ANALISIS
ALIH KODE DAN CAMPUR KODE
WACANA
PERCAKAPAN DI PASAR UNTUNG
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Bahasa
yang digunakan seseorang dalam lingkungan masyarakat setidaknya mengenal satu
variasi bahasa beserta norma-norma yang sesuai dengan penggunaannya. Pemakaian
bahasa seseorang tidak hanya dipengaruhi oleh faktor-faktor linguistik, tetapi
juga oleh faktor-faktor nonlinguistik antara lain, faktor-faktor sosial,
misalnya status sosial, tingkat pendidikan, umur, tingkat ekonomi, jenis
kelamin, dan sebagainya. Di samping itu, pemakaian bahasa dipengaruhi oleh
faktor-faktor situasi, yaitu siapa yang berbicara, dengan bahasa apa, kepada
siapa, kapan, di mana, dan mengenai masalah apa, atau secara lebih operasional
dikatakan Fishman (1972, 1976),”.....study
of who speak what language to whom and when” (Chaer, 2004:4).
Lampung
adalah gerbang pulau Sumatra. Beragam etnis tinggal di sini. Jawa, Banten,
Minang, Bali, Jawa, Sunda, Batak, Cina, dan etnis asli Lampung sendiri. Hal ini
bisa dipahami karena Lampung memiliki posisi strategis untuk disinggahi beragam
latar belakang masyarakat. Kondisi ini juga disebabkan karena Lampung pernah
dijadikan tujuan program transmigrasi dari Jawa. Oleh karena itu, masyarakat
Lampung adalah masyarakat yang heterogen dan terbuka.
Posisi
Propinsi Lampung yang strategis dan terbuka mendorong terjadinya interaksi
antarsuku, ras, etnis, dan budaya dari para penduduknya. Interaksi ini terjadi
dengan sendirinya sejalan dengan bertambahnya keragaman latar belakang budaya
yang ada dan membentuk polanya sendiri. Di sisi lain, interaksi antaranggota
etnis juga tetap berjalan. Hal ini berarti selain adanya interaksi antar etnis
dan budaya juga terjadi pemertahanan budaya masing-masing. Pemertahanan budaya
ini juga mudah dilihat. Sepanjang jalan Lintas Sumatra didapati pola bangunan
yang masih kental dengan nuansa etnis terrtentu. Pembentukan keluarga melalui
pernikahan juga masih mempertimbangkan kesamaan suku dan etnis. Keunikan
tersebut adalah kedudukan pasar.
Pasar
di Untung Lampung dapat
dikatakan mewakili etnis tertentu. Pasar yang berukuran kecil dan
sporadis/tidak permanen, beberapa didominasi etnis Batak dan Jawa. Sedangkan
lokasi pasar yang besar, yaitu pasar Tugu,
Pasar Tengah, Pasar Kedaton, Pasar Telukbetung, Bandarjaya, Pekalongan, ,
Kalianda, dan Metro dapat dikatakan sebagai pasar yang ramai. Pasar Untung ini memiliki karakter
yang berbeda. Pasar Untung
banyak disewa oleh penduduk beretnis Bali
dan pedagang beretnis Jawa. Berlawanan dengan pernyataan
sebelumnya bahwa pasar mewakili etnisnya, pasar, di saat yang sama, adalah
miniatur interaksi antar berbagai elemen masyarakat di suatu daerah. Hal ini
disebabkan karena setiap penduduk memerlukan pasar untu mendapatkan kebutuhannya
sehingga membuka interaksi antarpenjual dan pembeli. Ini berarti adanya
interaksi antar suku.
Situasi
pasar tersebut sangat menarik karena ternyata pasar yang masuk dalam kategori
besar di Lampung justru didominasi oleh dua etnis yang merupakan pendatang pada
awalnya. Etnis Bali,
selain memiliki ciri khas rumah makan sebagai sumber pencarian anggota etnisnya
ternyata dapat membangun eksistensi di pasar ini. Begitu juga dengan etnis
Jawa. Menonjol dengan pertanian tidak membuat etnis ini kehilangan pasar
sebagai tempat mereka berinteraksi. Keadaan ini adalah fenomena sosial yang
sangat menarik dan perlu diamati lebih jauh. Adapun melalui fokus akademik
peneliti yang berbasis pada komunikasi budaya melalui bahasa, secara linguistik
hal ini dapat diteliti fenomena kebahasaannya yang bertujuan untuk melihat
sisi-sisi budaya Minang dan Jawa dalam interaksi sehari-hari antara pedagang
dan pembeli dan antara para pedagang itu sendiri. Apakah mereka masih
menggunakan bahasa Jawa dan Bali?
Kapan mereka lakukan? Untuk itu, perlu diadakan penelitian yang berjudul:
ANALISIS
ALIH KODE DAN CAMPUR KODE JAWA-BALI
WACANA
PERCAKAPAN DI PASAR UNTUNG
Penelitian
ini menganalisis fenomena kebahasaan yang terjadi sehari-hari di pasar dan
melihat refleksi budaya yang dimiliki masyarakatnya, terutama kebudayaan Bali dan Jawa sebagai
pendatang yang cukup dominan di Bandarlampung. Kedua etnis ini dikenal memegang
teguh karakter budayanya walaupun mereka tidak lagi berada di daerah asal
mereka. Melalui analisis ini diharapkan dapat dilihat apa saja upaya mereka
dalam mempertahankan budaya Bali
atau Jawa.
B.
Perumusan
Masalah
Adapun
permasalahan yang ingin diteliti dalam penelitian ini sebagai berikut.
1. Apa
saja bentuk percakapan antarpedagang di Pasar Untung?
2. Apa
saja bentuk percakapan antara pedagang dan pembeli di Pasar Untung?
3. Kode/bahasa
apa yang dipakai saat mereka melakukan percakapan?
4. Apakah
terjadi alih kode atau campur kode saat melakukan percakapan?
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
Menurut
Sumarsono (2004:16), sosiolinguistik terbagi atas sosiolinguistik mikro dan
sosiolinguistik makro. Sosiolinguistik mikro lebih menekankan perhatian pada
interaksi bahasa antar penutur di dalam suatu kelompok guyub tutur, sedangkan
sosiolinguistik makro menitikberatkan perhatian pada interaksi antar penutur
dalam konteks antar kelompok. Analisis atau deskripsi Sosiolinguistik mikro
relatif lebih dekat dengan orientsi linguistik, tetapi dengan cakupan tetap
lebih luas dari analisis linguistik. Sebaliknya, sosiolinguistik makro yang
mempunyai objek dengan skala lebih luas dan lebih besar, memperhatikan
komunikasi antar kelompok dalam suatu masyarakat bahasa, bahkan sampai
tingkatan bangsa dalam sebuah negara, sosiolinguistik makro juga memperhatikan
kontak bahasa antar kelompok mayoritas dan kelompok minoritas, pemertahanan
bahasa minoritas, dan hal-hal yang menyangkut kelompok penutur yang jumlahnya
banyak.
Malmaker
(1992: 61-61) membedakan campuran sistem linguistik ini menjadi dua:
a.
Alih kode (code switching), yaitu
beralih dari satu bahasa ke dalam bahasa lain dalam satu ujaran atau
percakapan; dan
b.
Campur kode (code
mixing/interference), yaitu penggunaan unsur-unsur bahasa, dari satu bahasa
melalui ujaran khusus ke dalam bahasa yang lain.
Campur kode atau interferensi mengacu pada
penggunaan unsur formal kode bahasa seperti fonem, morfem, kata, frase, kalimat
dalam suatu konteks dari satu bahasa ke dalam bahasa yang lain (Beardsmore,
1982: 40). Alih kode dan campur kode dalam konteks dan situasi berbahasa dapat
dilihat dengan jelas, juga tataran, sifat, dan penyebabnya.
A. Pengertian Campur Kode dan Alih Kode
Nababan
(1991: 31) menyatakan bahwa konsep alih kode ini mencakup juga kejadian pada
waktu kita beralih dari satu ragam bahasa yang satu, misalnya ragam formal ke
ragam lain, misalnya ragam akrab; atau dari dialek satu ke dialek yang lain;
atau dari tingkat tutur tinggi, misalnya kromo inggil (bahasa jawa) ke tutur
yang lebih rendah, misalnya, bahasa ngoko, dan sebagainya.
Penggunaan
dua bahasa (atau lebih) dalam alih kode menurut Suwito (1996:80) ditandai oleh
: (a) masing-masing bahasa masih mendukung fungsi-fungsi secara tersendiri
sesuai konteksnya, (b) fungsi masing-masing bahasa disesuaikan dengan situasi
yang relevan dengan perubahan konteks. Ciri-ciri itu menunjukan bahwa di dalam
alih kode, masing-masing bahasa masih mendukung fungsinya secara esklusif, dan
peralihan kode terjadi apabila penuturnya merasa bahwa situasi relevan dengan
peralihan kodenya. Tanda-tanda demikian oleh oleh Kachru (dalam Suwito,
1996:80) disebut ciri-ciri unit kontekstual.
Suwito
(1996:81) membedakan alih kode menjadi dua yaitu alih kode intern dan alih kode
ekstern : Apabila alih kode itu terjadi antara bahasa-bahasa daerah dalam satu
bahasa nasional, atau antara dialek-dialek dalam satu bahasa daerah, atau antar
babarapa ragam dan gaya yang terdapat dalam satu dialek, alih kode seperti itu
bersifat intern. Apabila yang terjadi adalah antara bahasa asli dengan bahasa
asing maka disebut alih kode ekstern. Menurut Suwito, apabila dalam suatu
peristiwa tutur tertentu terdapat peralihan kode antar bahasa dalam satu negara
atau masih serumpun, maka peralihan kode tersebut bersifat intern. Sedangkan
apabila peralihan kode yang terjadi tersebut antar bahasa asli dengan bahasa
asing atau tidak serumpun, maka peralihan kode tersebut bersifat ekstern. Dalam
prakteknya mungkin saja dalam suatu peristiwa tutur tertentu terjadi alih kode
intern dan ekstern secara beruntun apabila fungsi kontekstual dan situasi
relevansinya dinilai oleh penutur cocok umtuk melakukannya.
Menurut
Abdul Chaer dan Leony Agustina (1995: 141) alih kode adalah peristiwa
pergantian bahasa atau berubahnya satu ragam bahasa ke ragam lainnya karena
sebab-sebab tertentu. Penyebabnya bisa karena adanya orang ketiga yang baru
datang, situasi percakapan yang berubah, atau karena berubahnya topik
pembicaraan. Campur kode bercampurnya dua kode; satu kode menjadi dasar
percakapan sedangkan kode lainnya hanya digunakan serpihan-serpihannya saja
tanpa menggunakan fungsi atau keotonomiannya sebagai kode yang otonom.
(1995:151)
B. Tujuan Campur Kode
Nababan
(1989:32) menegaskan bahwa suatu keadaan berbahasa menjadi lain bilamana orang
mencampurkan dua (atau lebih) bahasa atau ragam bahasa dalam situasi berbahasa
yang menuntut percampuran bahasa itu. Dalam keadaan demikian, hanya kesantaian
penutur, atau kebiasaanya yang dituruti. Tindak bahasa yang demikian disebut
campur kode. Dalam situasi berbahasa yang formal, jarang terdapat campur kode.
Ciri yang menonjol dari campur kode ini adalah kesantaian atau situasi informal.
Suwito
(1996:90) mengidentifikasikan alasan terjadinya campur kode antara lain ialah :
(a) identifikasi peranan, (b) identifikasi ragam, dan (c) keinginan untuk
menjelaskan dan menafsirkan. Dalam hal ini pun ketiganya saling bergantung dan
tidak jarang bertumpang tindih. Ukuran untuk identifikasi peranan adalah
sosial, registral, dan edukasional. Campur kode yang terjadi ditunjukan untuk
mengidentifikasi peranan penutur, baik secara sosial, registral, maupun
edukasional. Misalnya dalam pemakaian bahasa jawa pemilihan variasi bahasa dan
cara mengekpresikan variasi bahsa itu dapat memberi kesan tertentu baik tentang
status sosial ataupun tingkat pendidikan penuturnya. Identifikasi ragam
ditentukan oleh bahasa yang digunakan untuk bercampur kode yang akan
menempatkan penutur dalam hierarki status sosial. Identifikasi keinginan untuk
menjelaskan dan menafsirkan tampak dalam sikap terhadap penutur. Penutur yang
bercampur kode dengan unsur-unsur bahasa Inggris dapat memberi kesan bahawa si
penutur “ orang masa kini”, berpendidikan cukup dan mempunyai hubungan yang
luas.
C. Wujud Campur Kode
Berdasarkan
unsur-unsur kebahasaan yang terlibat didalamnya, Suwito (1996: 92) membedakan
wujud campur kode menjadi beberapa macam, antara lain:
1. Penyisipan
unsur-unsur yang berwujud kata. Kata merupakan unsur terkecil dalam pembentukan
kalimat yang sangat penting peranannya dalam tata bahasa, yang dimaksud kata
adalah satuan bahasa yang berdiri sendiri, terdiri dari morfem tunggal atau
gabungan morfem.
2. Penyisipan
unsur-unsur yang berujud frasa: Frasa adalah gabungan dua kata atau lebih yang
sifatnya tidak prediktif, gabungan itu dapat rapat dan dapat renggang.
3. Penyisipan
unsur-unsur yang berwujud bentuk baster: Baster merupakan hasil perpaduan dua
unsur bahasa yang berbeda membentuk satu makna (Harimurti, 1993: 92).
4. Penyisipan
unsur-unsur yang berwujud perulangan kata: Perulangan kata merupakan kata yang
terjadi sebagai akibat dari reduplikasi.
5. Penyisipan
unsur-unsur yang berwujud ungkapan atau idiom: Idiom merupakan konstruksi dari
unsur-unsur yang saling memilih, tiap-tiap anggota mempunyai makna yang ada
hanya karena bersama yang lain atau
dengan
pengertian lain idiom merupakan konstruksi yang maknanya tidak sama dengan
gabungan makna anggota-anggotanya.
D. Komunikasi Interkultural
Dalam
perspektif wacana, komunikasi interkultural dapat dilihat ketika dua penutur dari dua budaya yang berbeda
bergabung dalam suatu percakapan. Setiap
budaya memiliki pola wacana yang berbeda dan hal ini sering menyebabkan terjadinya
kesalahfahaman. Aspek-aspek wacana yang mempengaruhi keberhasilan komunikasi
antar budaya sebagai berikut.
a. Ideologi,
yaitu nilai budaya, agama, dan keyakinan-keyakinan
b. Bentuk
wacana; fungsi bahasa dan komunikasi non verbal
c. Sosialisasi;
bagaimana belajar menjadi anggota masyarakat budaya tertentu (Scollon and
Scollon 1995: 148)
d. Face system
atau organisasi masyarakat secara sosial, bagaimana hubungan kekerabatan,
konsep diri, hubungan dalam dan luar kelompok, dan konsep komunitas dan
masyarakat (Scollon and Scollon 1995:127).
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Penelitian
ini adalah penelitian kualitatif. Data berbentuk wacana lisan yang diambil
dengan merekam percakapan antar sesama pedagang dan ketika terjadi transaksi
jual beli. Rekaman ini berbentuk audio dan catatan. Adapun rekaman data yang
dimasukkan dalam tulisan ini adalah rekaman dalam bentuk catatan. Informan atau
penutur ujaran yang menjadi sumber data diambil secara acak. Data ini kemudian
ditranskripsikan agar menjadi lebih teratur dan lebih mudah dianalisis lalu
dipilah-pilah agar terpilih data yang diperlukan karena besar kemungkinan dalam proses perekaman terjadi
gangguan-gangguan percakapan, adanya ujaran-ujaran yang tidak signifikan, dan
juga karena data berbentuk ujaran dalam bahasa daerah dan bahasa Indonesia.
Setelah terseleksi, data dianalisis dengan menggunakan kerangka teori yang
relevan. Hasilnya akan ditemukan sejumlah pengelompokan jenis-jenis wacana
lisan yang terjadi, kode/bahasa yang digunakan, dan ada atau tidak adanya alih
kode dan campur kode dalam percakapan tersebut.
B. Pendekatan untuk Analisis Data
Pendekatan
yang dapat memenuhi tujuan penelitian ini adalah pendekatan sosiolinguistik.
Eggins&Slade (1997) mengatakan bahwa pada awalnya pendekatan ini berasal
dari beberapa disiplin ilmu, tapi dalam prakteknya banyak berorientasi pada
penggunaan bahasa dalam konteks social kehidupan manusia sehari-hari.
Fungsi
ujaran pembuka
|
Fungsi
ujaran respon
|
|
Mendukung
|
|
mengkonfrontasi
|
Tawaran
|
Penerimaan
|
Penolakan
|
Perintah
|
Konfirmasi
|
Menolak
|
Pernyataan
|
Menyetujui
|
Tidak setuju
|
Pertanyaan
|
Menjawab
|
Menidakkan/membantah
|
C. Prosedur Penelitian
Pelaksanaan
penelitian dibagi menjadi tiga tahap utama, yaitu Prapenelitian yang terdiri
dari penelusuran referensi dan survey lokasi pengambilan data, yang kedua peneliitian
itu sendiri adalah pengambilan, pengolahan, dan analisis data.
Analisis
data dibagi menjadi dua bagian. Yang pertama adalah analisis struktur wacana
percakapan. Setelah melakukan analisis terhadap strukturnya baru dilanjutkan
dengan analisis secara sosiolinguistik. Analisis data ini adalah analisis
urutan dari transkrip percakapan yang akan menunjukkan apakah ada interpretasi
makna sosial dari ujaran atau percakapan. Apakah ada keberadaan budaya dari
etnis Jawa dan Minang yang tergambar dari transkrip percakapan tersebut.
Transkrip
yang telah dianalisis ini kemudian dikubungkan dengan situasinya, apakah percakapan
terjadi antar pedagang, antara penjual dan pembeli, dan untukpembeli bisa
dipilah lagi menjadi pelanggan-bukan pelanggan, beretnis sama-berbeda etnis.
Dari sini hipotesis penelitian tentang pilihan kode, hubungan sosial antar
anggota pasar, dapat dibentuk.
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN
PEMBAHASAN
A. Analisis Struktur Wacana
Analisis
struktur wacana akan menjawab pertanyaan penelitian ini yaitu pertanyaan
pertama dan kedua. Berikut salah satu percakapan di pasar Untung.
Tabel 1. Fungsi
ujaran di pasar
Giliran
|
Penutur
|
Ujaran
|
Fungsi ujaran
|
1
|
Pembeli
|
Bude kude ini bude ?
|
Pertanyaan
|
2
|
Penjual
|
Nike siyu geg
|
Jawaban
|
3
|
B2
|
Kalau yang ini ?
|
pertanyaan
|
4
|
J
|
Mekejang siyu niki kueh-kueh tiyang
|
jawaban
|
5
|
B2
|
Mekejang siyu ya
|
Pernyataan
|
6
|
B
|
Iki piro bude?
|
Pertanyaan
|
7
|
J
|
Sewu mbak
|
jawaban
|
8
|
J
|
Setunggal sewu
|
pernyataan
|
9
|
B2
|
Lo mau ini berapa?
|
Pertanyaan
|
10
|
Teman B2
|
Saya satu aja
|
Konfirmasi
|
11
|
B2
|
Bude ini satu ya
|
Konfirmasi
|
12
|
B2
|
Ni saya beli dua
|
Konfirmasi
|
13
|
B3
|
Ti telor puyuh ti
|
Tawaran
|
14
|
B2
|
Mana lagi ?
|
pertanyaan
|
15
|
B
|
Ini lagi.. ini berapa bude ?
|
pertanyaan
|
16
|
J
|
Seribu satu
|
jawaban
|
17
|
J
|
Kuehnya macem-macem seribu aja
|
Pernyataan
|
18
|
|
|
|
19
|
B
|
Ini singkong ya?
|
Pertanyaan
|
20
|
B2
|
Bukan,
bolu itu mah…
|
Pembantahan
|
21
|
B
|
ooo bolu keju
|
Jawaban
|
22
|
J
|
Singkong yang diujung…
|
Jawaban dan
|
23
|
B
|
oohh singkong yang diujung
|
Pernyataan
|
24
|
B2
|
Bude semuanya ini sus ya ?
|
Pertanyaan
|
25
|
J
|
He..eh
|
Pernyataan
|
26
|
B2
|
Lima eh lima, enam
|
pernyataan
|
27
|
J
|
Mbak baru satu ya
|
pernyataan
|
28
|
B2
|
Mana lagi?
|
Pertanyaan
|
29
|
B
|
kalian mau yang mana lagi?
|
pertanyaan
|
30
|
B2
|
Mau yang mana?
|
Pernyataan
|
31
|
B2
|
Nom ini nom
|
Pernyataan
|
32
|
B4
|
Berapa satunya?
|
Pertanyaan
|
33
|
J
|
Seribu
|
jawaban
|
34
|
B4
|
Seribuan ya?
|
Pertanyaan
|
35
|
B5
|
Ini loh .. eh
|
Pertanyaan
|
36
|
J
|
Ini sayurnya tiga ribu
|
Pernyataan
|
37
|
B2
|
Ini bude berapa itu, hitung ulang !
|
perintah
|
38
|
J
|
Ta itung ya… Satu, dua tiga, ini lapan ribu
|
konfirmasi
|
39
|
B5
|
setunggal iki punten bude?
|
pertanyaan
|
40
|
J
|
Setunggal sewu mas
|
jawaban
|
41
|
B5
|
serebuan
|
Bantahan
|
42
|
J
|
Dah ini aja
|
Pernyataan
|
43
|
B5
|
Telo ngewuan
|
Pernyataan
|
44
|
J
|
terimakasih
|
Menutup percakapan
|
45
|
B3
|
Tengkyu
|
Menutup percakapan
|
Pada percakapan awal, percakapan dimulai oleh pembeli menggunakan bahasa Bali kemudian direspon oleh penjual
menggunakan bahasa Bali juga. Pada
percakapan kedua pembeli
menggunakan bahasa jawa dan direspon juga menggunakan bahasa jawa, penjual yang menginisiasi percakapan. Fungsi yang muncul adalah
Pertanyaan, Pernyataan, bantahan, perintah, dan konfirmasi . Berikut rekapitulasi jumlah fungsi ujaran dari masing-masing pihak.
Rekapitulasi Fungsi Ujaran 1.Bukan Pelanggan
|
Per
Ta
nya
an
|
Meng
iya
kan
|
Me
ni
dak
kan
|
Per
nya
ta
an
|
Perintah
|
Me
Lak
sanakan
|
pembantahan
|
Pe nerima an
|
Pe
No
lakan
|
Penjual
|
0
|
0
|
0
|
4
|
0
|
0
|
|
0
|
0
|
Pembeli 1
|
6
|
0
|
0
|
2
|
0
|
0
|
|
0
|
0
|
Rekapitulasi Fungsi Ujaran 2.Pelanggan
|
Per
Ta
nya
an
|
Meng
iya
kan
|
Me
ni
dak
kan
|
Per
nya
ta
an
|
Perintah
|
Me
Lak
sanakan
|
Me
No
lak
|
Ta
War
an
|
Pe nerima an
|
Pe
No
lakan
|
Penjual
|
5
|
0
|
0
|
5
|
2
|
0
|
0
|
1
|
0
|
1
|
Pembeli 3
|
6
|
3
|
0
|
2
|
0
|
0
|
0
|
1
|
0
|
1
|
Dari analisis struktur, terlihat bahwa ujaran berpasangan tidak
selalu berbanding secara simetris.
B. Analisis Sosiolinguistik
Wacana percakapan adalah refleksi interaksi sosial dari masyarakat
yang menggunakannya. Wacana ini dapat menjelaskan kepada pendengarnya sikap
para penutur dalam berinteraksi. Suatu saat penutur menjadi bagian dari dunia
yang tidak terpisah-pisah oleh budaya dan tradisi tertentu tetapi di saat lain
mereka menarik diri ke dalam keanggotaan etnis atau ras tertentu.
Inilah yang terjadi dalam percakapan antara pedagang di pasar dan
antara pedagang dengan pembeli. Untuk menganalisis fenomena ini, data wacana
percakapan ini dapat dianalisis dengan pendekatan sosiolinguistik. Pendekatan
sosiolinguistik yang dimaksud adalah pendekatan yang menggunakan fenomena
adanya alih kode dan campur kode dalam percakapan.
Alih kode adalah peristiwa pergantian bahasa atau berubahnya satu
ragam bahasa ke ragam lainnya karena sebab-sebab tertentu (Abdul Chaer dan
Agustina 1995). Romaine (1995) mendefinisikan alih kode sebagai pemilihan kode
yang di dalamnya penutur mengganti ragam ujaran berdasarkan konteks dan domain
pmbicaraan, biasanya perubahan ragam standar ke ragam daerah, tetapi juga dari
satu bahasa ke bahasa yang lain.
Pada bagian ini disajikan bagian dari korpus data sebagai contoh
analisis pola-pola alih kode.
Transkrip 1 Percakapan di pasar untung suropati labuhan dalam,tanjung
senang Bandar Lampung
Pembeli
(B) : bude kangkungnya berapa?
Penjual
(J) : seribu lima ratus
Penjual (J) : piro mas ?
(Berapa mas?) berbicara kepada pembeli lain
B2 :
nggak bisa seribu aja tah bude?
J : aku tawari tiga malah nyempruk e … ojo
seng gede-gede
(Berbicara kepada B “aku menawarkan tiga malah merengut.. tidak boleh
yang besar-besar”)
B2 : seribu aja ya
J : jangan geh..
B2: boleh sih bude
J : dua setengah
J: ya ojo
(berbicara kepada B “ya tidak boleh”)
J : ngene carok ngene loh..
(berbicara kepada rekan kerja “begini ngambilnya gini loh)
J : neng njobo tiga puluh loh mas
(berbicara dengan B “diluar sana harganya mencapai tiga puluh mas”)
J : males isuk-isuk’i sibuk arep tuku koyo
ngono
(berbicara dengan rekan J “capek pagi-pagi sibuk mau beli yang seperti itu”)
B2: nih bude dua aja
J : kan digowo balek arepan
(berbicara dengan rekan J “kan mau diabawa pulang”)
B2 : kalau genjernya berapa bude? Sama aja ya ?
J : ambil dua ?
B2 : iya
J : yaudah.. mana kembangnya atau genjernya ?
B2 : nggak lah itunya aja lah kangkungnya aja lah
B : loh katanya genjer
B2 : ngak jadi mau Tanya aja
J : nggak jadi ?
B2 : nggak Tanya aja
J : kalau genjer itu vitaminnya di kembang
B2 : berapa tadi bude ?
J : dua setengah
B2 : makasih bude
Pada ekstrak percakapan di atas, ada empat peserta percakapan. Satu penjual (J), dan dua pembeli (B dan B2) dan rekan J. B2 adalah langganan si penjual sementara B tidak. Dalam waktu
yang hampir bersamaan kedua pembeli ini datang membeli kangkung kepada penjual. Pada pembeli B, si penjual tetap menggunakan
bahasa Indonesia.
Berbeda halnya dengan pembeli B2 si penjual menggunakan bahasa Jawa. Dengan
begitu secara otomatis J melakukan
alih kode dari bahasa Indonesia ke bahasa Jawa karena menyesuaikan dirinya kepada pembeli dan
rekannya. Jadi faktor
pelanggan yang datang dan beretnis Dayak mendorong penjual untuk
melakukan alih kode situasional.
C. Jenis-jenis Alih Kode
Alih kode terbagi menjadi beberapa jenis, yaitu
1)Alih kode Situasional,
Alih kode yang terjadi berdasarkan situasi
dimana penutur menyadari bahwa mereka berbicara dalam bahasa tertentu
dalam situasi dan bahasa lain.
2)Alih Kode Metaforikal.
Alih kode metaforikal adalah alih kode yang terjadi jika ada pergantian topic.
Percakapan yang terjadi antarpedagang atau antarpembeli dan
penjual di kedua pasar ini adalah Alih Kode Situasional, yaitu alih kode untuk
mencapai tujuan sesaat sesuai dengan setting sosial percakapan, dalam hal ini
tujuannya adalah berjual beli dengan seting di pasar, situasinya informal. Tingkat
formalitas semakin menurun bila penjual bertemu dengan penjual, atau penjual
bertemu dengan pelanggan.
BAB V
KESIMPULAN
Adapun kesimpulan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.
Kode atau
ragam bahasa yang dipakai oleh masyarakat pengguna pasar adalah Bahasa
Indonesia ragam informal.
2.
Kode yang
digunakan antar para pedagang di pasar Untung adalah bahasa Jawa, Bali dan bahasa Indonesia.
3.
Kode yang
digunakan oleh sesama pedagang di pasar Untung adalah bahasa Indonesia dan
bahasa Jawa.
4.
Bahasa Jawa
dan Bali
digunakan untuk interaksi intra etnis.
5.
Alih kode
dan campur kode serta interferensi terjadi bila percakapan terjadi antar etnis.
Bila bertemu dengan penutur beda etnis, mereka menggunakan bahasa Indonesia,
tetapi bila bertemu dengan penutur etnis yang sama, kode beralih ke bahasa Jawa
atau Bali.
6.
Alih kode
sangat mudah terjadi di etnis Jawa.
7.
Etnis Bali
lebih tertutup dalam menunjukkan identitas budaya melalui bahasanya.
8.
Dengan
tingkat yang berbeda, kedua suku ini masih mempertahankan budaya mereka melalui
bahasa mereka.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul
Chaer dan Leony Agustina. 1995. Sosiolinguistik; Perkenalan Awal. Rineka
Cipta.Jakarta.
Abdul
Chaer. 2004. Sosiolinguistik Perkenalan
Awal. Jakarta: Rineka Cipta.
Edwards,
John. 1985. Language, Society, and Identity. Basil Blackwel Ltd Oxford.
Eggins,
Suzanne and Diana Slade. 1997. Analysing Casual Conversation. Cassell.
London
Goebel,
Zane.2002. “Code Choice in interethnic interactions in two Urban Neighborhoods
of Central Java, Indonesia”. International Journal of the Sociology of
Language.158 (69-87)
Harimurti
Kridalaksana. 1993. Kamus Linguistik.
Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Holmes,
Janet. 1992. An Introduction to Sociolinguistics.Longman Group. London.
J
Gumperz, John.1982. Discourse Strategies. Cambridge University Press.
Cambridge.
Nababan,
P.W.J. 1989. Sosiolinguistik dan
Pengajaran Bahasa. PELBS 2. Bambang Kaswanti Puwo.ed. Jakarta: Lembaga
Bahasa Unika Atma Jaya.
Nababan,
P.W.J. 1991. Sosiolinguistik: Suatu Pengantar . Jakarta: PT. Gramedia.
Romaine,
Suzanne. 1995. Bilingualism. Blackwell
Cambridge.
Scollon,
Ron and Suzanne Wong Scollon. 1995. Intercultural Communication; A Discourse
Approach.Blackwell. Cambridge.
Stubbs,Michael.
1983. Discourse Analysis: The Sociolinguistic Analysis of Natural Language. Basil
Blackwell Ltd. Oxford.
Sumarsono.
2004. Sosiolinguistik. Jakarta:
Pustaka Pelajar.
Suwito.
1983. Sosiolinguistik: Teori dan Problema.
Surakarta: Henary Offset.
Wardaugh,
Ronald. 1998. An Introduction to Sociolinguistics. Basil Blackwell.
Oxford.
No comments:
Post a Comment