Wednesday, December 28, 2016

TUGAS MATA KULIAH HUKUM PENGANGKUTAN “DARAT”

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Kereta Api atau KA merupakan alat transportasi termurah yang berada di negeri ini, selain termurah KA dianggap sebagai sarana transportasi cepat dan transportasi paling aman. Transportasi atau pengangkutan merupakan bidang kegiatan yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Pentingnya transportasi bagi masyarakat Indonesia disebabkan oleh beberapa faktor antara lain, keadaan geografis Indonesia yang terdiri dari ribuan pulau kecil dan besar, perairan yang terdiri dari sebagian besar laut, sungai dan danau yang memungkinkan pengangkutan dilakukan melalui darat, perairan, dan udara guna menjangkau seluruh wilayah Indonesia.
Hal Lain yang juga tidak kalah pentingnya akan kebutuhan alat transportasi adalah kebutuhan kenyamanan, keamanan, dan kelancaran pengangkutan yang menunjang pelaksanaan pembangunan yang berupa penyebaran kebutuhan pembangunan, pemerataan pembangunan, dandistribusi hasil pembangunan diberbagai sektor ke seluruh pelosok tanah airmisalnya, sektor industri, perdagangan, pariwisata, dan pendidikan. Kereta api merupakan salah satu alat transportasi termurah dan cepat. Meski dianggap sebagai alat transportasi favorit masa kini dilihat dari segi pelayanan masih jauh dari harapan.
Kebutuhan akan alat transportasi yang cepat dan dapat diandalkan semakin meningkat di seluruh dunia. Kereta api berkecepatan tinggi telah menjadi solusi bagi banyak negara. Kereta api adalah alat transportasi yang cepat, nyaman, dan efisien dalam penggunaan energi. Mengingat penting dan strategisnya peran lalu-lintas dan angkutan jalan yang menguasai hajat hidup orang banyak, maka kepentingan masyarakatumum sebagai pengguna jasa transportasi perlu mendapatkan prioritas danpelayanan yang optimal baik dari pemerintah maupun penyedia jasa transportasi. Selain itu perlindungan hukum atas hak-hak masyarakat sebagai konsumen transportasi juga harus mendapatkan kepastian. Penyelenggaraan lalu-lintas dan angkutan jalan juga perlu dilakukan secara berkesinambungan dan terus ditingkatkan agar lebih luas jangkauan dan pelayanannya kepada masyarakat, dengan tetap memperhatikan kepentingan umum, kemampuan masyarakat, kelestarian lingkungan, dan ketertiban masyarakat dalam penyelenggaraan lalu-lintas dan angkutan jalan sekaligus mewujudkan sistem transportasi nasional yang handal dan terpadu.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian dari pengangkutan, hukum pengangkutan, perkeretaapian dan kereta api?
2.      Apa jenis, fungsi dan macam angkutan kereta api?
3.      Berepa tarif angkutan kereta api?
4.      Apa saja tanggung jawab penyelenggara sarana dan prasarana perkeretaapian?
5.      Apa saja hak kewajiban dan wewenang penyelenggara sarana prasarana perkeretaapian?
6.      Apa saja suransi dan ganti kerugian dibidang perkeretaapian di indonesia?

C.    Tujuan
1.      Untuk mengetahui pengertian dari pengangkutan, hukum pengangkutan, perkeretaapian dan kereta api.
2.      Untuk mengetahui jenis, fungsi dan macam angkutan kereta api.
3.      Untuk mengetahui tarif angkutan kereta api.
4.      Untuk mengetahui apa saja tanggung jawab penyelenggara sarana dan prasarana perkeretaapian.
5.      Untuk mengetahui hak kewajiban dan wewenang penyelenggara sarana prasarana perkeretaapian.
6.      Untuk mengetahui apa saja suransi dan ganti kerugian dibidang perkeretaapian di indonesia.




BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Pengangkutan, Hukum Pengangkutan, Perkeretaapian Dan Kereta Api
Pengangkutan adalah kegiatan pemuatan penumpang atau barang kedalam alat pengangkut, pemindahan penumpang atau barang ketempat tujuan dengan alat pengangkut, dan penurunan penumpang atau pembongkaran barang dari alat pengangkut ketempat tujuan yang disepakati.
Sedangkan hukum pengangkutan adalah sebuah perjanjian timbal-balik, yang mana pihak pengangkut mengikat diri untuk untuk menyelenggarakan pengangkutan barang dan/atau orang ketempat tujuan tertentu, sedangkan pihak lainnya (pengirim-penerima, pengirim atau penerima, penumpang) berkeharusan untuk menunaikan pembayaran biaya tertentu untuk pengangkutan tersebut.
Perkeretaapian adalah satu kesatuan sistem yang terdiri atas prasarana, sarana, dan sumber daya manusia, serta norma, kriteria, persyaratan, dan prosedur untukpenyelenggaraan transportasi kereta api.
Kereta api adalah sarana perkeretaapian dengan tenaga gerak, baik berjalan sendiri maupun dirangkaikan dengan sarana perkeretaapian lainnya, yang akan ataupun sedang bergerak di jalan rel yang terkait dengan perjalanan kereta api.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa hukum pengangkutan dengan kereta api adalah perjanjian pengangkutan dengan pihak penyedia sarana kereta api.

B.     Angkutan Kereta Api
Angkutan kereta api adalah kegiatan sarana perkeretaapian dengan tenaga gerak, baik berjalan sendiri maupun dirangkaikan dengan sarana perkeretaapian lainnya, yang akan ataupun sedang bergerak di jalan rel yang terkait dengan perjalanan kereta api.Jenis angkutan pada perkeretaapian dibagi menjadi 2 yaitu:

1.      Jenis angkutan
a.       Angkutan orang
Angkutan orang adalah pengangkutan orang dengan kereta api dilakukan dengan menggunakan kereta. Dalam keadaan tertentu penyelenggara sarana Perkeretaapian dapat melakukan pengangkutan orang dengan menggunakan gerbong atas persetujuan pemerintah atau pemerintah daerah, serta wajib memperhatikan keselamatan dan fasilitas minimal.
Bagi penyandang cacat, wanita hamil, anak dibawah lima tahun, orang sakit, dan lansia dari pihak penyelenggara Perkeretaapian wajib memberikan fasilitas Khusus dan kemudahan serta tidak dipungut biaya tambahan.

b.      Angkutan barang
Angkutan barang adalah angkutan barang dengan kereta api dilakukan dengan menggunakan gerbong. Angkutan barang terdiri atas sebagai berikut:
·         Barang umum
·         Barang khusus
·         Bahan berbahaya dan beracun
·         Limbah bahan berbahaya dan beracun
Syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk melakukan pengangkutan umum dan khusus yaitu:
a)      Pemuatan, penyusunan dan pembongkaran barang pada tempat-tempat yang telah ditetapkan sesuai klasifikasinya.
b)      Keselamatan dan keamanan barang yang diangkut.
c)      Gerbong yang digunakan sesuai dengan klasifikasi barang yang diangkut.

Sedangkan syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk melakukan pengangkutan bahan dan limbah berbahaya serta beracun yaitu:
a)    Memenuhi persyaratan dan keselamatan sesuai dengan sifat bahan berbahaya dan beracun yang diangkut.
b)    Menggunakan tanda sesuai dengan sifat bahan berbahaya dan beracun yang diangkut.
c)    Menyertakan petugas yang memiliki kualifikasi tertentu sesuai dengan sifat bahan berbahaya dan beracun yang diangkut.

2.      Berdasarkan fungsinya
a)    Kereta api Umum
Kereta api umum adalah perkeretaapian yang digunakan untuk melayani angkutan orang dan/atau barang dengan dipungut biaya.
b)    Kereta Api khusus
Kereta api khusus adalah perrkeretaapian yang hanya digunakan untuk menunjang kegian pokok badan usaha tertentu dan tidak digunakan untuk melayani masyarakat umum.

Penyelenggara perkeretaapian khusus adalah badan usaha yang mengusahakan penyelenggaraan perkeretaapian khusus. Serta penyelenggaraannya berupasarana dan prasarana. Pengusahaan sarana dan prasarana perkeretaapian dilakukan berdasarkan norma, standard an criteria perkeretaapian.
Badan usaha adalah badan usaha milik Negara, badan usaha milik daerah, atau badan hukum indonesia yang khusus didirikan untuk perkeretaapian.

3.      Macam-macam pengiriman
·         Kiriman biasa (vrachtgoed).
·         Kiriman cepat (Ijlogoed)
·         Pengiriman hingga ke rumah alamat (bestelgoed)
·         Bawaan titipan dari penumpang (begage)

C.    Tarif Angkutan Kereta Api
Tarif merupakan hal yang penting dalam hal pengangkutan, khususnya dalam pengangkutan kereta api. Dalam hal ini pedoman dalam penentuan tarif adalah sebagaiberikut:
1)      Berdasarkan perhitungan modal
2)      Biaya operasi
3)      Biaya perawatan
4)      Keuntungan.

Berdasarkan PP no.72 tahun 2009, tarif angkutan terdiri atas sebagai berikut:
a.       Tarif angkutan orang
Didasarkan kepada biaya per-penumpang per-kilometer. dan tarif ditetapkan oleh penyelenggara sarana perkeretaapian, dalam hal ini di Indonesia ditentukan oleh PT. Kereta api Indonesia yang kemudian melaporkan tarif yang ditetapkan kepada menteri,gubernur atau bupati/walikota untuk izin operasi. Jadi pejabat mempunyai wewenang melakukan evaluasi penetapan dan pelaksanaan tarif, apabila tidak sesuai dengan pedoman pokok penentuan tarif, maka penyelenggara dapat dikenai sanksi administratif berupa teguran tertulis, pembekuan izin operasi dan bahkan bias pada pencabutan izin operasi.

b.      Tarif angkutan barang
Tarif barang didasarkan pada biaya per-ton per-kilometer. Dalam hal pengangkutan barang mengenai barang yang akan diangkut memiliki sifat dan karateristik tertentu, besaran biaya ditetapkan berdasarkan kesepakatan antara pengguna jasa danpenyelenggara sarana perkeretaapian sesuai dengan pedoman penetapan tarif yang ditetapkan oleh menteri.

c.       Tarif denda
Khusus pada penumpang, apabila tidak memiliki karcis maka tarif dendanya sebagai berikut:
§  500% dari harga karcis untuk angkutan kereta api perkotaan.
§  200% dari harga karcis untuk angkutan kereta api antar kota.

D.    Tanggung Jawab Penyelenggara Sarana Dan Prasarana Perkeretaapian
Sarana
1)      Tanggung jawab terhadap penumpang yang diangkut
a.       Penyelenggara sarana Perkeretaapian bertanggung jawab pada pengguna jasa yang mengalami kerugian, luka-luka atau meninggal dunia yang disebabkan oleh pengoperasian kereta api dan sebagaimana yang dimaksud wajib dipenuhi oleh penyelenggara sarana perkeretapian paling lama 30 hari sejak kejadian. Tanggung jawab tersebut dimulai sejak pengguna jasa diangkut dari stasiun asal sampai pada stasiun tujuan yang disepakati. Tanggung jawab tersebut dihitung berdasarkan kerugian yang nyata dialami. Akan tetapi, penyelenggara sarana Perkeretaapian tidak bertanggung jawab atas kerugian, luka-luka atau meninggalnya penumpang yang tidak disebabkan oleh pengoperasian pengangkutan kereta api.
b.      Penyelenggara sarana Perkeretaapian tidak bertanggung jawab terhadap kerugian yang diderita oleh pihak ketiga yang disebkan oleh pengoperasian pengangkutan kereta api, kecuali jika pihak ketiga dapat membuktikan bahwa kerugian disebabkan oleh pihak penyelenggara sarana Perkeretaapian sebagai pengangkut. Hak untuk mengajukan keberatan dan permintaan ganti kerugian dari pihak ketiga kepada penyelenggara sarana Perkeretaapian disampaikan selambat-lambatnya 30 hari tehitung mulai tanggal terjadinya kerugian.

2)      Tanggung jawab terhadap barang yang diangkut.
a.       Pada saat barang sampai pada tujuan, penyelenggara sarana perkeretaapian segera memberitahukan kepada penerima barang bahwa barang telah tiba dan dapat segera diambil. Apabila dalam jangka waktu 7 hari kalender terhitung sejak barang tiba di tempat tujuan pihak penyelenggara sarana perkeretaapian tidak memberitahukan kepada penerima barang, maka penerima barang berhak mengajukan klaim ganti kerugian. Dengan asumsi tidak melebihi batas waktu yang diberikan pihak penyelenggara sarana perkeretaapian yakni 7 hari kalender sejak diberikannya hak pengajuan klaim ganti kerugian. Apabila melebihi jangka waktu yang ditentukan, maka hak yang diberikan kepada penerima barang menjadi gugur.
b.      Penyelenggara sarana perkeretaapian bertanggungjawab atas kerugian yang diderita oleh pengirim karena barang hilang, rusak, atau musnah yang disebabkan pengoperasikan pengangkutan kereta api. Tanggung jawab tersebut dimulai sejak barang diterima oleh penyelenggara sarana perkeretaapian sampai dengan diserahkannya barang kepada penerima. Kerugian dihitung berdasarkan kerugian nyata dialami, tidak termasuk keuntungan yang akan diperoleh dan biaya jasa yang telah diunakan. Akan tetapi penyelenggara sarana perkeretaapian tidak bertanggung jawab atas kerugian yang disebabkan oleh keterangan yang tidak benar dalam surat pengangkutan barang.

E.     Asuransi Dan Ganti Kerugian
Penyelenggara sarana perkeretaapian wajib mengasuransikan tanggung jawabnya kepada pengguna jasa, awak sarana perkeretaapian dan orang yang dipekerjakan oleh pihak penyelenggara sarana perkeretaapian, sarana perkeretaapian, serta kerugian yang diderita oleh pihak ketiga. Apabila pihak penyelenggara sarana perkeretaapian tidak mengasuransikan tanggung jawabnya, maka akan dikenai sanksi administrative berupa pembekuan izin operasi atau pencabutan izin operasi.
Ketentuan lebih lanjut mengenai asuransi dan  ganti kerugian penyelenggara prasarana dan sarana perkeretaapian terhadap pengguna jasa, awak, pihak ketiga dan sarana perkeretaapian diatur dengan peraturan pemerintah. Besarnya nilai pertanggungan asuransi diatur dalam ketentuan perundang-undangan di bidang asuransi.




BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Angkutan kereta api adalah kegiatan sarana perkeretaapian dengan tenaga gerak, baik berjalan sendiri maupun dirangkaikan dengan sarana perkeretaapian lainnya, yang akan ataupun sedang bergerak di jalan rel yang terkait dengan perjalanan kereta api.
Kereta Api atau KA merupakan alat transportasi termurah yang berada di negeri ini, selain termurah KA dianggap sebagai sarana transportasi cepat dan transportasi paling aman.
Meski sudah menjadi idola warga namun dari sisi pelayanan apa yang disajikan oleh PT. KAI masih jauh dari pelayanan prima. Sebagai perusahaan yang masih memegang hak monopoli tidak seharusnya berleha-leha membenahi pelayanannya.
Berdasarkan hasil referensi yang penulis temukan bahwasanya yang menjadi dasar hukum atau landasan hokum pengangkutan darat melalui kereta api yakni:
a.       UU No 23 Tahun 2007 Tentang Perkeretaapian.
b.      PP No. 56 Tahun 2009 Tentang Penyelenggaraan Perkeretaapian.
c.       PP No. 72 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Kereta api
Secara bahasa kata pengangkutan berarti pemindahan barang, sedangkan secara istilah yakni kegiatan pemuatan barang atau penumpang ke dalam alat angkut, sertapemindahan dari tempat yang satu ke tempat lainnya (dengan asumsi tempat tujuan yang disepakati). Jadi angkutan kereta api yaitu pemindahan barang atau penumpang yang dilakukan dengan alat transportasi yakni kereta api.




DAFTAR PUSTAKA

Muhammad, Abdulkadir, Hukum pengangkutan Niaga, Bandung:Citra Aditya Bakti, 1998.

Usman Adji, Sution,dkk. Hukum pengangkutan di indonesia, Jakarta:Rineka Cipta. 1991.

Soegijatna, Tjakranegara. Hukum Pengangkutan Barang dan Penumpang, Jakarta:Rineka Cipta. 1995.

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2009 Tentang Perkeretaapian

Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2009 Tentang Penyelenggaraan Perkeretaapian.

Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Kereta Api.

http://pendyrafadigital.blogspot.co.id/



DAFTAR ISI


HALAMAN JUDUL............................................................................        i
KATA PENGANTAR.........................................................................        ii
DAFTAR ISI.........................................................................................        iii

BAB I PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang..................................................................................        1
B.     Rumusan Masalah.............................................................................        2
C.    Tujuan................................................................................................        2

BAB II PEMBAHASAN
A.    Pengertian Pengangkutan, Hukum Pengangkutan, Perkeretaapian
       Dan Kereta Api................................................................................        3
B.     Angkutan Kereta Api........................................................................        3
C.    Tarif Angkutan Kereta Api...............................................................        5
D.    Tanggung Jawab Penyelenggara Sarana Dan Prasarana
       Perkeretaapian Sarana.....................................................................        6
E.     Asuransi Dan Ganti Kerugian...........................................................        8

BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan .......................................................................................        9

DAFTAR PUSTAKA

iii
 

 


KATA PENGANTAR



Segala puji bagi Allah karena atas kekuatannya penulis bisa menyelesaikan tugas ini tepat waktu. Tak lupa juga penulis ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan makalah ini.

Makalah ini penulis susun guna memenuhi tugas mata kuliah yang diberikan dosen kepada penulis. Penulis berharap makalah ini dapat menambah wawasan, pengetahuan dan kemamampuan kritis pembaca.

Penulis menyadari penulisan makalah ini masih banyak kekeliruan baik dari segi tatabahasa maupun sistematika penulisannya, oleh sebab itu saran dan kritik sangat penulis harapkan guna perbaikan penulisan mendatang.

Akhirnya, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.



Bandar Lampung,  Desember 2016



Penulis




ii
 
 


TUGAS MATA KULIAH HUKUM PENGANGKUTAN “DARAT”



Dosen Pengampu :  Lina Maulidiana, SH., MH.





Disusun Oleh :

Nama       :  Septia Emelda
NPM         :  15.74.201.0157



Hasil gambar untuk logo saburai














UNIVERSITAS SANG BUMI RUWA JURAI
FAKULTAS HUKUM
TAHUN AKADEMIK 2015/2016

 
 


TUGAS MATA KULIAH HUKUM PERJANJIAN “WARALABA SYARIAH”

BAB I
PENDAHULUAN

A.     Latar Belakang
Akhir-akhir ini, kita sering mendengar kata waralaba/franchise, transaksi bisnis yang bertaraf franchise kini mulai marak karena selain biaya murah dan bahan sudah disediakan juga tidak terlalu memakan tempat yang begitu luas.

Pada dasarnya Franchise adalah sebuah perjanjian mengenai metode pendistribusian barang dan jasa kepada konsumen. Franchisor dalam jangka waktu tertentu memberikan lisensi kepada franchisee untuk melakukan usaha pendistribusian barang atau jasa di bawah nama identitas franchisor dalam wilayah tertentu. Usaha tersebut harus dijalankan sesuai dengan prosedur dan cara yang ditetapkan oleh franchisor. Franchisor memberikan bantuan (assistance) terhadap franchisee, sebagai imbalannya franchisee membayar sejumlah uang berupa initial fee dan royalty. Kalau dalam hukum Islam, waralaba dengan model ini hampir serupa dengan model syirkah mudharabah (bagi hasil).

B.     Rumusan Masalah
1.      Pengertian waralaba atau franchise ?
2.      Jenis-jenis waralaba atau franchise ?
3.      Keuntungan dan kerugian waralaba atau franchise ?
4.      Akad atau perjanjian waralaba atau franchise ?
5.      Waralaba atau franchise menurut perspektif hukum islam ?






BAB II
PEMBAHASAN

A.     Pengertian Waralaba atau Franchise
Menurut asosiasi franchise Indonesia yang dimaksud dengan waralaba/ franchise adalah suatu sistem pendistribusian barang atau jasa kepada pelanggan akhir, dimana pemilik merk (franchisor) memberikan hak kepada individu atau perusahaan untuk melaksanakan bisnis dengan merk, nama, sistem, prosedur dan cara-cara yang telah ditetapkan sebelumnya dalam jangka waktu tertentu meliputi area tertentu.

Munir Fuady mendefinisikan waralaba atau franchise sebagai suatu cara melakukan kerjasama dibidang bisnis antara dua atau lebih perusahaan, dimana satu pihak akan bertindak sebagai franchisor dan pihak yang lain sebagai franchisee, yang didalamnya diatur bahwa pihakfranchisor sebagai pemilik suatu merk terkenal, dan memberikan kepada franchisee untuk melakukan kegiatan bisnis atas suatu produk barang atau jasa berdasarkan dan sesuai dengan rencana komersial yang telah dipersiapkan, diuji keberhasilannya dan diperbaharui dari waktu ke waktu, baik atas dasar hubungan eksklusif ataupun non eksklusif, dan sebaliknya suatu imbalan tertentu akan dibayar kepada franchisor.

Sementara menurut P. H. Collin dalam law dictionary mendefinisikan waralaba sebagai hak menggunakan nama atau menjual produk (barang) atau jasa dimana hak itu diberikan atau dijual.

Selain pengertian waralaba, perlu dijelaskan pula apa yang dimaksud dengan franchisordan franchisee. Franchisor  atau pemberi waralaba adalah badan usaha atau perorangan yang memberikan hak kepada pihak lain untuk memanfaatkan atau menggunakan hak atas kekayaan intelektual atau penemuan ciri khas usaha yang dimiliki. Sedangkan franchisee atau penerima waralaba adalah pihak yang membeli franchise atau system tersebut dari franchisor sehingga memiliki hak untuk menjalankan bisnis dengan cara-cara yang dikembangkan oleh franchisor.

B.     Jenis-jenis Waralaba atau Franchise
Waralaba dapat dibedakan menjadi dua bentuk, yaitu:
1.            Waralaba merek dagang dan produk
Waralaba merek dagang dan produk adalah pemberi waralaba memberikan hak kepada penerima waralaba untuk menjual produk yang dikembangkan oleh pemberi waralaba disertai dengan izin untuk menggunakan merek dagangnya. Atas pemberian izin pengunaan merek dagang tersebut pemberi waralaba mendapatkan suatu bentuk bayaran royalty di muka, dan selajutnya dia juga mendapat keuntungan dari penjualan produknya. Misalnya: SPBU menggunakan nama/merek dagang PERTAMINA.
2.            Waralaba format bisnis
Waralaba format bisnis adalah pemberian sebuah lisensi oleh seseorang kepada pihak lain, lisensi tersebut memberikan hak kepada penerima waralaba untuk berusaha dengan menggunakan merek dagang atau nama dagang pemberi waralaba dan untuk menggunakan keseluruhan paket, yang terdiri dari seluruh elemen yang diperlukan untuk membuat seseorang yang sebelumnya belum terlatih menjadi terampil dalam bisnis dan untuk menjalankannya dengan bantuan yang terus-menerus atas dasar-dasar yang telah ditentukan sebelumnya.

C.     Keuntungan dan Kerugian Waralaba atau Franchise
1.            Keuntungan bagi pemberi waralaba (franchisor).
a)      Franchisor  akan mempunyai lebih banyak waktu untuk memikirkan kebijakan untuk mengembangkan bisnis yang diwaralabakan tersebut.
b)      Organisasi franchisor mempunyai kemampuan untuk memperluas jaringan secara lebih cepat pada tingkat nasional dan tentunyapun internasional dengan menggunakan modal yang resikonya seminimal mungkin.
c)      Franchisor  akan lebih mudah untuk melakukan eksploitasi wilayah yang belum masuk dalam lingkungan organisasinya.
d)     Franchisor  cenderung untuk tidak memiliki asset outlet dagang sendiri. Tanggung jawab bagi aset tersebut diserahkan pada franchisee yang memilikinya.
e)      Seorang franchisor yang melibatkan bisnisnya pada kegiatan manufaktur/ pedagang besar bisa mendapatkan distribusi yang lebih luas dan kepastian bahwa ia mempunyai outlet untuk prooduknya.

2.            Keuntungan bagi penerima waralaba (franchisee).
a)      Kurangnya pengetahuan dasar dan pengetahuan khusus yang dimilikifranchisee, ditanggulangi dengan program pelatihan dari franchisor.
b)      Franchisee mendapatkan insentif dengan memiliki bisnis sendiri yang memiliki keuntungan tambahan dari bantuan terus-menerus franchisor, karena franchiseeadalah pengusaha independen yang beroperasi di dalam kerangka perjanjianfranchise.
c)      Di dalam banyak kasus, bisnis franchisee mendapat keuntungan dari operasi di bawah nama yang telah mapan dalam pandangan dan fikiran masyarakat.
d)     Franchisee biasanya akan membutuhkan modal yang lebih kecil dibandingkaan bila ia mendirikan bisnis secara mandiri, karena franchisor melaluhi operasi percobaannya telah menghapuskan biaya-biaya yang tidak perlu.
e)      Franchisee akan menerima bantuan berikut ini: seleksi tempat, mempersiapakan perbaikan gedung atau ruangan, mendapatkan dana untuk sebagian biaya akuisisi dari bisnis yang difranchisekan, pelatihan staff dan pegawai, pembelian peralatan, seleksi dan pembelian suku cadang serta membantu membuka bisnis dan menjalankannya dengan lancar.
f)       Franchisee mendapat keuntungan dari aktifitas iklan dan promosi franchisorpada tingkat nasional.
g)      Franchisee mendapatkan keuntungan dari daya beli yang besar dan kemampuan negosiasi yang dilakukan franchisor atas nama seluruh franchisee di jejaringnya.
h)      Franchisee mendapatkan pengetahuan yang khusus dan berskill tinggi serta pengalaman dari organisasi dan manajemen kantor pusat franchisor, walaupun dia tetap mandiri dalam bisnisnya sendiri.
i)        Risiko bisnis franchisee berkurang sangat besar.
j)        Franchisee mendapatkan jasa-jasa dari para staf lapangan franchisor yang berada di sana untuk membantunya mengatasi masalah-masalah yang mungkin timbul dari waktu ke waktu dalam pengelolaan bisnis.
k)      Franchisee mendapat keuntungan dari penggunaan paten, merek dagang, hak cipta, rahasia dagang serta proses, formula, dan resep rahasia milik franchisor.

3.            Kerugian bagi pemberi waralaba (franchisor).
a)      Beberapa franchisee cenderung menganggap dirinya independent.
b)      Franchisor  harus memiliki keyakinan untuk menjamin bahwa standar kualitas barang dan jasa dijaga melalui rantai waralaba.
c)      Ada franchisee yang tidak tertarik pada peluang-peluang yang mereka dapatkan dari bisnis tersebut.
d)     Franchisor  khawatir bahwa semua hasil kerja dan usaha yang ia berikan dalam pelatihan kepada franchisee hanya akan menghasilkan pesaing dimasa mendatang.
e)      Adanya kemungkinan terjadinya kesulitan untuk mendapatkan kerja sama darifranchisee.
f)       Kemungkinan terdapat kesulitan-kesulitan dalam rekrutmen orang-orang yang cocok sebagai franchisee untuk bisnis tertentu.



4.            Kerugian bagi penerima waralaba (franchisee).
a)      Tidak dapat dihindari bahwa hubungan antara  franchisor  dengan  franchiseepasti melibatkan penekanan kontrol, karena kontrol tersebut akan mengatur kualitas jasa dan produk yang akan diberikan kepada masyarakat melaluhifranchisee.
b)      Franchisee harus membayar kepada franchisor untuk jasa-jasa yang didapatkannya dan untuk penggunaan system, yaitu dengan uang franchise(franchise fee) pendahuluan dan uang franchise terus menerus.
c)      Kesukaran dalam menilai kualitas franchisor.
d)     Kontrak franchise akan berisi beberapa pembatasan terhadap bisnis yang difranchisekan.
e)      Franchisee mungkin akan menemukan dirinya menjadi terlalu tergantung terhadap franchisor.
f)       Kebijakan-kebijakan franchisor mungkin mempengaruhi keberuntungan franchisee.

D.     Akad atau Perjanjian Waralaba atau Franchise
Pada dasarnya waralaba merupakan salah satu bentuk pemberian lisensi, hanya saja agak berbeda dengan pengertian lisensi pada umumnya, waralaba menekankan pada kewajiban untuk menggunakan system, metode, tata cara, prosedur, metode pemasaran dan penjualan maupun hal-hal lain yang ditentukan oleh pemberi waralaba secara eksklusif, serta tidak boleh dilanggar maupun diabaikan oleh penerima lisensi. Hal ini mengakibatkan bahwa waralaba cenderung bersifat eksklusif. Seorang atau suatu pihak yang menerima waralaba tidaklah dimungkinkan untuk melakukan kegiatan lain yang sejenis atau yang berada dalam suatu lingkungan yang mungkin menimbulkan persaingan dengan kegiatan usaha waralaba yang diperoleh olehnya dari pemberi waralaba.

Berdasarkan pengertian yang dikemukakan oleh Gunawan Widjaya tersebut di atas, maka dalam pembuatan perjanjian atau kontrak harus dibuat secara terang dan sejelas-jelasnya, hal ini disebabkan saling memberi kepercayaan dan mempunyai harapan keuntungan bagi kedua pihak akan diperoleh secara cepat. Karena itu kontrak waralaba merupakan suatu dokumen yang di dalamnya berisi suatu transaksi yang dijabarkan secara terperinci.

Hal-hal yang harus diperhatikan dalam pembuatan kontrak dibuat secara terperinci, yang terdiri dari:
1.      Perencanaan dan identifikasi kepentingaan franchisor sebagai pemilik, hal ini tentunya akan menyangkut hal-hal seperti merek dagang, hak cipta dan system bisnis franchisor.
2.      Sifat serta luasnya hak-hak yang diberikan kepada franchisee, hal ini menyangkut wilayah operasi dan pemberian hak-hak secaraa formal untuk menggunakan merek dagang, nama dagang dan seterusnya.
3.      Jangka waktu perjanjian. Prinsip dasar dalam mengatur hal ini bahwa hubunganfranchise harus dapat bertahan pada jangka waktu yang lama, atau setidak-tidaknya selama waktu lima tahun dengan klausula kontrak franchise dapat diperpanjang.
4.      Sifat dan luasnya jasa-jasa yang diberikan, baik pada masa-masa awal maupun selanjutnya. Ini akan menyangkut jasa-jasa pendahuluan yang memungkinkanfranchisee untuk memulai, ditraining, dan dilengkapi dengan peralatan untuk melakukan bisnis. Pada masa selanjutnya, franchisor akan memberikan jasa-jasa secara terperinci hendaknya diatur dalam kontrak dan ia juga diperkenankan untuk memperkenalkan dan mengembangkan ide-ide baru.
5.      Kewajiban-kewajiban awal dan selanjutnya dari franchisee. Ini akan mengatur kewajiban untuk menerima beban keuangan dalam mendirikan bisnis sesuai dengan persyaratan franchisor serta melaksanakan sesuai dengan system operasi, akunting dan administrasi lainnya untuk memastikan bahwa informasi yang penting tersedia untuk kedua belah pihak. Sistem-sistem ini akan dikemukakan dalam petunjuk operasional yang akan disampaikan kepada franchisee selama pelatihan dan akan terus tersedia sebagai pedoman/referensi setelah ia membuka bisnisnya.
6.      Kontrol operasional terhadap franchisee. Kontrol-kontrol tersebut untuk memastikan bahwa standar operasional dikontrol secara layak, karena kegagalan untuk mempertahankan standar pada satu unit franchisee akan mengganggu keseluruhan jaringan franchise.
7.      Penjualan bisnis. Salah satu kunci sukses dari franchise adalah motivasi yang ditanamkannya kepada franchisee, disertai sifat kewirausahaan franchisee. Seorangfranchisor hendaknya sangat selektif ketika mempertimbangkan lamaran darifranchisee, terutama terhadap orang-orang yang akan bergabung dengan jejaring dengan membeli bisnis dari franchise yang mapan.
8.      Kematian franchisee. Untuk memberikan ketenangan bagi franchisee, harus dibuat ketentuan bahwa franchisor akan memberikan bantuan untuk memungkinkan bisnis dipertahankan sebagai suatu asset yang perlu direalisir, atau jika tidak bisa diambil alih oleh ahli warisnya apabila ahli waris tersebut memenuhi syarat sebagaifranchisee.
9.      Arbitrase. Dalam kontrak sebaiknya ditentukan mengenai penyelesaian sengketa yang mungkin timbul dengan melaluhi arbitrase, dengan harapan penyelesaiannya akan lebih cepat, murah dan tidak terbuka sengketanya kepada umum.
10.  Berakhirnya kontrak dan akibat-akibatnya. Dalam kontrak harus selalu ada kektentuan yang mengatur mengenai berakhirnya perjanjian. Perlu ditambahkan dalam kontrak, franchisee mempunyai kewajiban selama jangka waktu tertentu untuk tidak bersaing dengan franchisor atau franchisee lainnya, juga tidak diperkenankan menggunakan sistem atau metode franchisor.

E.     Waralaba atau Franchise Perspektif  Hukum Islam
Untuk menciptakan sistem bisnis waralaba yang islami, diperlukan sistem nilai syariah sebagai filter moral bisnis yang bertujuan untuk menghindari berbagai penyimpangan bisnis (moral hazard), yaitu Maysir (spekulasi), Asusila, Gharar (penipuan), Haram, Riba, Ikhtikar (penimbunan/monopoli), Dharar (berbahaya).
Bila diperhatikan dari sudut bentuk perjanjian yang diadakan waralaba (franchise) dapat dikemukakan bahwa perjanjian itu sebenarnya merupakan pengembangan dari bentuk kerjasama (syirkah). Hal ini disebabkan karena dengan adanya perjanjian franchise, maka secara otomatis antara franchisor dan franchisee terbentuk hubungan kerja sama untuk waktu tertentu (sesuai dengan perjanjian). Kerja sama tersebut dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan bagi kedua belah pihak. Dalam waralaba diterapkan prinsip keterbukaan dan kehati-hatian, hal ini sesuai dengan prinsip transaksi dalam Islam yaitu gharar (ketidakjelasan).

Sedangkan  syirkah itu sendiri dibagi menjadi 3 bentuk yaitu :
a)      Syirkah ibahah, yaitu persekutuan hak semua orang untuk dibolehkan menikmati manfaat sesuatu yang belum ada di bawah kekuasaan seseorang.
b)      Syirkah amlak (milik), yaitu persekutuan antara dua orang atau lebih untuk memiliki suatu benda.
c)      Syirkah akad, yaitu persekutuan antara dua orang atau lebih yang timbul dengan adanya perjanjian. . Syirkah akad dibagi menjadi empat (4), yaitu :
d)     Syirkah amwal, yaitu persekutuan antara dua orang atau lebih dalam modal/harta.
e)      Syirkah a’mal, yaitu perjanjian persekutuan antara dua orang atau lebih untuk menerima pekerjaan dari pihak ketiga yang akan dikerjakan bersama dengan ketentuan upah dibagi menjadi dua.
f)       Syirkah wujuh, yaitu persekutuan antara dua orang atau lebih dengan modal harta dari pihak luar.
g)      Syirkah mudharabah, yaitu kemitraan (persekutuan) antara tenaga dan harta, seorang (supplier) memberikan hartanya kepada pihak lain (pengelola) yang digunakan untuk bisnis, dengan ketentuan bahwa keuntungan (laba) yang diperoleh akan dibagi menurut kesepakatan kedua belah pihak.

Bisnis waralaba ini pun mempunyai manfaat yang cukup berperan dalam meningkatkan pengembangan usaha kecil. Dari segi kemashlahatan usaha waralaba ini juga bernilai positif sehingga dapat dibenarkan menurut hukum Islam. Terdapat beberapa indikasi di atas yang menyatakan bahwa secara garis besar sistem transaksifranchise ini diperbolehkan oleh hukum Islam. Karena waralaba termasuk bentuk perjanjian  kerjasama (syirkah) yang sisinya memberikan hak dan wewenang khusus kepada pihak penerima. Waralaba merupakan suatu perjanjian timbal balik, karena pemberi waralaba (franchisor) maupun penerima waralaba (franchisee) keduanya berkewajiabn untuk memenuhi prestasi tertentu. Setelah pemaparan yang panjang lebar mengenai franchise di atas, terdapat persamaan dan perbedaan franchisemenurut hukum Islam dan hukum positif.

Persamaannya adalah Pertama, franchise adalah kerjasama (syirkah) yang saling menguntungkan, berarti franchise memang dapat dikatakan kategori dari syirkah dalam hukum Islam. Kedua, terdapat prestasi bagi penerima waralaba, hal ini sama dengan syirkah mudharabah muqayyadah. Ketiga, terdapat barang, jasa dan tenaga memenuhi salah satu syarat syirkah. Keempat, terdapat 2 orang atau lebih yang bertransaksi, sepakat, hal tertentu, ditulis (dicatat) dan oleh sebab tertentu sesuai dengan syarat akad, khususnya syirkah mudharabah.

 Adapun perbedaannya terletak pada, Pertama, dalah syirkah mudharabah, modal harus berupa uang, tidak boleh barang. Sedangkan dalam franchise modal dapat dibantu oleh franchisor baik uang, barang atau  tenaga professional. Kedua, dalam franchise terdapat kerja sama dalam bidang hak kekayaan intelektual (HAKI), yaitu merek dagang. Dan dalam hukum Islam hal tersebut termasuk syirkah amlak (hak milik).

Ketiga, tidak bolehnya kerja sama dalam hal berjualan barang haram, sedangkan dalam hukum positif tidak terdapat pembatasan terhadap hal tersebut, misal transaksi jual-beli barang najis dan memabukkan, seperti babi dan miras.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
1.      Waralaba/franchise adalah suatu sistem pendistribusian barang atau jasa kepada pelanggan akhir, dimana pemilik merk (franchisor) memberikan hak kepada individu atau perusahaan untuk melaksanakan bisnis dengan merk, nama, sistem, prosedur dan cara-cara yang telah ditetapkan sebelumnya dalam jangka waktu tertentu meliputi area tertentu.
2.      Jenis-jenis waralaba dapat dibedakan menjadi dua bentuk:
a)      Waralaba merek dagang dan produk.
b)      Waralaba format bisnis.
3.      Keuntungan dan kerugian selalu ada dalam bisnis apapun termasuk waralaba, bukan hanya yang ditanggung oleh franchisor tetapi juga franchisee. Semuanya selalu berkesinambungan satu sama lain.
4.      Akad atau perjanjian waralaba antara lain:
a)      Perencanaan dan identifikasi kepentingan franchisor sebagai pemilik.
b)      Sifat serta luasnya hak-hak yang diberikan kepada franchisee.
c)      Jangka waktu perjanjian.
d)     Sifat dan luasnya jasa-jasa yang diberikan.
e)      Kewajiban-kewajiban awal dan selanjutnya dari franchisee.
f)       Kontrol operasional terhadap franchisee.
g)      Penjualan bisnis.
h)      Kematian franchisee.
i)        Arbitrase.
j)        Berakhirnya kontrak.     
5.      Waralaba atau franchise menurut perspektif hukum islam disamakan dengan syirkah mudharabah atau bagi hasil.


DAFTAR PUSTAKA

Budi Utomo, Setiawan.  Fiqih Aktual. Jakarta: Gema Insani, 2003.
Sumarsono, Sonny. Manajemen Bisnis Waralaba. Yogyakarta: Graha Ilmu, 2009.
Wijaya, Gunawan. Seri Hukum Bisnis. Jakarta: PT Grafindo Persada, 2001.



DAFTAR ISI


HALAMAN JUDUL...................................................................................             i
KATA PENGANTAR................................................................................             ii
DAFTAR ISI................................................................................................             iii

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang .........................................................................................             1
B. Rumusan Masalah .....................................................................................             1

BAB II PEMBAHASAN
A.     Pengertian Waralaba atau Franchise......................................................             2
B.     Jenis-jenis Waralaba atau Franchise.......................................................             3
C.     Keuntungan dan Kerugian Waralaba atau Franchise............................             5
D.     Akad atau Perjanjian Waralaba atau Franchise.....................................             6
E.     Waralaba atau Franchise Perspektif  Hukum Islam...............................             8

BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan ...............................................................................................             11

DAFTAR PUSTAKA

iii
 

 


KATA PENGANTAR



Segala puji bagi Allah karena atas kekuatannya penulis bisa menyelesaikan tugas ini tepat waktu. Tak lupa juga penulis ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan makalah ini.

Makalah ini penulis susun guna memenuhi tugas mata kuliah yang diberikan dosen kepada penulis. Penulis berharap makalah ini dapat menambah wawasan, pengetahuan dan kemamampuan kritis pembaca.

Penulis menyadari penulisan makalah ini masih banyak kekeliruan baik dari segi tatabahasa maupun sistematika penulisannya, oleh sebab itu saran dan kritik sangat penulis harapkan guna perbaikan penulisan mendatang.

Akhirnya, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.



Bandar Lampung,  Desember 2016



Penulis



ii
 
 



TUGAS MATA KULIAH HUKUM PERJANJIAN “WARALABA SYARIAH”


Dosen Pengampu :  Lina Maulidiana, SH., MH.




Disusun Oleh :

·        Nova Yatiar Mawaddah        15.74.201.0033
·        Septia Imelda                       15.74.201.0157

Semester III (Sore)

Hasil gambar untuk logo saburai












UNIVERSITAS SANG BUMI RUWA JURAI
FAKULTAS HUKUM
TAHUN AKADEMIK 2015/2016


 
 

PENGARUH KOMPETENSI GURU TERHADAP HASIL BELAJAR PADA PELAJARAN IPA SISWA KELAS IV SD

    PENGARUH KOMPETENSI GURU TERHADAP HASIL BELAJAR PADA PELAJARAN IPA SISWA KELAS IV SD      BAB I PENDAHULUAN   A.  ...