasarnya secara kasat mata penderita ekshibisionisme ini tidak memiliki ciri ciri yang tampak dari luar. Jadi para penderita ekshibisionisme ini sama seperti orang kebanyakan. Banyak di antara mereka pemalu, kurang percaya diri berasal dari keluarga yang keras dalam soal seks para peneliti menyatakan ekshibisionis memiliki pendekatan yang tidak dewasa terhadap kebutuhan yang besar untuk di perhatikan. Sebelum bereaksi mereka selalu gelisah, tercekam dan tegang. perasaan akan terasa lega setelah berhasil memamerkan kemaluannya kepada lawan jenisnya. Gejala ekshibisionistis itu banyak tedapat dikalangan kaum pria  jarang sekali terjadi pada wanita.
Penderita ekshibisionis ini sering menimbulkan gangguan ketertiban umum meskipun jarang membahayakan masyarakat. Sebanyak 30-40% wanita pernah menjadi korban/ terpapar oleh ekshibisionisme.


3.      Fetisisme gejala gejalanya sebagai berikut:
v  sangat tertarik dengan payudara wanita
v  sering memikirkan tentang payudara, bahkan dalam waktu yang abnormal.
v  Mempunyai fantasi yang berulang dan intens tentang payudara.
v  Dorongan seksual yang intens dan selalu di picu oleh payudara.
v  Menyukai ha-lhal yang berhubungan dengan payudara(seperti gambar, patung/ukiran).

4.        Voyeurism
Terdapat beberapa tanda yang mengindikasikan bahwa seseorang merupakan penderita voyeurisme tanda tanda tersebut ialah : selain suka mengintip orang lain berganti baju, adalah mencapai kepuasan seksual hanya dengan melihat orang lain berganti baju atau melakukan hubungan suami istri.
Mempunyai hasrat untuk melihat orang orang asing dan membayangkan mereka melepas baju mereka satu persatu untuk mencapai kepuasan seksual tersebut.
Ketika melihat seseorang berganti baju, para penderita voyeurisme ini memiliki fantasi yang membuat hasrat seksual mereka menjadi jauh lebih tinggi.

2.4  Etiologi (Penyebab Mengapa Seseorang Bisa Mengalami Gangguan Tersebut)
1.      Faktor Biologis
Penyakit atau kurangnya produksi hormon seks dapat mengganggu hasrat, rangsangan atau respon seksual.
Difaktor biologis ini mengatakan bahwa gangguan seks itu disebabkan karena kurangnya produksi hormon jadi menyebabkan seseorang mendapatkan masalah dalam dalam kegiatan seksualitasnya .

2.      Faktor Psikodinamika
Teoritikus psiodinamika memperkirakan bahwa konflik tak sadar yang berasal dari masa kanak-kanak dapat menjadi akar permasalahan dalam merespon rancangan seksual.
3.      Faktor Psikososial
v  Kecemasan akan peforma muncul dari kepedulian yang berlebihan terhadap kemampuan seseorang untuk memberikan peforma seksual yang baik.
v  Riwayat trauma atau penganiayaan seksual
v  Kurangnya kesempatan untuk mendapatkan keterampilan seksual
v  Pemaparan terhadap sikap dan kepercayaan negatif tentang seksualitas terutama seksualitaswanita.

4.        Faktor kognitif
v  Pengadopsian kepercayaan irasional, seperti kepercayaan bahwa seseorang harus kompeten secara sempurna setiap saat, dapat menyebabkan kecemasan akan peforma
v  Pada ejakulasi dini, gagal untuk mengukur peningkatan level tegangan seksual yang menyebabkan ejakulasi
v  Pengaruh kognisi, seperti ketakutan untuk gagal, dapat menghambat respon seksual yang normal.
5.      Faktor hubungan
v  Masalah hubungan dan kegagalan untuk mengomunikasikan kebutuhan seksual.

2.5  Metode atau Treatmen
Menyatakan bahwa secara umum, para pengidap parafilia memiliki kontrol yang lemah. Tidak hanya memunculkan suatu prilaku parafilia yang spesifik, pada pengidap ini bergerak dari satu jenis parafilia ke jenis lain atau memunculkan prilaku yang merupakan indikasi dari beberapa kategori sekaligus (Abel dan osborn,1992).
Sebagaimana yang telah kita lihat treatmen bagi para pengidap parafilia bukanlah hal yang mudah karena para individu tersebut sering kali menolak untuk menghentikan prilaku yang bagi mereka menyenangkan atau mereka terlalu malu untuk mencari bantuan profesional. Intervensi biologis, psikologis, serta sosiokultural telah di gunakan dalam berbagai kombinasi untuk treatmen ini dalam area biologis sebagai mana yang telah kita diskusikan bagi fedofilia, terdapat beberapa bentuk intervensi yang beberapa di antara nya sangat ekstrem.  Intervensi yang paling umum di gunakan melibatkan resep dari agen farmasi, seperti obat obatan anti Depresi, ssri, dan hormon-hormon yang keseluruhan nya di tujukan untuk mengurangi hasrat seksual individu ( Bradford,2001). Akan tetapi, seorang klinisi jarang melakukan untuk membatasi treatmen yang di lakukan hanya sampai pada intervensi medis saja. Komponen psikologis dan sosiokultural juga akan memainkan peran yang penting bagi kesuksesan treatmen. Pada area psikologis, teknik yang paling umum di gunakan adalah prilaku dan kognitif prilaku. Pada area sosiokultiral para klinisi sering kali mencari cara untuk melibatkan klien ke dalam suatu terapy kelompok, ketika beberapa orang dengan pengalam yang sama saling menceritakan pengalaman serta usaha mereka untuk mencapai kontrol diri. Selain itu, terapy keluarga dan pasangan juga dapat di rekomendasikan dengan tujuan untuk memperoleh dukungan dan bantuan dari pada individu yang terdekat dengan klien.

Tujuan utama treatmen dengan parafilia yang telah melakukan tindak kejahatan adalah untuk mengubah hasrat penyerang untu memunculkan prilaku seksual yang di sertai kekerasan. Perhatian media terhadap kejahatan seksual ini telah mendorong di bentuknya peraturan peraturan bagi predator seksual di beberapa negara bagian. Peraturan peraturan ini di maksud kan untuk membatasi para penyerang yang di nilai beresiko untuk melakukan kejahatan yang sama di masa depan ( Noffsinger dan resnick,2000). Peraturan sejenis ini memerintahkan ada nya treatmen dan pembatasan secara sadar telah di terbitkan pada tahun 1940-an dan kemudian di cabut karena treatmen saja telah terbukti tidak efektif untuk menurunkan tingkat residivis. Metode treatmen terbaru, termasuk terapy kognitif prilaku, tampaknya cukup menjanjikan, namun tetap di perlukan sumber sumber tertentu agar treatmen ini dapat tersedia secara luas ( Wood, grossmand, dan fichtner,2000).

a.       Pedofilia
Karena adanya bahaya ekstrem pada korban yang tidak bersalah diakibatkan oleh perilaku pedofilia, jenis parafilia ini menjadi jenis yang paling banyak diteliti. Kami akan memberikan perhatian yang lebih besar untuk memahami dan menangani gangguan ini. Para klinisi dan peneliti menggunakan perspektif biologis memiliki ketertarikan dalam memahami penyebab pedofilia dibandingkan dalam menemukan treatmen somatis yang akan mengurangi dorongan seksual individu.

Konsekuensinya sejumlah pendekatan ditujukan pada sistem endokrin, seperti memberi hormon wanita progesteron, untuk mengurangi dorongan seks orang dengan pedofilia dengan menurunkan kadar hormon testoteronnya. Pendekatan lainnya adalah dengan memberikan antiandrogen yang dimaksudkan untuk memiliki efek yang sama. Pendekatan yang terbaru para peneliti telah mengembangkan suatu treatmen yang melibatkan pemberian zat yang dapat menurunkan sekresi testoteron dengan menghambat aksi kelenjar pituitari. Meskipun intervensi semacam itu kelihatannya memberi efek positif, hal tersebut merupakan hal yang penting untuk mengombinasikan treatmen pengobatan dengan psikoterapi (Rosler&Wiztum,2000).

Intervensi medis yang paling radikal melibatkan operasi. Kastrasi atau pengambilan testis dimaksudkan untuk mengemilinasi produksi testotero (Weinberger,Screenivasan, Garrick, & Osran, 2005). Intervensi operasi yang lain adalah hipotalamotomi atau perusakan nukleus ventromedial, di hipotalamus. Prosedur ini bertujuan untuk mengubah pola-pola hasrat seksual individu dengan menargetkan sumber pola-pola tersebut dalam sistem saraf pusat. Hipotalamotomi paling sering digunakan dijerman, namun dengan efektivitas yang terbatas. Para peneliti jerman juga melakukan eksperimen dngan hormon pelepas hormon dengan hormon pelutein (luteinizing hormone releasing hormone-LHRH), suatu zat yang memicu produksi hormon seks wanita. Treatmen tersebut dilaporkan dapat mengurangi munculnya ereksi penis, ejakulasi, mastubrasi, dorongan seksual menyimpang, dan fantasi (Briken, Nika, & Berner, 2001).


b.      Ekshibisionis
Treatmen bagi ekshibisionis membutuhkan pendekatan yang konferhensif (Maletzky,1997), sering kali melibatkan ketergantungan pada prinsip pembelajaran seperti counterconditioning atau pengondisian aversif. Klien harus menghilangkan hubungan antara kesenangan seksual dan prilaku ekshibisionisme. Misalnya, terapis dapat menggunakan penggondisian terselubung (covert conditioning), suatu metode prilaku ketika klien membayangkan rasa malu yang sangat ketika kenalannya melihatnya melakukan prilaku ekshibisionisme. Tambahan untuk intervensi psikologis, bahwa ada beberapa bukti klinis bahwa paroxetin (paxil) dapat membantu mengurangi prilaku kompulsif pada ekshibisinisme (Abouesh dan clayton,1999).

c.       Fetisisme
Hal yang sama kontrofersialnya dengan penelitian ini adalah memberikan seseorang model untuk melakukan treatmen terhadap fetisis dan peneliti menyatakan bahwa extinction dan metode prilaku lainnya adalah strategi treatemen yang efektif. Salah satu teknik tersebut adalah terapy apersif yang di lakukan dengan memberikan hukuman pada fetisis seperti memakan obat penyebab muntah atau di hipnotis agar merasa muak saat melakukan masturbasi dengan obyek fetisismenya.

Pengondisian kembali orgasmik (orgasmic reconditioning) adalah metode prilaku lainnya yang di dasarkan pada proses belajar kembali. Dalam prosedur untuk menangani parafilia ini, individu di printahkan untuk merangsang dirinya dengan suatu fantasi terhadap obyek yang tidak dapat di terima, kemudian melakukan masturbasi sambil melihat stimulus seksual yang tepat seperti gambar pasangan dewasa. Jika rangsangannya menurun, maka ia boleh berfantasi lagi dengan obyek yang tidak dapat di terima namun ia hanya boleh mencapai orgasme saat fokus pada stimulus yang dapat di terima. Pada saat itu, individu di harapkan akan semakin berkurang ketergantungannya pada obyek yang tidak dapat di terima dan semakin meningkat kepuasan seksualnya saat di stimulasi dengan obyek yang dapat di terima.

d.      Vaginismus
1.      Memberikan penerangan dan penjelasan sebab sebab terjadinya, dan memberikan bimbingan psikoterapis.
2.      Wanita yang bersangkutan di suruh “mengedan” (ngeden) untuk menghilangkan spasme (tarikan tarikan kejangan) dan kontraksi sewaktu pihak pria melakukan penetrasi dengan zakarnya.
3.      Pasien di suruh latihan mengeluarkan flatus atau udara dari perut, lalu mempergunakan salep serta memasukan dua jari dari salep tadi untuk melebarkan vagina ( sampai pasien merasa sakit).
4.      Atau belajar melebarkan vagina dengan menggunakan dilatator (alat untuk melebarkan atau memuaikan/ mengembangkan).

2.6  Profesional BK Dalam Mengatasi Jenis-Jenis Gangguan Seksual
Kita seorang guru BK disini  bisa mencari data tentang klien tersebut dengan mngggunakan beberapa pendekatan, menggunakan psikoanalisis yaitu dengan menggali tentang pengalaman-pengalaman dimasalalunya, apakah ada masalah didalam fase-fase perkembangannya atau ada masalah dimasalalunya. Kemudian data tersebut dikumpulkan lalu kemudian guru BK bisa mengalih tangankan kasus kepada yang lebih ahli dalam bidang gangguan seks tersebut, jika mereka membutuhkan data-data tentang klien guru BK bisa memberikannya sebagai keterangan apa yang terjadi pada klien. karena dalam gangguan seks ini guru BK bukan orang yang bisa menyembuhkan tetapi guru BK hanya bisa memberi masukan-masukan yang positf kepada klien, sehingga bisa mengurangi pikiran-pikiran yangg mengarah kepada gangguan seksual.





DAFTAR PUSTAKA


Kartono, Kartini., 2009, Psikologi Abnormal dan Abnormalitas Seksual. Bandung: Mandar maju.
Nevid S, Jeffrey, Rathus S, Spencer., dan Greene Beverly,2002,Psikologi Abnormal. Jakarta: Erlangga.
Krauss,Susan dan Richard P.Halgin.2010.Psikologi Abnormal. Jakarta: Salemba Humanika.
http://pendyrafadigital.blogspot.co.id/2016/10/gejala-gejala-gangguan-seksual.html



No comments:

Post a Comment

PENGARUH KOMPETENSI GURU TERHADAP HASIL BELAJAR PADA PELAJARAN IPA SISWA KELAS IV SD

    PENGARUH KOMPETENSI GURU TERHADAP HASIL BELAJAR PADA PELAJARAN IPA SISWA KELAS IV SD      BAB I PENDAHULUAN   A.  ...