Sunday, December 18, 2016

SINOPSIS DAN ANALISIS NOVEL "PULANG" KARYA TERE LIYE

SINOPSIS NOVEL “PULANG” KARYA TERE LIYE

Resensi Novel Pulang Karya Tere Liye
Judul                         : Pulang
Penulis                      : Tere Liye
Jumlah Halaman    : iv + 400 halaman
Penerbit                    : Republika Penerbit
Tahun Terbit           : Cetakan VII, November 2015    

Novel ini menceritakan tentang perjalanan pulang seorang bujang, pimpinan ribuan anggota keluarga dan puluhan perusahaan yang tersebar di seluruh kawasan Asia Pasifik. Seorang samurai sejati. Yang berhasil mencapai tujuannya, pulang.
Tidak mudah seorang bujang yang biasa dikenal si Babi Hutan menjadikan dirinya sebagai orang yang kini paling dihormati. Dua puluh tahun lamanya Bujang menjalani kehidupan menyesatkan, berteman dengan maut, berjuang untuk pulang. Semua ini berawal ketika dia berusia 15 tahun, datang seorang pemburu Babi Hutan dari kota untuk menjemput bujang agar ikut dengannya memperbaiki kehidupan di kota provinsi. Tauke Besar, pemburu Babi Hutan ternyata ia pemimpin shadow economy di kota provinsi. Pengalaman pertama yang membuat rasa takut pada apapun hilang dari jiwa Bujang, ketika Bujang berhasil melawan Babi Hutan yang begitu besar hingga kini Bujang mendapat julukan si Babi Hutan.
Perjalanan hidup Bujang penuh dengan suka duka, kebahagiaan dan penderitaan. Kebahagiaan berawal ketika kopong berhasil membujuk Tauke Besar untuk mengijinkan bujang berlatih. Malam untuk berlatih, siangnya untuk sekolah. Berbulan-bulan Bujang hanya berlatih berlari bolak-balik sampai kakinya melepuh. Enam bulan kemudian barulah ia dilatih tinju. Suatu hari Bujang berhasil mengalahkan kopong yang berarti Bujang membutuhkan guru baru.
Seminggu kemudian, kopong membawakan guru baru untuk Bujang. Guru Bushi namanya. Guru mengajarkan senjata tajam-pedang. Bujang belajar melempar shuriken. Meskipun begitu, ia tidak pernah ikut satupun pertempuran. Setelah lama tinggal bersama keluarga Tong, akhirnya Bujang menyadari betapa mahalnya perebutan kekuasaan. Nyawa pun tidak jarang menjadi korban. Setiap nama yang gugur akan diabadikan di dinding pualam sebagai penghormatan. Satu tahun tinggal di kota, Bujang berhasil mendapatkan ijazah persamaan SD dan SMP dengan nilai yang sempurna.
Kebahagiaan berikutnya, saat dirinya resmi menjadi tukang pukul seperti bapak. Keberhasilan itu terjadi ketika Bujang menemani Tauke Besar untuk menjadi pengawal dalam menyelesaikan suatu masalah dan dia berhasil melindungi Tauke Besar dari serangan mendadak.
Selanjutnya ketika Bujang mendapat guru baru, salonga namanya. Bujang belajar menembak. Tidak mudah untuk menjadi seorang penembak jitu. Tidak terhitung berapa kali ia gagal dan dibodoh-bodohkan oleh salonga. Namun ia tidak pernah putus asa. Lagi-lagi Bujang mengalahkan gurunya. Setelah lama berlatih dan berusaha keras akhirnya Bujang berhasil menembak Salonga lebih dulu. Dan itu berarti selesai sudah berguru dengan Salonga. Sebelum akhirnya Salonga pergi, Bujang mendapat hadiah pistol colt dari Salonga.
Bujang berhasil lulus dari Universitas saat ia berumur 22 tahun. Namun, sebuah pernyataan bahwa kebahagiaan dan kesedihan jaraknya hanya sebenang saja ternyata benar, kebahagiaan itu hilang sekejap tak berbekas. Bujang mendapat surat dari bapak. Surat duka yang memberitahukan bahwa mamak telah tiada. Hatinya bagai diiris sembilu, menangis dalam senyap, terisak tanpa suara.
Kepergian mamak mengambil separuh semangat hidupnya. Suatu hari bujang mendapat kabar bahwa Guru Bushi mengundang Bujang ke Tokyo untuk menyelesaikan latihannya. Dengan perjanjian setelah selesai Bujang harus kembali dan berangkat ke Amerika untuk melanjutkan sekolahnya. Kabar itu cukup membuat Bujang mendapat semangatnya kembali.
Peristiwa yang sama terjadi ketika Bujang berhasil menyelesaikan pendidikannya dan memperoleh gelar master. Kepulangan Bujang disambut bahagia dan bangga oleh Tauke Besar. Tauke Besar mengadakan jamuan makan malam untuk merayakan keberhasilan. Namun kabar duka lagi-lagi menghampiri kebahagiaannya. Kabar duka datang dari bapak. Isi suratnya memeberi tahu Bujang bahwasannya bapak telah tiada, bapak sudah pulang ke pangkuan Tuhan. Sepuluh Tahun Bujang telah meninggalkan talang di rimba Sumatra. Tidak pernah sekalipun ia pulang menjenguk mamak dan bapak.
Lagi-lagi kabar kematian bapak menghilangkan semangat Bujang. Setiap kali Bujang mendapat adzan shubuh, hatinya gelisah. Semakin lama fisiknya semakin lemah, Bujang sakit parah, segera mendapatkan pertolongan dan berangsur sembuh. Semangatnya menjadi tukang pukul kembali. Beberapa tahun kemudian, Bujang sedang melanglang buana kebanyak tempat. Berkat Kopong yang dengan senang hati menceritakan apapun tentang bapak dan mamak, Bujang semakin tahu masa lalu kedua orang tuanya.
Banyak peristiwa-peristiwa menegangkan yang dialami Bujang seperti, saat kegiatan belajar dan mengajar saja menjadi bahan olokan Basyir. Bujang semakin panas hingga suatu hari ia memutuskan menemui Tauke dan memaksa berhenti belajar. Bujang ingin menjadi tukang pukul seperti ayahnya. Meskipun keinginan itu ditolak mentah-mentah oleh Tauke, Bujang tetap bersikeras. Akhirnya Tauke Besar yang mengalah dan membawa Bujang untuk melaksanakan ritual Amok. Amok adalah perkelahian bebas keluarga Tong untuk memilih Kepala tukang pukul. Bujang diberi waktu 20 menit untuk bertahan dari amukan masa tapi dia hanya mampu bertahan 19 menit dikalahkan oleh Basyir. Bujang gagal menjadi Kepala tukang pukul dan berarti ia harus tetap sekolah.
Kedua, suatu hari sebelum keluarga Tong pindah ke ibu kota, keluarga Tong mendapat serangan mendadak oleh kelompok Arab dari pabrik tekstil. Tak ada satupun tukang pukul di rumah. Pertahanan Tauke besar terkalahkan. Tauke besar kehabisan amunisi ketika menyerang mereka, terdesak. Namun kesempatan itu digunakan Bujang untuk membuktikan bahwa ia pantas menjadi tukang pukul dan peristiwa itu sekaligus pengalaman pertama merasakan bagaimana rasanya membunuh.
Ketiga, sewaktu Bujang telah berlatih tiba-tiba Tauke mengajaknya ke Hong Kong untuk menemui kepala keluarga penguasa China daratan, Master Dragon, Shang namanya. Ketika Tauke sedang menjelaskan masalah sebenarnya, tiba-tiba tukang pukul Shang menyerang Tauke Besar. Bujang lah yang maju, dia sudah siap sejak awal. Bujang berhasil mengalahkan mereka.
Peristiwa terakhir yang paling menegangkan yaitu ketika pengkhianatan datang dari anggota keluarga Tong sendiri. Basyir selama ini ternyata telah merencanakan serangan besar untuk merebut kekuasaan keluarga Tong. Peristiwa ini berawal ketika Basyir bilang kepada Bujang bahwa Tauke Besar yang sedang sakit-sakitan meminta bujang segera pulang. Sesampainya di rumah, ternyata Tauke tidak sedang menunggu Bujang ataupun meminta ia segera pulang. Tauke Besar bahkan tidak tahu kalau Bujang menyadari yang terjadi saat ini bukan ancaman serangan, tapi ini adalah pengkhianatan. Langsung saja Bujang memberitahukan Joni untuk segera menekan tombol darurat, mengaktifkan pertahanan bangunan utama. Basyir berkhianat, dia sengaja membuang Bujang, Perwez, dan Tauke berada dirumah.
Tidak butuh waktu lama setelah alarm darurat berbunyi, tanda-tanda serangan mulai terdengar. Anggota Brigade Tong berusaha menyerang terlebih dahulu sebelum Basyir tiba di markas. Prinsip Bujang hanya satu, bertahan selama mungkin. Saat anggota Brigade Tong mulai terdesak, tiba-tiba Basyir muncul dari balik dinding. Ternyata Basyir bekerja sama dengan putra tertua keluarga Lin. Awalnya Basyir mampu mengalahkan Bujang, menawarkan agar Bujang menyerah saja tapi Bujang tetap bersikeras sampai akhirnya Basyir menyerang kembali dengan khanjar-nya. Serangan itu membuat tubuh Bujang terpelanting mendarat di ranjang Tauke Besar. Saat itu juga Tauke besar menekan tombol darurat terakhir. Lantai dibawah tempat tidur merekah, ranjang pun meluncur. Itu jalur darurat yang disiapkan kopong. Hanya tauke besar yang tahu. Sedetik kemudian lantai merapat kembali menyisakan Basyir yang berteriak kalap.
Bujang, Tauke, dan Perwez melewati lorong evakuasi yang tersambung di halaman sebuah rumah, itu adalah rumah tuanku Imam, kakak tertua dari mamak Bujang. Beliau membawa rombongan ke tempatnya. Tauke Besar gugur saat itu juga dan di kebumikan dengan nama alias. Seperti yang sudah-sudah Bujang kembali terpuruk karena kematian. Kini ia tidak punya siap-siapa lagi. Semenjak selama itu Bujang semakin benci dengan suara Adzan, ia akan resah setiap ada adzan shubuh. Suatu ketika Tuanku Imam melihatnya. Tuanku Imam mengajak Bujang ke sebuah menara tinggi melihat pemandangan dari atas. Di tempat itulah Bujang mendapat jawaban dari pertanyaannya selama ini. Tuanku imam banyak menjelaskan sesuatu membuat semangat bujang kembali lagi dan segera menyusun serangan balik kepada Basyir. Bujang mengumpulkan orang-orang yang masih setia kepadanya.
Rencana Bujang berjalan mulus sampai hari yang sudah ditentukan. Perang berjalan menegangkan. Bujang kualahan karena dia kalah jumlah dengan orang-orang yang mengabdi pada Basyir. Saat Bujang mulai terdesak, Bujang merasakan tubuhnya bertransformasi. Dua khanjar milik Basyir melesat, sekejap tubuh Bujang seperti menghilang. Basyir semakin geram. Pasukan salonga yang sudah ditunggu-tunggu muncul dengan kekuatan penuh. Meskipun Basyir tidak mau mengalah, dia tetap kalah. Saat itu juga pertarungan selesai. Basyir dan Tuan Muda Lin dibiarkan pergi dengan aman. Keluarga Tong menang.
Akhirnya, empat minggu setelah perang Bujang memutuskan menjenguk pusara mamak dan bapak di Talang. Mengunjungi bekas rumahnya. Bujang pulang, tapi tidak pulang ke pangkuan mamak, bersimpuh. Bujang pulang kepada panggilan Tuhan. Panggilan Tuhan untuk hidup kembali ke jalan-Nya.
Dua puluh tahun lamanya Bujang hidup berteman kekerasan, jauh dari Tuhan tetapi, ia selalu menjalankan pesan mamak. Tidak pernah sekalipun Bujang melanggar pesan mamak untuk tidak memakan daging babi atau daging anjing bahkan tidak pernah setetes pun Bujang menyentuh tuak dan segala minuman haram.  


UNSUR INTRINSIK NOVEL “PULANG” KARYA TERE LIYE
Tema             : Perjuangan
Novel ini mengangkat cerita tentang ketangguhan perjuangan seorang anak pedalaman keturunan perewa.
Alur                : Campuran
Tere Liye membuat novel ini sangat mengalir penuh kejutan. Banyak hal tak terduga muncul dari aliran-aliran ceritanya.
Setting           : Pedesaan, Kota Provinsi, Ibu Kota, Luar Negeri.
Tokoh                        :
·         Bujang, tokoh utama.
·         Samad, bapak Bujang.
·         Midah, mamak Bujang.
·         Tauke Muda/ Tauke Besar, Pimpinan keluarga Tong.
·         Kopong, kepala tukang pukul keluarga Tong.
·         Mansyur, kepala keuangan/ logistik keluarga Tong.
·         Basyir, sahabat Bujang.
·         Guru Bushi, guru berlatih kedua Bujang, mengajarkan shuriken.
·         Salonga, guru berlatih keluarga ketiga Bujang, mengajak menembak.  
·         Frans si Amerika, mantan diploma, guru, penerjemah pribadi keluarga Tong.
·         Master Dragon, kepala keluarga penguasa China daratan.
·         White, putra Frans si Amerika.
·         Yuki dan Kiko, cucu guru Bushi.
·         Edwin, supir pesawat pribadi milik keluarga Tong.
·         Shang, putra Master Dragon.
·         Perwez, direktur utama group perusahaan milik keluarga Tong.
·         Joni, kepala tukang pukul pengganti kopong.
·         Tuanku imam, kakak tertua mamak Bujang.
Karakter        : penulis menggabungkan teknik ekspositori (teknik penjelasan secara langsung oleh penulis) dan teknik dramatik (teknik penjelasan secara tidak langsung, digambarkan melalui aktivitas, tindakan, percakapan, pikiran, sang tokoh cerita saat melalui setiap tokoh peristiwa). Teknik ini sangat membantu pembaca dalam memahami karakter para tokoh-tokohnya.
Dalam novel ini, tokoh-tokoh pembantu yang ada apabila dihilangkan salah satunya maka tak akan menggenapi cerita. Tokoh Basyir, kopong, Mansyur, dan Parwes tak hanya dihadirkan sebagai orang-orang yang “sekedar” ada dalam lingkaran keluarga Tong. Tetapi semuanya membentuk peran penting dalam ekspansi besar keluarga Tong, dan masing-masing memiliki relevansi latar belakang yang kuat dengan pucuk pimpinan keluarga Tong. Hal inilah yang kemudian mempengaruhi tindakan dan pilihan hidup mereka yang akan kita temukan dalam rangkaian cerita ini.
Sosok Bujang adalah seorang pria yang luar biasa jago berkelahi, jago menembak, jago berdoplomasi, menguasai ilmu samurai, peraih dua gelar master di universitas terkemuka di Amerika Serikat, sangat jenius dan memahami kecanggihan teknologi.
Tuanku imam adalah tokoh penasehat yang juga adalah paman Bujang dan yang pertama kalinya memanggil Bujang dengan nama aslinya.
Gaya Bahasa               : gaya bahasa yang digunakan oleh pengarang    mudah dipahami, dominan dengan bahasa Indonesia yang digunakan sehari-hari.
Sudut pandang             : sudut pandang yang digunakan oleh pengarang adalah sudut pandang orang pertama, yaitu “aku”.
Amanat                      : Senakal-nakalnya kita, tetaplah ingat pesan orang tua tentang apapun terutama larangan-larangan yang masuk akal. Jangan terlalu larut dalam kesedihan. Serta harus mempunyai tujuan hidup yang jelas dan kuat, selalu berusaha semaksimal mungkin.
Kelebihan Novel     :
§  Bahasa yang digunakan mudah dipahami;
§  Jalan ceritanya penuh dengan kejutan, sering gagal ditebak pembaca;
§  Imaginasi yang digunakan tinggi, mampu membuat pikiran pembaca melanglang buana;
§  Ketebalan novel ini terhitung sedang, artinya tidak terlalu tebal sehingga orang mudah bosan membaca, atau terlalu tipis hingga tidak terlalu berkesan;
§  Penuh dengan inspirasi hidup;
§  Kisahnya fiksi tetapi masuk akal dan mudah dimengerti;
§  Penggalan-penggalan ceritanya berhasil membuat pembaca penasaran.
Kekurangan Novel :
§  Tokohnya terlalu banyak, sehingga pembaca harus sedikit lebih berkonsentrasi;
§  Tidak ada contoh-contoh dialog dengan bahasa asing, misalnya ketika settingnya sedang di Jepang. Mungkin akan lebih menarik jika sedikit demi sedikit terdapat dialog dengan bahasa asing yang sesuai kemudian juga terdapat penerjemahannya, akan menambah wawasan pembaca.
§  Jenis huruf yang digunakan kurang menarik perhatian bagi orang yang kurang suka membaca.

Kesimpulan :
sejauh apapun kita melangkah, segelap apapun jalan hidup kita, sekeras apapun perjalanan hidup kita, hakikatnya kita akan tetap pulang. Cepat atau lambat semua akan kembali ke Tuhan, apapun yang kita miliki hanyalah titipan Tuhan, milik Tuhan, yang suatu saat akan diminta kembali untuk pulang ke pemiliknya.
Novel pulang karya Tere liye sangat menginspirasi siapapun yang mau membaca. Tidak akan sia-sia jika waktu kita terbuang untuk membaca, karena dengan membaca kita akan meihat dunia sehingga, untuk melihat dunia kita harus melanglang buana. Selalu ada hal baru yang pantas untuk kita teladani.

UNSUR EKSTRINSIK NOVEL “PULANG” KARYA TERE LIYE
Latar Belakang Penulis
“Tere Liye” merupakan nama pena dari seorang novelis Indonesia yang diambil dari bahasa India dengan arti: untukmu. Tere-Liye Lahir pada tanggal 21 Mei 1979 dan telah menghasilkan 14 buah novel. Nama asli dari pengarang ini adalah Darwis ,yang beristrikan Riski Amelia, dan seorang ayah dari Abdullah Pasai. Lahir dan besar di pedalaman Sumatera, berasal dari keluarga petani, anak keenam dari tujuh bersaudara. Riwayat pendidikannya antara lain, SDN 2 Kikim Timur Sumatera Selatan, SMPN 2 Kikim Timur Sumsel, SMUN 9 Bandar Lampung, Fakultas Ekonomi UI. Profesinya sekarang sebagai penulis dan sebagai pemateri dalam forum diskusi. Berkat dari kerja kerasnya itu membuat novel nya itu sampai ke pasaran Internasional, oleh sebab itu ia dijuluki sebagai novelis terbaik Indonesia. Novelnya ada yang sampai ke mancanegara yang diterjemahkan dalam bahasa inggris. Karya-karyanya yang telah dipublikasikan antara lain berjudul Daun yg Jatuh Tak Pernah Membenci Angin, Pukat, Burlian, Hafalan Shalat Delisa, Moga Bunda Disayang Allah, Ayahku bukan Pembohong,The Gogons Series: James & Incridible, Bidadari-Bidadari Surga, Sang Penandai, Rembulan Tenggelam Di Wajahmu, Mimpi-Mimpi Si Patah Hati, Cintaku Antara Jakarta & Kuala Lumpur, Senja Bersama Rosie, dan ELIANA serial anak-anak mamak. Semua dari karya-karyanya itu mendapatkan tanggapan positif dari setiap pembaca. Hampir semua dari novel-novelnya itu menjadi best seller.
Nilai yang Terkandung
1.    Nilai Moral
          Inilah nilai paling kuat dalam novel Pulang (juga novel Tere Liye sebelumnya). Sebuah karya yang baik memang sudah selazimnya menyisipkan pesan moral, baik tersurat maupun tersirat. Penulis yang kini tinggal di Bandung ini amat piawai membungkus nasihat dan pemahaman hidup dengan kemasan yang cantik. Pembaca sama sekali tak merasa digurui atau dikhotbahi.
            Lebih dari itu, apabila para ahli sastra menyebut bahwa sastra (termasuk novel) memiliki fungsi moral dan didaktif-edukatif serta bermanfaat guna melembutkan jiwa, memperhalus moral, maka menurut hemat peresensi, novel ini telah memenuhi kriteria tersebut. Salah satu buktinya adalah adanya amanat untuk tetap optimis melanjutkan hidup dan bangkit dari keterpurukan. Berikut kutipan pendukungnya.
            “Akan selalu ada hari-hari menyakitkan dan kita tidak tahu kapan hari itu menghantam. Tapi akan selalu ada hari-hari berikutnya, memulai bab yang baru bersama matahari terbit.” (Halaman 345).
2.    Nilai Filosofis
Banyak nilai-nilai filosofis yang dapat kita petik lewat tokok-tokoh di novel pulang. Seperti ayah Bujang misalnya, ketika ia berusaha mendapatkan ibu Bujang dan bersabar menahan rindu selama bertahun-tahun. Lewat ibu Bujang, kita juga dapat merenungi tulusnya cinta seorang ibu yang tak pernah berhenti, bahkan sampai ajal menjemput.
Lewat tokoh guru Bushi, kita juga tau filosofi hidup seorang samurai. Bahwa sejatinya samurai bukan hanya seni memainkan pedang untuk melumpuhkan lawan. Samurai adalah cara hidup. Prinsip-prinsip kehormatan . bujang pun memiliki prinsip hidup yang patut dicontoh. Ia tidak setia pada orang atau kelompok, tapi kesetiaannya ada pada prinsip-prinsip hidup, bukan pada yang lain ( halaman. 187-188).



8 comments:

TINDAK TUTUR LOKUSI DALAM FILM 'TENGGELAMNYA KAPAL VAN DER WIJCK' DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PEMBELAJARAN SASTRA

  TINDAK TUTUR LOKUSI DALAM FILM 'TENGGELAMNYA KAPAL VAN DER WIJCK' DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PEMBELAJARAN SASTRA   BAB I PEND...