KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT. Karena
atas rahmat serta hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas
makalah Teori Pembelajaran Bahasa ini sesuai dengan batas waktu yang telah
ditentukan. Tak lupa pula, penulis kirimkan salam dan shalawat kepada junjungan
kita semua, Rasulullah SAW, keluarga, dan seluruh sahabatnya.
Makalah Teori Pembelajaran Bahasa yang
penulis susun ini berjudul “Whole Language: Pendekatan Pembelajaran Bahasa.
Makalah ini hadir untuk memenuhi tugas Teori Pembelajaran Bahasa yang diberikan
oleh Bapak Andri Wicaksono, S.Pd., M.Pd. terimakasih juga kepada teman-teman yang telah banyak membantu
baik dengan tenaga maupun fikiran sehingga makalah ini dapat tersusun dengan
cepat. Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan.
Penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca
sekalian. Semoga makalah ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya.
Bandar
Lampung, Desember 2016
Penulis
i
|
DAFTAR
ISI
KATA PENGANTAR.............................................................................. i
DAFTAR ISI.............................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang...................................................................................... 1
1.2
Rumusan Masalah................................................................................. 1
1.3
Tujuan Penulisan................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Definisi dan Sejarah Whole Language................................................... 3
2.2 Penerapan Whole Language................................................................... 5
2.3 Keterkaitan Whole Language dengan Bidang
Lain............................... 8
BAB III PENUTUP
3.1
Kesimpulan........................................................................................... 10
3.2
Saran..................................................................................................... 10
DAFTAR PUSTAKA
ii
|
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sebagai seorang pendidik, kita telah belajar
berbagai macam metode mengajar. Begitu pun sebagai pendidik ( guru/dosen ) bahasa,
tentu kita sudah belajar metode pembelajaran bahasa. Metode mengajar yang
dipelajari oleh seorang pendidik akan diterapkannya saat mengajar. Tidak ada
metode yang baik dan tidak ada pula metode yang buruk. Setiap metode mengajar
memiliki kelebihan dan kelemahan. Metode-metode tersebut dapat digunakan dalam
tujuan tertentu dan situasi tertentu.
Untuk itu, dalam memilih metode yang tepat, tentu sangat dibutuhkan kepiawaian
seorang pendidik.
Seperti
yang telah diketahui, ditemukannya sebuah metode tidak terlepas dari adanya
kritikan atas kelemahan metode yang sudah ada. Grammar-translation method,
misalnya, dikritik karena memiliki kelemahan lalu dikembangkan metode baru,
yakni direct method. Namun, direct method memiliki kelemahan juga sehingga
dikembangkan lagi metode baru, yakni structural method. Begitulah seterusnya,
para pendidik dan pemerhati pembelajaran bahasa tidak akan pernah berdiam,
tetapi akan terus berusaha mencari metode yang tepat.
Meskipun
tidak ada metode yang baik dan tidak ada pula metode yang buruk, pasti ada
metode yang memiliki keunggulan yang lebih banyak jika dibandingkan dengan
metode yang lain untuk tujuan pembelajaran tertentu. Dengan demikian, perlu
dikaji kelebihan dan kelemahan masing-masing metode yang disesuaikan dengan
tujuan pembelajaran dan situasi pembelajaran. Salah satu dari metode yang ada
itu akan dibahas dalam tulisan ini, yakni metode whole language.
1.2 Rumusan Masalah
1.
Apa definisi dan sejarah Whole Language?
2.
Bagaiamana penerapan Whole Language?
3.
Apa saja keterkaitan Whole Language dengan bidang lain?
1.3 Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan ini ada tiga. Ketiga tujuan
itu adalah:
1.
Mendefinisikan whole language dan sejarahnya
2.
Mendeskripsikan implementasi whole language
3.
Mendeskripsikan keterkaitan whole language dengan bidang lain.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Definisi
dan Sejarah Whole Language
Istilah Whole Language dalam bahasa Indonesia
dapat dipadankan dengan ‘ bahasa terpadu’ atau ‘bahasa menyeluruh’. Menurut
Ridwan, konsep pengajaran bahasa secara menyeluruh atau terpadu diperkenalkan
oleh Jerome Harrte dan Carolyn Burke pada tahun 1977. Setelah itu, pada tahun 1978 diperkenalkan
istilah teacher whole language (TWL)
oleh Doroty Waston. Kemudian, pada tahun 1979 Ken Goodman memperkenalkan
istilah whole language, comprehension,
centered. Reading program. Sementara itu, Richard dan Rodgers mengatakan
bahwa whole language ‘bahasa terpadu’ digagas pada tahun 1980-an. Konsep ini
dimunculkan oleh kelompok yang peduli pada pengajaran bahasa dan sastra. Konsep
ini muncul di Amerika Serikat. Mereka menentang konsep pemebelajaran bahasa
yang hanya menggunakan pendekatan menulis dan membaca. Pembelajaran bahasa
secara menyeluruh adalah sebuah teori pembelajaran bahasa yang diciptakan untuk
membantu pembelajar (anak-anak) membaca pada tingkat awal hingga sampai
menengah dan lanjut dalam pembelajaran bahasa Inggris sebagai bahasa kedua
(ESL).
Dalam
buku A Kaleidoscope of Models and
Strategies for Teaching English to Speakers of Other Languages, whole language
tidak dijelaskan sebagai sebuah pendekatan atau filsafat, tetapi kedua istilah
tersebut digunakan sekaligus. Hal tersebut dapat dilihat dari kutipan berikut.
“Whole Language Philosophies or approaches focus on the use of authentic
language”.
Selanjutnya,
Ridwan mengungkapkan bahwa whole language merupakan filsafat pendidikan yang
berlandaskan hasil penelitian dari berbagai disiplin ilmu yang kemudian
membentuk teori yang matang tentang pembelajaran bahasa, yang mencangkup peran
guru serta pandangan kurikulum yang berfokus pada bahasa. Artinya, whole
language sudah menjadi sebuah teori pembelajaran bahasa.
Sebaliknya,
dari hasil penelitian yang dilakukan Bergeron (1990) dalam Richard dan Rodgers
dinyatakan bahwa artikel yang menyebutkan whole language sebagai sebuah
pendekatan (approach) 34,4%, filsafat
(philosophy) 23,4%, kepercayaan (belief) 14,1%, dan metode (method) 6,3%. Artinya, whole language
adalah sebuah pendekatan. Istilah “pendekatan” juga digunakan oleh Santosa
dalam menjelaskan whole language.
Dari
empat pendapat tersebut, penulis berkesimpulan bahwa whole language adalah
sebuah pendekatan dalam pembelajaran bahasa. Pendekatan ini berlandaskan pada
filsafat dan hasil penelitian. Lebih lanjut, Brown mengungkapkan bahwa whole
language sudah mencakup pengertian yang lebih luas. Bahasa sebagai suatu yang
padu dijadikan sebuah label yang digunakan untuk mendeskripsikan sembilan hal:
1) cooperative learning ‘
pembelajaran secara kooperatif’, 2) participatory
learning ‘pembelajaran partisipatif’, 3) student-centered learning ‘pembelajaran berpusat pada siswa’. 4) focus on the community of learner’fokus
pada komunitas pembelajar’, 5) focus on the
social nature of language ‘fokus pada sifat sosial bahasa’, 6) use of authentic natural language
‘penggunaan bahasa yang autentik dan alami’, 7) meaning-centered language ‘bahasa yang berpusat pada makna’, 8) holistic assesment techniques in testing,
‘teknik pengukuran holistik dalam tes’, dan 9) integration of the “four skills”
integrasi empat keterampilan berbahasa’.
Sebagai
sebuah teori pembelajaran, bagaimanakah konsep whole language itu? Brown
mengatakan bahwa konsep whole language digunakan dalam penelitian bahasa yang
menekankan pada tiga hal. Ketiga hal itu adalah 1) whole language menentang
adanya konsep yang membagi-bagi bahasa (fonem, grafem, morfem, dan kata), 2)
adanya interaksi dan interkoneksi antara bahasa lisan (menyimak dan berbicara)
dengan bahasa tulisan (membaca dan menulis), dan 3) sama pentingnya dalam
masyarakat terpelajar antara kode-kode bahasa lisan dengan kode-kode bahasa
tulisan.
Konsep
whole language menurut Brown hampir sama dengan konsep yang dikemukakan
Goodman. Menurut Goodman, bahasa tidak dapat dipisah-pisahkan, tetapi bahsa itu
padu. Konsep whole language berakar pada psikologi humanis dan kognitif. Menurut
penganut paham kognitif, pembelajar dapat mengonstruksi pengetahuan yang ia
peroleh dalam otaknya. Selanjutnya, menurut penganut paham humanis, pembelajar
memperoleh suatu hal yang bermakna ketika ia belajar. Dengan demikian, jika
dikaitkan dengan pembelajaran bahasa, seorang pembelajar harus dapat
mengonstruksi pengetahuan bahasa yang ia peroleh dan dapat menerapkannya dalam
kehidupan sehingga pembelajaran itu bermakna. Hal ini sesuai dengan pendapat
Richards dan Rodgers, “The learning theory underlying whole language is in the
humanistic and constructivist schools”.
Selain
Richard dan Rodgers, Norland dan Pruett-Said juga mengungkapkan hal yang sama.
Begitu pun dengan Emilia, ia mengatakan bahwa whole language didasarkan pada
teori konstruktivisme Piaget dan prinsip belajar Vygotsky. Hal ini sesuai
dengan pendapat Ridwan. Menurutnya, dalam hal ini secara eksplisit Whole
Language menolak paham behaviorisme, tetapi pembelajaran dipengaruhi oleh
psikologi kognitif dan teori belajar yang menekankan pada peran motivasi dan
interaksi sosial. Peranan guru dalam whole language sudah banyak diambil ahli
oleh peserta didik. Guru bukan penceramah lagi, melainkan pemotivasi, pengawas,
pemberi semangat, dan teman. Hal ini sesuai dengan pendapat Goodman (2005)
dalam Emilia.
2.2 Penerapan
Whole Language
Ciri-ciri
kelas yang diterapkan whole language berbeda-beda jumlahnya menurut pakar.
Menurut Weaver (1990) ada lima, sedangkan menurut Routman (1991) dan Froese
(1991) ada tujuh ciri-ciri kelas whole language. Meskipun berbeda jumlahnya,
ciri-ciri tersebut hampir sama, yakni 1) peran guru sama-sama sebagai
fasilitator dan 2) siswa membaca lalu menulis hasil bacaannya, sehingga lebih
bermakna. Untuk lebih jelasnya, dapat dilihat dari uraian berikut.
Ciri-ciri
kelas yang diterapkan whole language menurut Weaver (1990), ada lima:
a.
Siswa diharapkan belajar membaca dan menulis saat mereka belajar
berbicara secara berangsur-angsur.
b.
Guru mengobservasi secara rinci kebutuhan siswa dan mengembangkannya.
Pembelajaran lebih ditekankan daripada pengajaran. Dalam hal ini, guru berperan
sebagai fasilitator.
c.
Siswa membaca dan menulis setiap hari, namun bukan membaca secara
artifisial atau menjadi pembaca yang reseptif dan menulis harus dengan tujuan.
d.
Membaca, menulis, berbicara, dan menyimak dalam kurikulum, tidak
dianggap sebagai komponen yang diajarkan secara terpisah .
e.
Belajar untuk membaca dan membaca untuk belajar bukanlah kegiatan yang
terpisah. Sejak awal siswa sudah diberi teks yang dapat dibaca berulang-ulang
dan didorong untuk menulis kembali teks itu secara keseluruhan dengan
menggunakan kata-kata atau kalimat sendiri.
Routman
(1991) dan Froese (1991) mengungkapkan bahwa ada tujuh ciri-ciri kelas whole
language. Ketujuh ciri itu adalah sebagai berikut.
a.
Ruang kelas sudah dipenuhi barang cetakan. Barang-barang tersebut di
gantung di dinding, di pintu, dan di perabotan. Siswa menempelkan tulisannya
dan poster di sekitar ruangan. Salah satu sudut ruangan dijadikan perpustakaan
dengan buku teks, buku cerita, koran, majalah, buku petunjuk, kamus, dan barang
cetak lainnya tertata.
b.
Siswa belajar melalui model atau contoh. Guru dan siswa bersama-sama
melakukan kegiatan membaca, menulis, menyimak, dan berbicara, OHP dan
transparasi digunakan untuk memperagakan proses menulis. Siswa mendengarkan
cerita melalui tape recorder untuk
mendapatkan contoh membaca yang benar.
c.
Siswa bekerja dan belajar sesuai dengan tingkat kemampuannya. Untuk itu,
di dalam kelas sudah disediakan buku dan materi penunjang.
d.
Siswa berbagi tanggung jawab dalam pemebelajaran dan pembagian ini
ditulis lalu dipajang di dalam kelas. Peranan guru sebagai fasilitator.
e.
Siswa terlibat aktif dalam pembelajaran bermakna. Siswa tidak tergantung
pada guru dan temannya, tetapi ia aktif dalam mengerjakan tugas individu atau
kelompok kecil. Siswa menulis kembali hasil bacaannya, mengedit, bahkan membuat
buku. Guru terlibat dalam konferensi dengan siswa atau berkeliling ruangan
untuk mengamati siswa, berinteraksi dengan siswa atau membuat catatan tentang
kegiatan siswa.
f.
Siswa berani mengambil resiko dan bereksperimen. Guru menyediakan
kegiatan belajar dalam berbagai tingkat kemampuan siswa agar siswa berhasil.
Hasil tulisan siswa dipajang tanpa ada tanda koreksi. Siswa dipacu untuk
melakukan yang terbaik tanpa menuntut kesempurnaan.
g.
Siswa mendapatkan umpan balik yang positif, baik dari guru maupun dari
teman. Umpan balik diberikan sesegera mungkin. Penataan menjadi memungkin siswa
berkaloborasi, berdiskusi, dan berkonferensi. Konferensi antara guru dan siswa
memberikan kesempatan pada siswa untuk menilai diri dan melihat perkembangan
diri. Adanya respon positif dari teman akan membangkitkan rasa percaya diri.
Sementara
itu, Richards dan Rodgers mengungkapkan bahwa aktivitas yang sering dilakukan
dalam pembelajaran whole language ada
enam. Keenam kegiatan itu adalah kegiatan membaca dan menulis secara individu
dan kelompok kecil (individual and small group
reading and writing),menulis jurnal (ungraded
dialogue journals), menulis portopolio (writing
portfolions), menulis konferensi (writing
conferences), membuat buku (student-made book),dan menulis cerita (strory writing).
Menurut
Ridwan dan Routman (1991) dan Froese (1991), whole language memulai langkahnya dengan menciptakan lingkungan,
tempat bahasa diajarkan secara utuh, dan keempat kemampuan berbahasa (menyimak,
berbicara, membaca, dan menulis) disampaikan secara terpadu. Ada delapan
komponen whole language yaitu :
a. Reading aloud adalah kegiatan membaca dengan suara lantang yang dilakukan guru. Hal
ini bertujuan untuk membantu siswa dalam meningkatkan kemampuan menyimak,
memperkaya kosakata, meningkatkan kemampuan pemahaman dan menumbuhkan minat
baca siswa (kelas pemula).
b. Journal writing adalah kegiatan menulis yang dilakukan siswa. Hasil tulisan siswa ini
dapat dijadikan informasi tentang karakter siswa, perasaaan siswa dan
pengetahuan siswa. Selain itu, jurnal ini dapat menjadi bahan evaluasi siswa
dan bagi guru terkait pembelajaran siswa. Penulisan jurnal itu bertujuan 1)
meningkatkan kemampuan menulis, 2) meningkatkan kemampuan membaca, 3)
menumbuhkan keberanian menghadapi resiko, 4) memberi kesempatan untuk membuat
refleksi, 5) memvalidasi pengalaman dan perasaan pribadi, 6) meningkatkan
kemampuan berpikir, 7) meningkatkan pemahaman tentang aturan menulis, 8)
menjadi alat evaluasi, dan 9) menjadi dokumen tertulis.
c. Sustained silent reading adalah kegiatan membaca dalam hati. Guru memberikan bahan bacaan dari
berbagai sumber yang menarik. Siswa memilih bacaan yang disukainya.
d. Shared reading adalah kegiatan membaca secara bersama-sama antara guru dan siswa.
Caranya adalah 1) guru membaca dan siswa mengikutinya(khusus kelas awal), 2) guru
membaca dan siswa menyimak sambil mengamati teks yang dibaca, dan 3) siswa
membaca bergiliran.
e. Guided reading ‘membaca terbimbing’ adalah guru membantu siswa dalam peningkatan
pemahaman terhadap bacaan. Caranya adalah guru memberikan bacaan lalu siswa
diminta membaca. Setalah itu, guru memberikan pertanyaan terkait dengan bacaan
tersebut kemudian siswa mendiskusikan nya jawaban.
f. Guided writing ‘menulis terbimbing’ adalah
guru memberikan saran, motivasi dan guru memfasilitasi. Artinya, guru berperan
sebagai pembimbing, motivator, dan fasilitator. Caranya adalah guru memberikan
topik yang akan ditulis siswa lalu guru membimbing merka, yakni dari segi
sistematika, kejelasan isi agar tulisan menjadi menarik.
g. Independent reading ‘membaca bebas’ adalah memberikan kesempatan kepada siswa untuk membaca
materi yang ingin dibacanya.
h. Independent writing ‘menulis bebas’ adalah diberikannya siswa kesempatan menulis tanpa ada
intervensi dari pihak lain termasuk guru. Menulis bebas bertujuan 1)
meningkatakan kemampuan menulis, 2) menumbuhkan kebiasaan menulis, 3)
mengembangkan kemampuan berfikir divergen (kreativitas).
2.3. Keterkaitan Whole Language dengan Bidang Lain
Menurut
Ridwan, jenis pembelajaran terpadu ada dua. Kedua jenis itu adalah 1)
keterpaduan interdisplin dan 2) keterpaduan antardisplin. Keterpaduan
interdisplin ini menurutnya adalah mengintergrasikan dua samapi empat
keterampilan berbahasadalam pembelajaran bahasa. Keterpaduan antardisplin
adalah keterpaduan mata pelajaran bahasa dengan mata pelajaran lain, seperti
IPS, IPA, dan matematika.
Ridwan
membagi keterpaduan antardisplin ini menjadi tiga bentuk atau tataran. Ketiga
bentuk itu adalah keterpaduan pada tataran konsep, keterpaduan pada tataran
topik, dan keterpaduan pada tataran proses. Keterpaduan dalam tataran konsep
adalah dari satu topik/tema yang dipelajari siswa, guru dapat mengembangkan
beberapa konsep. Contohnya adalah guru memberkan tema/topik lingkungan.
Keterpaduan dalam tataran topik adalah mengembangkan topik yang ada menjadi beberapa
topik yang terkait. Contohnya adalah guru akan menjelaskan topik unggas dalam
mata pelajaran IPA. Keterpaduan dalam tataran proses adalah bahasa digunakan
dalam pembelajaran mata pelajaran lain.Contohnya adalah menggunakan bahasa
dalam pengenalan nama-nama pada mata pelajaran IPA dan matematika.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Kesimpulan
nya whole language adalah sebuah
pendekatan. Pendekatan ini berdasarkan paham humanis dan konstruktivisme.
Pendekatan ini sudah meluas untuk mendeskripsikan Sembilan hal. Sebuah kelas
dikatakan telah diterapkan whole language
apabila telah memiliki delapan komponen whole
language: komponen itu adalah 1)
reading aloud, 2) journal writing, 3) sustained silent reading, 4) shared
reading, 5) gueding reading, 6) guided writing, 7) independent reading, 8)
independent writing. Para guru sebagai fasilitator. Penilain dilakukan
memalui observasi. Ada dua jenis pembelajaran terpadu: 1) ketepaduan
interdisplin dan 2) keterpaduan antardisplin.
3.2 Saran
Di dalam penerapan pembelajaran yang
mendidik, para guru yang diharapkan menyediakan berbagai metode yang variatif
dan menjadi fasilitator di dalam kegiatan pembelajarannya. Guru juga sebaiknya
selalu mampu mengkondisikan pembelajaran yang menyenangkan serta efektif. Semua
itu ditujukan demi ketercapaian tujuan pendidikan dan penanaman sikap, karakter
bermartabat, dan akhlak mulia para generasi penerus bangsa.
DAFTAR
PUSTAKA
Brown,
H.D. 2007. Teaching by Principles an
Interactive Approach to Language Pedagogy. Edisi ke-3. San
Francisco:Longman.
Charlesworth,
Rosalind. 2012. Experiences in Math for
Young Children. Edisi ke-6. USA: Wadsworth Cengage Learning.
Emilia,
Emi. 2010. Teaching Writing Developing
Critical Learners. Bandung: Rizki Press.
No comments:
Post a Comment