ANALISIS CERPEN INDONESIA
“RASA”
R a s a
Cerpen Putu Wijaya (Jawa Pos, 27
Juni 2010)
Memandangi koran, melahap
foto doktor termuda Indonesia I Gusti Ayu Diah Werdhi Srikandi WS, 27 tahun,
mataku tidak berkedip. “Cantik, badannya bagus, senyumnya mempesona,” gumanku
memuji. “Kalau aku masih muda, aku akan datang kepadamu dan langsung melamar.”
Ami yang sejak tadi di belakangku nyeletuk, “Begitu ya? Bagaimana kalau
ditolak?” Aku mengangguk.
“Ditolak, diusir, bahkan diinjek-injek pun aku masih senang. Aku kagum di
Indonesia ini masih ada perempuan yang belum kepala 3 sudah jadi doktor. Sudah
jadi bintang di malam gelap bagi pelaut yang sesat. Gila!”
Aku menunggu reaksi Ami. Tapi Ami diam saja. Ia mengambil koran dari
tanganku.
“Seorang wanita adalah sebuah cahaya,” kataku selanjutnya menggembungkan
pujian, “Hanya cahaya yang bisa membuat negeri ini bangkit dari kegelapan.
Begitulah arti kehadiran perempuan. Jadi bukan hanya memikirkan mobil, rumah
mewah dan duit untuk berfoya-foya, tetapi membangun negeri. Mengembalikan
kembali greget para pemimpin negara yang sudah bangkrut moralnya seperti
sekarang. Jadi banggalah menjadi perempuan, Ami!”
Tak ada jawaban. Waktu kutoleh ternyata Ami sudah masuk ke dalam kamar.
“Anakmu selalu begitu!” protesku kemudian kepada ibunya.
“Habis Bapak sih tidak punya perasaan!”
“Tidak punya perasaan bagaimana?”
“Masak memuji perempuan di depan anak perempuan satu-satunya?”
“Lho kenapa? Apa salahnya? Ami sudah besar. Dia harus bisa menerima
kenyataan!”
“Tidak semua kenyataan harus dipujikan di depan anak!”
Aku tidak menjawab. Bukan karena tidak punya jawaban. Karena istriku terus
ngomel. Baru setelah kembali sendirian, aku muring-muring.
“Aneh! Aku tidak mengerti! Ini rumahku. Masak aku tidak
boleh memuji kalau memang ada orang cantik yang pintar. Biasanya orang cantik
kan bodoh. Atau meskipun banyak perempuan yang pintar, tapi jarang yang cantik.
Karena kecantikan dan kepintaran seperti air dan minyak, sulit digabung. Itu
fakta! Boleh tidak suka, tapi itulah realita!”
Sepanjang malam aku jengkel. Baru surut esok paginya setelah Ami ternyata
tidak nampak sarapan. Pintu kamarnya terkunci. Berarti ia bolos ke kampus.
“Anakmu kenapa, Bu?”
“Pasti sakit!”
Aku tak percaya. Aku ketuk pintu kamar Ami, pura-pura menanyakan, apa dia
perlu kuantar ke puskesmas. Tapi tidak ada jawaban. Ya, orang sakit atau hanya
pura-pura sakit sama saja. Mereka tidak akan mau menjawab kalau ditanya. Aku
cepat pergi ke apotek dan membeli obat maag.
“Siapa yang sakit Pak Amat?” sapa tukang warung. Aku terpaksa singgah
sambil curhat.
“Pak Iskan, situ juga punya anak gadis kan?”
“Betul Pak, tapi anak saya putus sekolahnya di SMA. Putri Bapak saya dengar
sudah hampir lulus sarjana?”
“Ya. Tapi kelakuannya makin kekanak-kanakan. Masak bapaknya
memuji perempuan cantik dia tersinggung. Apa hubungannya?!”
Tukang warung itu, ketawa.
“Kok pakai memuji orang lain, putri Pak Amat kan cantik
dan pintarnya bukan main?”
Aku tertegun.
“Kuman di seberang lautan nampak, gajah di pelupuk mata tidak kelihatan, Pak!”
Aku kontan tertawa. Tapi sebenarnya jantungku terpukul. Setelah beli tablet
kunyah untuk maag, aku bergegas pulang. Ternyata pintu kamar Ami sudah terbuka.
Hanya saja waktu aku masuk, kosong. Aku langsung ke dapur.
“Ami mana Bu?”
“Ke rumah temannya. Kenapa?”
“Lho, bukannya sakit?”
“Katanya sudah baikan.”
Aku manggut-manggut. Aku taruh obat maag itu di atas meja belajar Ami.
Koran berisi foto doktor termuda itu tergeletak di atas buku-buku Ami.
Seakan-akan sengaja dipamerkan untuk aku yang akan melihatnya. Langsung saja
aku ungsikan, supaya jangan memicu persoalan lebih jauh.
Menjelang makan malam, ternyata Ami belum pulang. Aku mulai was-was.
“Kok Ami belum pulang, Bu?”
“Ya kan belajar di rumah temannya!”
“Tapi ini sudah malam.”
“Ya nggak apa, Ami sudah bawa salin.”
“O ya? Menginap di ruman teman?”
“Memang.”
“Kenapa?”
Istriku membentak. “Ya, belajar!”
Aku sudah biasa dibentak istri. Jadi tidak kaget. Tapi hanya Tuhan yang
tahu, bagaimana perasaan seorang bapak kalau anak perawannya larut malam belum
pulang.
“Sakit kok belajar di rumah teman. Mestinya temannya yang
kemari. Aku susul saja ya?!”
“Jangan! Memang kenapa?!”
“Masak anak gadis nginap di rumah teman?”
“Apa salahnya? Memangnya zaman Sitti Nurbaya? Ami itu bukan anak-anak lagi
Pak. Dia sudah bisa mandiri. Biar saja belajar di situ supaya dapat nilai A
plus, nanti kan bisa jadi doktor.”
Aku terhenyak. Satu jam aku mondar-mandir dikili-kili perasaan. Sudah jelas
sekarang, Ami ke rumah temannya untuk melarikan perasaannya yang tersinggung.
Aku sudah menyakiti dia. Dan penyesalan selalu terlambat. Aku jadi sebal,
kenapa masih membiarkan diri alpa. Kenapa aku tidak peka. Aku tidak pernah lupa
Ami bukan anak kecil lagi tapi perempuan dewasa. Kenapa aku selalu
memperlakukannya sebagai anak-anak yang harus selalu dilindungi?
Tengah malam.
Aku tak bisa lagi mengendalikan perasaan. Diam-diam aku pergi menjemput.
Tapi di jalan aku baru sadar, sebenarnya aku belum tahu Ami menginap di rumah
temannya yang mana. Terpaksa aku kembali, celakanya istriku sudah tidur.
Nampaknya begitu pulas sehingga aku tidak sampai hati membangunkan. Lagi pula
buat apa membangunkan macan tidur.
Akhirnya aku terpaksa menebak-nebak. Lalu memutuskan pergi ke rumah Rani.
Dugaanku tepat. Ami sedang belajar dengan Rani. Ia kaget melihat bapaknya
datang.
“Ngapain ke mari Pak?”
“Mau jemput kamu.”
“Ami belum selesai belajar.”
“Tapi ibu kamu sakit!”
Ami terkejut. Matanya langsung berkaca-kaca seperti mau menangis. Aku jadi
iri. Aku yakin mata itu tak akan mengucurkan air kalau yang sakit itu bapaknya.
Tapi sudahlah. Biar saja. Itu memang nasib seorang bapak. Dan aku tidak pernah
menyesal jadi seorang bapak.
Ami buru-buru mengemasi buku-buku dan menyambar tas gendongnya.
“Sakit apa? Sudah dibawa ke puskesmas.”
“Tenang! Nanti Bapak ceritakan.”
Dalam perjalanan pulang, Ami mendesak terus apa sakit ibunya. Aku terpaksa
berterus-terang. Lalu blak-blakan minta maaf. Ami bingung.
“Bapak kok minta maaf sama aku?”
“Ya. Harus!”
“Kenapa?”
“Aku salah!”
“Apa salah Bapak?”
“Bapakmu ini sudah manula Ami. Bapak sudah kena biasan pendidikan kolonial,
jadi kuno. Bapak minta maaf sebab bapak sudah menyinggung perasaanmu. Bukan
maksud Bapak untuk menyindir. Sama sekali bukan. Seperti kata pepatah, burung
terbang di langit dicari, burung di tangan dilepaskan. Kuman di seberang lautan
nampak, gajah di pelupuk mata tidak kelihatan. Bapak minta maaf.”
Ami tertawa.
“Kamu jangan menertawakan orang yang minta maaf.”
“Sama sekali tidak. Tapi Bapak salah alamat.”
“Salah alamat bagaimana?”
“Bapak menyangka saya sudah tersinggung?”
“Ya. Kamu sebenarnya tidak sakit dan tidak sedang belajar. Kamu pasti hanya
muak pada kelakuan Bapak yang kurang menghargai kamu. Bapakmu ini memang
laki-laki kuno. Sudah ketinggalan sepur. Dulu orang tua untuk merangsang
anaknya maju biasanya dengan cara membanding-bandingkan. Kata Pak Iskan tukang
warung itu, sebaliknya dari pada silau oleh kehebatan orang lain, harusnya
Bapak bangga pada kamu, sebab kamu cantik dan pintar, Ami!”
Ami tertawa.
“Salah alamat, Pak!”
“Salah alamat bagaimana?”
“Yang tersinggung itu bukan Ami, tapi ibu.”
“Ah?”
“Ibu. Ibu yang menyuruh Ami jangan keluar kamar, jangan makan malam di meja
makan dan pergi nginap belajar di rumah Rani.”
Aku terpesona.
“Jadi ibu kamu?”
“Ya!”
Aku bengong.
“Ya sudah kalau begitu, kamu kembali ke rumah Rani, belajar terus sampai
pagi, supaya bisa jadi doktor! Kalau perlu nginap samalam lagi di situ. Biar
Bapak pulang!”
“Tapi ibu?”
“Ibu kamu tidak tidak apa-apa. Bapakmu ini yang sakit!”
Ami tersenyum.
“Ayo Ami kita kembali ke rumah Rani.”
“Tidak usah!”
“Tapi kamu harus belajar supaya dapat A plus!”
“Ami sudah selesai ujian.”
“O ya? Jadi ngapain kamu di rumah Rani?”
“Di suruh ibu!”
Aku terhenyak lagi.
“Tadi sebelum Bapak datang, ibu menelepon. Kalau dijemput Bapak jangan
mau!”
“O begitu?”
“Ya.”
“Tapi kenapa kamu mau Bapak bawa pulang?”
“Sebab Ami ingin Bapak cepat-cepat pulang dan langsung pulang, jangan pakai
singgah di warung Pak Iskan lagi. Lihat itu ibu sudah menunggu.”
Ami menunjuk ke rumah. Ternyata istriku, bukan tidur pulas seperti kukira,
tapi dia menunggu di teras rumah.
“Bapak harus bersyukur. Bapak punya seorang istri yang menyayangi Bapak
seperti itu. Tapi ibu memang tidak suka menunjukkan perasaannya itu, karena dia
terdidik untuk menyimpannya. Tidak seperti Ami dan perempuan-perempuan sekarang
yang memang harus berani mengutarakan perasaan, karena zaman sudah berubah.
Bapak pulang saja, sudah ditunggu.”
“Kamu?”
“Saya kembali ke rumah Rani, sebab dia sudah menunggu. Itu dia!”
Ami menunjuk ke belakang. Aku terkejut. Rani di atas motor bebeknya ketawa
sambil melambaikan tangannya di bawah bayang-bayang pohon. Perasaanku kacau.
Aku malu. Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan. Rasanya tak ada yang sudah
kupelajari dalam kehidupan yang sudah ubanan ini. Aku kira aku sudah tahu
banyak, tapi jangankan perasaan istriku, perasaan anakku juga aku tak tahu. Aku
murid yang tak pernah naik kelas.
“Ayo Pak, cepat pulang, bawa ibu ke dalam, nanti dia masuk angin!”
Ami mendorongku pulang, lalu berbalik ke arah Rani. Dia naik ke boncengan
Rani dan melambai.
“Besok saya nginap lagi semalam!”
“Jangan!”
“Itu perintah ibu!”
Ah? Apalagi itu. Motor telah berbelok dan lenyap di tikungan. Tinggal aku.
Ketika aku menoleh, istriku juga sudah tidak ada lagi di teras. Mungkin dia
tahu aku datang karena bunyi motor itu. Seperti anak muda yang baru kali
pertama mengunjungi rumah pacarnya, aku melangkah pulang. Kenapa begitu banyak
rahasia yang luput kutahu. Tetapi justru karena tak pernah benar-benar tahu
itulah aku jadi terus ingin tahu dan mengejarnya. Goblok banget kalau selama
ini aku merasa sendirian. Itu di situ, bukan hanya rumahku, tapi istriku
menunggu. Bagaimana aku tidak akan mencintainya. (*)
Jakarta, 9 Pebruari 2010
(buat sahabatku Iskan)
No comments:
Post a Comment