Friday, December 9, 2016

WHOLE LANGUAGE ( Pendekatan Pembelajaran Bahasa )

KATA PENGANTAR


Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT. Karena atas rahmat serta hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas makalah Teori Pembelajaran Bahasa ini sesuai dengan batas waktu yang telah ditentukan. Tak lupa pula, penulis kirimkan salam dan shalawat kepada junjungan kita semua, Rasulullah SAW, keluarga, dan seluruh sahabatnya.
Makalah Teori Pembelajaran Bahasa yang penulis susun ini berjudul “Whole Language: Pendekatan Pembelajaran Bahasa. Makalah ini hadir untuk memenuhi tugas Teori Pembelajaran Bahasa yang diberikan oleh Bapak Andri Wicaksono, S.Pd., M.Pd. terimakasih juga kepada teman-teman yang telah banyak membantu baik dengan tenaga maupun fikiran sehingga makalah ini dapat tersusun dengan cepat. Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca sekalian. Semoga makalah ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya.


Bandar Lampung,       Desember 2016



Penulis




i

 

DAFTAR ISI


KATA PENGANTAR..............................................................................            i
DAFTAR ISI..............................................................................................           ii

BAB I PENDAHULUAN
1.1    Latar Belakang......................................................................................           1
1.2    Rumusan Masalah.................................................................................           1
1.3    Tujuan Penulisan...................................................................................           2

BAB II PEMBAHASAN
2.1 Definisi dan Sejarah Whole Language...................................................           3
2.2 Penerapan Whole Language...................................................................           5
2.3 Keterkaitan Whole Language dengan Bidang Lain...............................           8

BAB III PENUTUP
3.1    Kesimpulan...........................................................................................         10
3.2    Saran.....................................................................................................         10

DAFTAR PUSTAKA
ii
 


BAB I
PENDAHULUAN

1.1    Latar Belakang
Sebagai seorang pendidik, kita telah belajar berbagai macam metode mengajar. Begitu pun sebagai pendidik ( guru/dosen ) bahasa, tentu kita sudah belajar metode pembelajaran bahasa. Metode mengajar yang dipelajari oleh seorang pendidik akan diterapkannya saat mengajar. Tidak ada metode yang baik dan tidak ada pula metode yang buruk. Setiap metode mengajar memiliki kelebihan dan kelemahan. Metode-metode tersebut dapat digunakan dalam tujuan tertentu dan situasi  tertentu. Untuk itu, dalam memilih metode yang tepat, tentu sangat dibutuhkan kepiawaian seorang pendidik.
            Seperti yang telah diketahui, ditemukannya sebuah metode tidak terlepas dari adanya kritikan atas kelemahan metode yang sudah ada. Grammar-translation method, misalnya, dikritik karena memiliki kelemahan lalu dikembangkan metode baru, yakni direct method. Namun, direct method memiliki kelemahan juga sehingga dikembangkan lagi metode baru, yakni structural method. Begitulah seterusnya, para pendidik dan pemerhati pembelajaran bahasa tidak akan pernah berdiam, tetapi akan terus berusaha mencari metode yang tepat.
            Meskipun tidak ada metode yang baik dan tidak ada pula metode yang buruk, pasti ada metode yang memiliki keunggulan yang lebih banyak jika dibandingkan dengan metode yang lain untuk tujuan pembelajaran tertentu. Dengan demikian, perlu dikaji kelebihan dan kelemahan masing-masing metode yang disesuaikan dengan tujuan pembelajaran dan situasi pembelajaran. Salah satu dari metode yang ada itu akan dibahas dalam tulisan ini, yakni metode whole language.
           
1.2    Rumusan Masalah
1.      Apa definisi dan sejarah Whole Language?
2.      Bagaiamana penerapan Whole Language?
3.      Apa saja keterkaitan Whole Language dengan bidang lain?

1.3    Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan ini ada tiga. Ketiga tujuan itu adalah:
1.      Mendefinisikan whole language dan sejarahnya
2.      Mendeskripsikan implementasi whole language
3.      Mendeskripsikan keterkaitan whole language dengan bidang lain.



























BAB II
PEMBAHASAN


2.1 Definisi dan Sejarah Whole Language
Istilah Whole Language dalam bahasa Indonesia dapat dipadankan dengan ‘ bahasa terpadu’ atau ‘bahasa menyeluruh’. Menurut Ridwan, konsep pengajaran bahasa secara menyeluruh atau terpadu diperkenalkan oleh Jerome Harrte dan Carolyn Burke pada tahun 1977.  Setelah itu, pada tahun 1978 diperkenalkan istilah teacher whole language (TWL) oleh Doroty Waston. Kemudian, pada tahun 1979 Ken Goodman memperkenalkan istilah whole language, comprehension, centered. Reading program. Sementara itu, Richard dan Rodgers mengatakan bahwa whole language ‘bahasa terpadu’ digagas pada tahun 1980-an. Konsep ini dimunculkan oleh kelompok yang peduli pada pengajaran bahasa dan sastra. Konsep ini muncul di Amerika Serikat. Mereka menentang konsep pemebelajaran bahasa yang hanya menggunakan pendekatan menulis dan membaca. Pembelajaran bahasa secara menyeluruh adalah sebuah teori pembelajaran bahasa yang diciptakan untuk membantu pembelajar (anak-anak) membaca pada tingkat awal hingga sampai menengah dan lanjut dalam pembelajaran bahasa Inggris sebagai bahasa kedua (ESL).
            Dalam buku A Kaleidoscope of Models and Strategies for Teaching English to Speakers of Other Languages, whole language tidak dijelaskan sebagai sebuah pendekatan atau filsafat, tetapi kedua istilah tersebut digunakan sekaligus. Hal tersebut dapat dilihat dari kutipan berikut. “Whole Language Philosophies or approaches focus on the use of authentic language”.
            Selanjutnya, Ridwan mengungkapkan bahwa whole language merupakan filsafat pendidikan yang berlandaskan hasil penelitian dari berbagai disiplin ilmu yang kemudian membentuk teori yang matang tentang pembelajaran bahasa, yang mencangkup peran guru serta pandangan kurikulum yang berfokus pada bahasa. Artinya, whole language sudah menjadi sebuah teori pembelajaran bahasa.
            Sebaliknya, dari hasil penelitian yang dilakukan Bergeron (1990) dalam Richard dan Rodgers dinyatakan bahwa artikel yang menyebutkan whole language sebagai sebuah pendekatan (approach) 34,4%, filsafat (philosophy) 23,4%, kepercayaan (belief) 14,1%, dan metode (method) 6,3%. Artinya, whole language adalah sebuah pendekatan. Istilah “pendekatan” juga digunakan oleh Santosa dalam menjelaskan whole language.
            Dari empat pendapat tersebut, penulis berkesimpulan bahwa whole language adalah sebuah pendekatan dalam pembelajaran bahasa. Pendekatan ini berlandaskan pada filsafat dan hasil penelitian. Lebih lanjut, Brown mengungkapkan bahwa whole language sudah mencakup pengertian yang lebih luas. Bahasa sebagai suatu yang padu dijadikan sebuah label yang digunakan untuk mendeskripsikan sembilan hal: 1) cooperative learning ‘ pembelajaran secara kooperatif’, 2) participatory learning ‘pembelajaran partisipatif’, 3) student-centered learning ‘pembelajaran berpusat pada siswa’. 4) focus on the community of learner’fokus pada komunitas pembelajar’, 5) focus on the social nature of language ‘fokus pada sifat sosial bahasa’, 6) use of authentic natural language ‘penggunaan bahasa yang autentik dan alami’, 7) meaning-centered language ‘bahasa yang berpusat pada makna’, 8) holistic assesment techniques in testing, ‘teknik pengukuran holistik dalam tes’, dan 9) integration of the “four skills” integrasi empat keterampilan berbahasa’.
            Sebagai sebuah teori pembelajaran, bagaimanakah konsep whole language itu? Brown mengatakan bahwa konsep whole language digunakan dalam penelitian bahasa yang menekankan pada tiga hal. Ketiga hal itu adalah 1) whole language menentang adanya konsep yang membagi-bagi bahasa (fonem, grafem, morfem, dan kata), 2) adanya interaksi dan interkoneksi antara bahasa lisan (menyimak dan berbicara) dengan bahasa tulisan (membaca dan menulis), dan 3) sama pentingnya dalam masyarakat terpelajar antara kode-kode bahasa lisan dengan kode-kode bahasa tulisan.
            Konsep whole language menurut Brown hampir sama dengan konsep yang dikemukakan Goodman. Menurut Goodman, bahasa tidak dapat dipisah-pisahkan, tetapi bahsa itu padu. Konsep whole language berakar pada psikologi humanis dan kognitif. Menurut penganut paham kognitif, pembelajar dapat mengonstruksi pengetahuan yang ia peroleh dalam otaknya. Selanjutnya, menurut penganut paham humanis, pembelajar memperoleh suatu hal yang bermakna ketika ia belajar. Dengan demikian, jika dikaitkan dengan pembelajaran bahasa, seorang pembelajar harus dapat mengonstruksi pengetahuan bahasa yang ia peroleh dan dapat menerapkannya dalam kehidupan sehingga pembelajaran itu bermakna. Hal ini sesuai dengan pendapat Richards dan Rodgers, “The learning theory underlying whole language is in the humanistic and constructivist schools”.
            Selain Richard dan Rodgers, Norland dan Pruett-Said juga mengungkapkan hal yang sama. Begitu pun dengan Emilia, ia mengatakan bahwa whole language didasarkan pada teori konstruktivisme Piaget dan prinsip belajar Vygotsky. Hal ini sesuai dengan pendapat Ridwan. Menurutnya, dalam hal ini secara eksplisit Whole Language menolak paham behaviorisme, tetapi pembelajaran dipengaruhi oleh psikologi kognitif dan teori belajar yang menekankan pada peran motivasi dan interaksi sosial. Peranan guru dalam whole language sudah banyak diambil ahli oleh peserta didik. Guru bukan penceramah lagi, melainkan pemotivasi, pengawas, pemberi semangat, dan teman. Hal ini sesuai dengan pendapat Goodman (2005) dalam Emilia.

2.2 Penerapan Whole Language
            Ciri-ciri kelas yang diterapkan whole language berbeda-beda jumlahnya menurut pakar. Menurut Weaver (1990) ada lima, sedangkan menurut Routman (1991) dan Froese (1991) ada tujuh ciri-ciri kelas whole language. Meskipun berbeda jumlahnya, ciri-ciri tersebut hampir sama, yakni 1) peran guru sama-sama sebagai fasilitator dan 2) siswa membaca lalu menulis hasil bacaannya, sehingga lebih bermakna. Untuk lebih jelasnya, dapat dilihat dari uraian berikut.
            Ciri-ciri kelas yang diterapkan whole language menurut Weaver (1990), ada lima:
a.       Siswa diharapkan belajar membaca dan menulis saat mereka belajar berbicara secara berangsur-angsur.
b.      Guru mengobservasi secara rinci kebutuhan siswa dan mengembangkannya. Pembelajaran lebih ditekankan daripada pengajaran. Dalam hal ini, guru berperan sebagai fasilitator.
c.       Siswa membaca dan menulis setiap hari, namun bukan membaca secara artifisial atau menjadi pembaca yang reseptif dan menulis harus dengan tujuan.
d.      Membaca, menulis, berbicara, dan menyimak dalam kurikulum, tidak dianggap sebagai komponen yang diajarkan secara terpisah .
e.       Belajar untuk membaca dan membaca untuk belajar bukanlah kegiatan yang terpisah. Sejak awal siswa sudah diberi teks yang dapat dibaca berulang-ulang dan didorong untuk menulis kembali teks itu secara keseluruhan dengan menggunakan kata-kata atau kalimat sendiri.

Routman (1991) dan Froese (1991) mengungkapkan bahwa ada tujuh ciri-ciri kelas whole language. Ketujuh ciri itu adalah sebagai berikut.
a.       Ruang kelas sudah dipenuhi barang cetakan. Barang-barang tersebut di gantung di dinding, di pintu, dan di perabotan. Siswa menempelkan tulisannya dan poster di sekitar ruangan. Salah satu sudut ruangan dijadikan perpustakaan dengan buku teks, buku cerita, koran, majalah, buku petunjuk, kamus, dan barang cetak lainnya tertata.
b.      Siswa belajar melalui model atau contoh. Guru dan siswa bersama-sama melakukan kegiatan membaca, menulis, menyimak, dan berbicara, OHP dan transparasi digunakan untuk memperagakan proses menulis. Siswa mendengarkan cerita melalui tape recorder untuk mendapatkan contoh membaca yang benar.
c.       Siswa bekerja dan belajar sesuai dengan tingkat kemampuannya. Untuk itu, di dalam kelas sudah disediakan buku dan materi penunjang.
d.      Siswa berbagi tanggung jawab dalam pemebelajaran dan pembagian ini ditulis lalu dipajang di dalam kelas. Peranan guru sebagai fasilitator.
e.       Siswa terlibat aktif dalam pembelajaran bermakna. Siswa tidak tergantung pada guru dan temannya, tetapi ia aktif dalam mengerjakan tugas individu atau kelompok kecil. Siswa menulis kembali hasil bacaannya, mengedit, bahkan membuat buku. Guru terlibat dalam konferensi dengan siswa atau berkeliling ruangan untuk mengamati siswa, berinteraksi dengan siswa atau membuat catatan tentang kegiatan siswa.
f.       Siswa berani mengambil resiko dan bereksperimen. Guru menyediakan kegiatan belajar dalam berbagai tingkat kemampuan siswa agar siswa berhasil. Hasil tulisan siswa dipajang tanpa ada tanda koreksi. Siswa dipacu untuk melakukan yang terbaik tanpa menuntut kesempurnaan.
g.      Siswa mendapatkan umpan balik yang positif, baik dari guru maupun dari teman. Umpan balik diberikan sesegera mungkin. Penataan menjadi memungkin siswa berkaloborasi, berdiskusi, dan berkonferensi. Konferensi antara guru dan siswa memberikan kesempatan pada siswa untuk menilai diri dan melihat perkembangan diri. Adanya respon positif dari teman akan membangkitkan rasa percaya diri.

Sementara itu, Richards dan Rodgers mengungkapkan bahwa aktivitas yang sering dilakukan dalam pembelajaran whole language ada enam. Keenam kegiatan itu adalah kegiatan membaca dan menulis secara individu dan kelompok kecil (individual and small group reading and writing),menulis jurnal (ungraded dialogue journals), menulis portopolio (writing portfolions), menulis konferensi (writing conferences), membuat buku (student-made book),dan menulis cerita (strory writing).

Menurut Ridwan dan Routman (1991) dan Froese (1991), whole language memulai langkahnya dengan menciptakan lingkungan, tempat bahasa diajarkan secara utuh, dan keempat kemampuan berbahasa (menyimak, berbicara, membaca, dan menulis) disampaikan secara terpadu. Ada delapan komponen whole language yaitu :
a.       Reading aloud adalah kegiatan membaca dengan suara lantang yang dilakukan guru. Hal ini bertujuan untuk membantu siswa dalam meningkatkan kemampuan menyimak, memperkaya kosakata, meningkatkan kemampuan pemahaman dan menumbuhkan minat baca siswa (kelas pemula).
b.      Journal writing adalah kegiatan menulis yang dilakukan siswa. Hasil tulisan siswa ini dapat dijadikan informasi tentang karakter siswa, perasaaan siswa dan pengetahuan siswa. Selain itu, jurnal ini dapat menjadi bahan evaluasi siswa dan bagi guru terkait pembelajaran siswa. Penulisan jurnal itu bertujuan 1) meningkatkan kemampuan menulis, 2) meningkatkan kemampuan membaca, 3) menumbuhkan keberanian menghadapi resiko, 4) memberi kesempatan untuk membuat refleksi, 5) memvalidasi pengalaman dan perasaan pribadi, 6) meningkatkan kemampuan berpikir, 7) meningkatkan pemahaman tentang aturan menulis, 8) menjadi alat evaluasi, dan 9) menjadi dokumen tertulis.
c.       Sustained silent reading adalah kegiatan membaca dalam hati. Guru memberikan bahan bacaan dari berbagai sumber yang menarik. Siswa memilih bacaan yang disukainya.
d.      Shared reading adalah kegiatan membaca secara bersama-sama antara guru dan siswa. Caranya adalah 1) guru membaca dan siswa mengikutinya(khusus kelas awal), 2) guru membaca dan siswa menyimak sambil mengamati teks yang dibaca, dan 3) siswa membaca bergiliran.
e.       Guided reading ‘membaca terbimbing’ adalah guru membantu siswa dalam peningkatan pemahaman terhadap bacaan. Caranya adalah guru memberikan bacaan lalu siswa diminta membaca. Setalah itu, guru memberikan pertanyaan terkait dengan bacaan tersebut kemudian siswa mendiskusikan nya jawaban.
f.       Guided writing ‘menulis terbimbing’ adalah guru memberikan saran, motivasi dan guru memfasilitasi. Artinya, guru berperan sebagai pembimbing, motivator, dan fasilitator. Caranya adalah guru memberikan topik yang akan ditulis siswa lalu guru membimbing merka, yakni dari segi sistematika, kejelasan isi agar tulisan menjadi menarik.
g.      Independent reading ‘membaca bebas’ adalah memberikan kesempatan kepada siswa untuk membaca materi yang ingin dibacanya.
h.      Independent writing ‘menulis bebas’ adalah diberikannya siswa kesempatan menulis tanpa ada intervensi dari pihak lain termasuk guru. Menulis bebas bertujuan 1) meningkatakan kemampuan menulis, 2) menumbuhkan kebiasaan menulis, 3) mengembangkan kemampuan berfikir divergen (kreativitas).

2.3. Keterkaitan Whole Language dengan Bidang Lain
Menurut Ridwan, jenis pembelajaran terpadu ada dua. Kedua jenis itu adalah 1) keterpaduan interdisplin dan 2) keterpaduan antardisplin. Keterpaduan interdisplin ini menurutnya adalah mengintergrasikan dua samapi empat keterampilan berbahasadalam pembelajaran bahasa. Keterpaduan antardisplin adalah keterpaduan mata pelajaran bahasa dengan mata pelajaran lain, seperti IPS, IPA, dan matematika.

Ridwan membagi keterpaduan antardisplin ini menjadi tiga bentuk atau tataran. Ketiga bentuk itu adalah keterpaduan pada tataran konsep, keterpaduan pada tataran topik, dan keterpaduan pada tataran proses. Keterpaduan dalam tataran konsep adalah dari satu topik/tema yang dipelajari siswa, guru dapat mengembangkan beberapa konsep. Contohnya adalah guru memberkan tema/topik lingkungan. Keterpaduan dalam tataran topik adalah mengembangkan topik yang ada menjadi beberapa topik yang terkait. Contohnya adalah guru akan menjelaskan topik unggas dalam mata pelajaran IPA. Keterpaduan dalam tataran proses adalah bahasa digunakan dalam pembelajaran mata pelajaran lain.Contohnya adalah menggunakan bahasa dalam pengenalan nama-nama pada mata pelajaran IPA dan matematika.













BAB III
PENUTUP


3.1  Kesimpulan
Kesimpulan nya whole language adalah sebuah pendekatan. Pendekatan ini berdasarkan paham humanis dan konstruktivisme. Pendekatan ini sudah meluas untuk mendeskripsikan Sembilan hal. Sebuah kelas dikatakan telah diterapkan whole language apabila telah memiliki delapan komponen whole language: komponen itu adalah 1) reading aloud, 2) journal writing, 3) sustained silent reading, 4) shared reading, 5) gueding reading, 6) guided writing, 7) independent reading, 8) independent writing. Para guru sebagai fasilitator. Penilain dilakukan memalui observasi. Ada dua jenis pembelajaran terpadu: 1) ketepaduan interdisplin dan 2) keterpaduan antardisplin.

3.2 Saran
Di dalam penerapan pembelajaran yang mendidik, para guru yang diharapkan menyediakan berbagai metode yang variatif dan menjadi fasilitator di dalam kegiatan pembelajarannya. Guru juga sebaiknya selalu mampu mengkondisikan pembelajaran yang menyenangkan serta efektif. Semua itu ditujukan demi ketercapaian tujuan pendidikan dan penanaman sikap, karakter bermartabat, dan akhlak mulia para generasi penerus bangsa.




DAFTAR PUSTAKA

Brown, H.D. 2007. Teaching by Principles an Interactive Approach to Language Pedagogy. Edisi ke-3. San Francisco:Longman.

Charlesworth, Rosalind. 2012. Experiences in Math for Young Children. Edisi ke-6. USA: Wadsworth Cengage Learning.


Emilia, Emi. 2010. Teaching Writing Developing Critical Learners. Bandung: Rizki Press.

No comments:

Post a Comment

PENGARUH KOMPETENSI GURU TERHADAP HASIL BELAJAR PADA PELAJARAN IPA SISWA KELAS IV SD

    PENGARUH KOMPETENSI GURU TERHADAP HASIL BELAJAR PADA PELAJARAN IPA SISWA KELAS IV SD      BAB I PENDAHULUAN   A.  ...