Sunday, December 4, 2016

ANALISIS ALIH KODE DAN CAMPUR KODE (WACANA PERCAKAPAN DI PASAR UNTUNG)

ANALISIS ALIH KODE DAN CAMPUR KODE
WACANA PERCAKAPAN DI PASAR UNTUNG



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Bahasa yang digunakan seseorang dalam lingkungan masyarakat setidaknya mengenal satu variasi bahasa beserta norma-norma yang sesuai dengan penggunaannya. Pemakaian bahasa seseorang tidak hanya dipengaruhi oleh faktor-faktor linguistik, tetapi juga oleh faktor-faktor nonlinguistik antara lain, faktor-faktor sosial, misalnya status sosial, tingkat pendidikan, umur, tingkat ekonomi, jenis kelamin, dan sebagainya. Di samping itu, pemakaian bahasa dipengaruhi oleh faktor-faktor situasi, yaitu siapa yang berbicara, dengan bahasa apa, kepada siapa, kapan, di mana, dan mengenai masalah apa, atau secara lebih operasional dikatakan Fishman (1972, 1976),”.....study of who speak what language to whom and when” (Chaer, 2004:4).
Lampung adalah gerbang pulau Sumatra. Beragam etnis tinggal di sini. Jawa, Banten, Minang, Bali, Jawa, Sunda, Batak, Cina, dan etnis asli Lampung sendiri. Hal ini bisa dipahami karena Lampung memiliki posisi strategis untuk disinggahi beragam latar belakang masyarakat. Kondisi ini juga disebabkan karena Lampung pernah dijadikan tujuan program transmigrasi dari Jawa. Oleh karena itu, masyarakat Lampung adalah masyarakat yang heterogen dan terbuka.
Posisi Propinsi Lampung yang strategis dan terbuka mendorong terjadinya interaksi antarsuku, ras, etnis, dan budaya dari para penduduknya. Interaksi ini terjadi dengan sendirinya sejalan dengan bertambahnya keragaman latar belakang budaya yang ada dan membentuk polanya sendiri. Di sisi lain, interaksi antaranggota etnis juga tetap berjalan. Hal ini berarti selain adanya interaksi antar etnis dan budaya juga terjadi pemertahanan budaya masing-masing. Pemertahanan budaya ini juga mudah dilihat. Sepanjang jalan Lintas Sumatra didapati pola bangunan yang masih kental dengan nuansa etnis terrtentu. Pembentukan keluarga melalui pernikahan juga masih mempertimbangkan kesamaan suku dan etnis. Keunikan tersebut adalah kedudukan pasar.
Pasar di Untung Lampung dapat dikatakan mewakili etnis tertentu. Pasar yang berukuran kecil dan sporadis/tidak permanen, beberapa didominasi etnis Batak dan Jawa. Sedangkan lokasi pasar yang besar, yaitu pasar Tugu, Pasar Tengah, Pasar Kedaton, Pasar Telukbetung, Bandarjaya, Pekalongan, , Kalianda, dan Metro dapat dikatakan sebagai pasar yang ramai. Pasar Untung ini memiliki karakter yang berbeda. Pasar Untung banyak disewa oleh penduduk beretnis Bali dan pedagang beretnis Jawa. Berlawanan dengan pernyataan sebelumnya bahwa pasar mewakili etnisnya, pasar, di saat yang sama, adalah miniatur interaksi antar berbagai elemen masyarakat di suatu daerah. Hal ini disebabkan karena setiap penduduk memerlukan pasar untu mendapatkan kebutuhannya sehingga membuka interaksi antarpenjual dan pembeli. Ini berarti adanya interaksi antar suku.
Situasi pasar tersebut sangat menarik karena ternyata pasar yang masuk dalam kategori besar di Lampung justru didominasi oleh dua etnis yang merupakan pendatang pada awalnya. Etnis Bali, selain memiliki ciri khas rumah makan sebagai sumber pencarian anggota etnisnya ternyata dapat membangun eksistensi di pasar ini. Begitu juga dengan etnis Jawa. Menonjol dengan pertanian tidak membuat etnis ini kehilangan pasar sebagai tempat mereka berinteraksi. Keadaan ini adalah fenomena sosial yang sangat menarik dan perlu diamati lebih jauh. Adapun melalui fokus akademik peneliti yang berbasis pada komunikasi budaya melalui bahasa, secara linguistik hal ini dapat diteliti fenomena kebahasaannya yang bertujuan untuk melihat sisi-sisi budaya Minang dan Jawa dalam interaksi sehari-hari antara pedagang dan pembeli dan antara para pedagang itu sendiri. Apakah mereka masih menggunakan bahasa Jawa dan Bali? Kapan mereka lakukan? Untuk itu, perlu diadakan penelitian yang berjudul:
ANALISIS ALIH KODE DAN CAMPUR KODE JAWA-BALI
WACANA PERCAKAPAN DI PASAR UNTUNG
Penelitian ini menganalisis fenomena kebahasaan yang terjadi sehari-hari di pasar dan melihat refleksi budaya yang dimiliki masyarakatnya, terutama kebudayaan Bali dan Jawa sebagai pendatang yang cukup dominan di Bandarlampung. Kedua etnis ini dikenal memegang teguh karakter budayanya walaupun mereka tidak lagi berada di daerah asal mereka. Melalui analisis ini diharapkan dapat dilihat apa saja upaya mereka dalam mempertahankan budaya Bali atau Jawa.



B.     Perumusan Masalah
Adapun permasalahan yang ingin diteliti dalam penelitian ini sebagai berikut.
1.      Apa saja bentuk percakapan antarpedagang di Pasar Untung?
2.      Apa saja bentuk percakapan antara pedagang dan pembeli di Pasar Untung?
3.      Kode/bahasa apa yang dipakai saat mereka melakukan percakapan?
4.      Apakah terjadi alih kode atau campur kode saat melakukan percakapan?




BAB II
KAJIAN PUSTAKA
Menurut Sumarsono (2004:16), sosiolinguistik terbagi atas sosiolinguistik mikro dan sosiolinguistik makro. Sosiolinguistik mikro lebih menekankan perhatian pada interaksi bahasa antar penutur di dalam suatu kelompok guyub tutur, sedangkan sosiolinguistik makro menitikberatkan perhatian pada interaksi antar penutur dalam konteks antar kelompok. Analisis atau deskripsi Sosiolinguistik mikro relatif lebih dekat dengan orientsi linguistik, tetapi dengan cakupan tetap lebih luas dari analisis linguistik. Sebaliknya, sosiolinguistik makro yang mempunyai objek dengan skala lebih luas dan lebih besar, memperhatikan komunikasi antar kelompok dalam suatu masyarakat bahasa, bahkan sampai tingkatan bangsa dalam sebuah negara, sosiolinguistik makro juga memperhatikan kontak bahasa antar kelompok mayoritas dan kelompok minoritas, pemertahanan bahasa minoritas, dan hal-hal yang menyangkut kelompok penutur yang jumlahnya banyak.
Malmaker (1992: 61-61) membedakan campuran sistem linguistik ini menjadi dua:
a.       Alih kode (code switching), yaitu beralih dari satu bahasa ke dalam bahasa lain dalam satu ujaran atau percakapan; dan
b.      Campur kode (code mixing/interference), yaitu penggunaan unsur-unsur bahasa, dari satu bahasa melalui ujaran khusus ke dalam bahasa yang lain.
Campur kode atau interferensi mengacu pada penggunaan unsur formal kode bahasa seperti fonem, morfem, kata, frase, kalimat dalam suatu konteks dari satu bahasa ke dalam bahasa yang lain (Beardsmore, 1982: 40). Alih kode dan campur kode dalam konteks dan situasi berbahasa dapat dilihat dengan jelas, juga tataran, sifat, dan penyebabnya.






A. Pengertian Campur Kode dan Alih Kode
Nababan (1991: 31) menyatakan bahwa konsep alih kode ini mencakup juga kejadian pada waktu kita beralih dari satu ragam bahasa yang satu, misalnya ragam formal ke ragam lain, misalnya ragam akrab; atau dari dialek satu ke dialek yang lain; atau dari tingkat tutur tinggi, misalnya kromo inggil (bahasa jawa) ke tutur yang lebih rendah, misalnya, bahasa ngoko, dan sebagainya.
Penggunaan dua bahasa (atau lebih) dalam alih kode menurut Suwito (1996:80) ditandai oleh : (a) masing-masing bahasa masih mendukung fungsi-fungsi secara tersendiri sesuai konteksnya, (b) fungsi masing-masing bahasa disesuaikan dengan situasi yang relevan dengan perubahan konteks. Ciri-ciri itu menunjukan bahwa di dalam alih kode, masing-masing bahasa masih mendukung fungsinya secara esklusif, dan peralihan kode terjadi apabila penuturnya merasa bahwa situasi relevan dengan peralihan kodenya. Tanda-tanda demikian oleh oleh Kachru (dalam Suwito, 1996:80) disebut ciri-ciri unit kontekstual.
Suwito (1996:81) membedakan alih kode menjadi dua yaitu alih kode intern dan alih kode ekstern : Apabila alih kode itu terjadi antara bahasa-bahasa daerah dalam satu bahasa nasional, atau antara dialek-dialek dalam satu bahasa daerah, atau antar babarapa ragam dan gaya yang terdapat dalam satu dialek, alih kode seperti itu bersifat intern. Apabila yang terjadi adalah antara bahasa asli dengan bahasa asing maka disebut alih kode ekstern. Menurut Suwito, apabila dalam suatu peristiwa tutur tertentu terdapat peralihan kode antar bahasa dalam satu negara atau masih serumpun, maka peralihan kode tersebut bersifat intern. Sedangkan apabila peralihan kode yang terjadi tersebut antar bahasa asli dengan bahasa asing atau tidak serumpun, maka peralihan kode tersebut bersifat ekstern. Dalam prakteknya mungkin saja dalam suatu peristiwa tutur tertentu terjadi alih kode intern dan ekstern secara beruntun apabila fungsi kontekstual dan situasi relevansinya dinilai oleh penutur cocok umtuk melakukannya.
Menurut Abdul Chaer dan Leony Agustina (1995: 141) alih kode adalah peristiwa pergantian bahasa atau berubahnya satu ragam bahasa ke ragam lainnya karena sebab-sebab tertentu. Penyebabnya bisa karena adanya orang ketiga yang baru datang, situasi percakapan yang berubah, atau karena berubahnya topik pembicaraan. Campur kode bercampurnya dua kode; satu kode menjadi dasar percakapan sedangkan kode lainnya hanya digunakan serpihan-serpihannya saja tanpa menggunakan fungsi atau keotonomiannya sebagai kode yang otonom. (1995:151)

B. Tujuan Campur Kode
Nababan (1989:32) menegaskan bahwa suatu keadaan berbahasa menjadi lain bilamana orang mencampurkan dua (atau lebih) bahasa atau ragam bahasa dalam situasi berbahasa yang menuntut percampuran bahasa itu. Dalam keadaan demikian, hanya kesantaian penutur, atau kebiasaanya yang dituruti. Tindak bahasa yang demikian disebut campur kode. Dalam situasi berbahasa yang formal, jarang terdapat campur kode. Ciri yang menonjol dari campur kode ini adalah kesantaian atau situasi informal.
Suwito (1996:90) mengidentifikasikan alasan terjadinya campur kode antara lain ialah : (a) identifikasi peranan, (b) identifikasi ragam, dan (c) keinginan untuk menjelaskan dan menafsirkan. Dalam hal ini pun ketiganya saling bergantung dan tidak jarang bertumpang tindih. Ukuran untuk identifikasi peranan adalah sosial, registral, dan edukasional. Campur kode yang terjadi ditunjukan untuk mengidentifikasi peranan penutur, baik secara sosial, registral, maupun edukasional. Misalnya dalam pemakaian bahasa jawa pemilihan variasi bahasa dan cara mengekpresikan variasi bahsa itu dapat memberi kesan tertentu baik tentang status sosial ataupun tingkat pendidikan penuturnya. Identifikasi ragam ditentukan oleh bahasa yang digunakan untuk bercampur kode yang akan menempatkan penutur dalam hierarki status sosial. Identifikasi keinginan untuk menjelaskan dan menafsirkan tampak dalam sikap terhadap penutur. Penutur yang bercampur kode dengan unsur-unsur bahasa Inggris dapat memberi kesan bahawa si penutur “ orang masa kini”, berpendidikan cukup dan mempunyai hubungan yang luas.







C. Wujud Campur Kode
Berdasarkan unsur-unsur kebahasaan yang terlibat didalamnya, Suwito (1996: 92) membedakan wujud campur kode menjadi beberapa macam, antara lain:
1.      Penyisipan unsur-unsur yang berwujud kata. Kata merupakan unsur terkecil dalam pembentukan kalimat yang sangat penting peranannya dalam tata bahasa, yang dimaksud kata adalah satuan bahasa yang berdiri sendiri, terdiri dari morfem tunggal atau gabungan morfem.
2.      Penyisipan unsur-unsur yang berujud frasa: Frasa adalah gabungan dua kata atau lebih yang sifatnya tidak prediktif, gabungan itu dapat rapat dan dapat renggang.
3.      Penyisipan unsur-unsur yang berwujud bentuk baster: Baster merupakan hasil perpaduan dua unsur bahasa yang berbeda membentuk satu makna (Harimurti, 1993: 92).
4.      Penyisipan unsur-unsur yang berwujud perulangan kata: Perulangan kata merupakan kata yang terjadi sebagai akibat dari reduplikasi.
5.      Penyisipan unsur-unsur yang berwujud ungkapan atau idiom: Idiom merupakan konstruksi dari unsur-unsur yang saling memilih, tiap-tiap anggota mempunyai makna yang ada hanya karena bersama yang lain atau
dengan pengertian lain idiom merupakan konstruksi yang maknanya tidak sama dengan gabungan makna anggota-anggotanya.

D. Komunikasi Interkultural
Dalam perspektif wacana, komunikasi interkultural dapat dilihat ketika  dua penutur dari dua budaya yang berbeda bergabung dalam suatu percakapan.  Setiap budaya memiliki pola wacana yang berbeda dan hal ini sering menyebabkan terjadinya kesalahfahaman. Aspek-aspek wacana yang mempengaruhi keberhasilan komunikasi antar budaya sebagai berikut.
a.       Ideologi, yaitu nilai budaya, agama, dan keyakinan-keyakinan
b.      Bentuk wacana; fungsi bahasa dan komunikasi non verbal
c.       Sosialisasi; bagaimana belajar menjadi anggota masyarakat budaya tertentu (Scollon and Scollon 1995: 148)
d.      Face system atau organisasi masyarakat secara sosial, bagaimana hubungan kekerabatan, konsep diri, hubungan dalam dan luar kelompok, dan konsep komunitas dan masyarakat (Scollon and Scollon 1995:127).






























BAB III
METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian kualitatif. Data berbentuk wacana lisan yang diambil dengan merekam percakapan antar sesama pedagang dan ketika terjadi transaksi jual beli. Rekaman ini berbentuk audio dan catatan. Adapun rekaman data yang dimasukkan dalam tulisan ini adalah rekaman dalam bentuk catatan. Informan atau penutur ujaran yang menjadi sumber data diambil secara acak. Data ini kemudian ditranskripsikan agar menjadi lebih teratur dan lebih mudah dianalisis lalu dipilah-pilah agar terpilih data yang diperlukan karena besar  kemungkinan dalam proses perekaman terjadi gangguan-gangguan percakapan, adanya ujaran-ujaran yang tidak signifikan, dan juga karena data berbentuk ujaran dalam bahasa daerah dan bahasa Indonesia. Setelah terseleksi, data dianalisis dengan menggunakan kerangka teori yang relevan. Hasilnya akan ditemukan sejumlah pengelompokan jenis-jenis wacana lisan yang terjadi, kode/bahasa yang digunakan, dan ada atau tidak adanya alih kode dan campur kode dalam percakapan tersebut.

B. Pendekatan untuk Analisis Data
Pendekatan yang dapat memenuhi tujuan penelitian ini adalah pendekatan sosiolinguistik. Eggins&Slade (1997) mengatakan bahwa pada awalnya pendekatan ini berasal dari beberapa disiplin ilmu, tapi dalam prakteknya banyak berorientasi pada penggunaan bahasa dalam konteks social kehidupan manusia sehari-hari.







Fungsi ujaran pembuka
Fungsi ujaran respon
Mendukung

mengkonfrontasi
Tawaran
Penerimaan
Penolakan
Perintah
Konfirmasi
Menolak
Pernyataan
Menyetujui
Tidak setuju
Pertanyaan
Menjawab
Menidakkan/membantah


C. Prosedur Penelitian
Pelaksanaan penelitian dibagi menjadi tiga tahap utama, yaitu Prapenelitian yang terdiri dari penelusuran referensi dan survey lokasi pengambilan data, yang kedua peneliitian itu sendiri adalah pengambilan, pengolahan, dan analisis data.
Analisis data dibagi menjadi dua bagian. Yang pertama adalah analisis struktur wacana percakapan. Setelah melakukan analisis terhadap strukturnya baru dilanjutkan dengan analisis secara sosiolinguistik. Analisis data ini adalah analisis urutan dari transkrip percakapan yang akan menunjukkan apakah ada interpretasi makna sosial dari ujaran atau percakapan. Apakah ada keberadaan budaya dari etnis Jawa dan Minang yang tergambar dari transkrip percakapan tersebut.
Transkrip yang telah dianalisis ini kemudian dikubungkan dengan situasinya, apakah percakapan terjadi antar pedagang, antara penjual dan pembeli, dan untukpembeli bisa dipilah lagi menjadi pelanggan-bukan pelanggan, beretnis sama-berbeda etnis. Dari sini hipotesis penelitian tentang pilihan kode, hubungan sosial antar anggota pasar, dapat dibentuk.






BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Analisis Struktur Wacana
Analisis struktur wacana akan menjawab pertanyaan penelitian ini yaitu pertanyaan pertama dan kedua. Berikut salah satu percakapan di pasar Untung.
Tabel 1. Fungsi ujaran di pasar
Giliran
Penutur
Ujaran
Fungsi ujaran
1
Pembeli
Bude kude ini bude ?
Pertanyaan
2
Penjual
Nike siyu geg
Jawaban
3
B2
Kalau yang ini ?
pertanyaan
4
J
Mekejang siyu niki kueh-kueh tiyang
jawaban
5
B2
Mekejang siyu ya
Pernyataan
6
B
Iki piro bude?
Pertanyaan
7
J
Sewu mbak
jawaban
8
J
Setunggal sewu
pernyataan
9
B2
Lo mau ini berapa?
Pertanyaan
10
Teman B2
Saya satu aja
Konfirmasi
11
B2
Bude ini satu ya
Konfirmasi
12
B2
Ni saya beli dua
Konfirmasi
13
B3
Ti telor puyuh ti
Tawaran
14
B2
Mana lagi ?
pertanyaan
15
B
Ini lagi.. ini berapa bude ?
pertanyaan
16
J
Seribu satu
jawaban
17
J
Kuehnya macem-macem seribu aja
Pernyataan
18



19
B
Ini singkong ya?
Pertanyaan
20
B2  
Bukan, bolu itu mah…
Pembantahan
21
B
ooo bolu keju
Jawaban
22
J
Singkong yang diujung…
Jawaban dan
23
B
oohh singkong yang diujung
Pernyataan
24
B2
Bude semuanya ini sus ya ?
Pertanyaan
25
J
He..eh
Pernyataan
26
B2
Lima eh lima, enam  
pernyataan
27
J
Mbak baru satu ya
pernyataan
28
B2
Mana lagi?
Pertanyaan
29
B
kalian mau yang mana lagi?
pertanyaan
30
B2
Mau yang mana?
Pernyataan
31
B2
Nom ini nom
Pernyataan
32
B4
Berapa satunya?
Pertanyaan
33
J
Seribu
jawaban
34
B4
Seribuan ya?
Pertanyaan
35
B5
Ini loh .. eh
Pertanyaan
36
J
Ini sayurnya tiga ribu
Pernyataan
37
B2
Ini bude berapa itu, hitung ulang !
perintah
38
J
Ta itung ya… Satu, dua tiga, ini lapan ribu
konfirmasi
39
B5
setunggal iki punten bude?
pertanyaan
40
J
Setunggal sewu mas
jawaban
41
B5
serebuan
Bantahan
42
J
Dah ini aja
Pernyataan
43
B5
Telo ngewuan
Pernyataan
44
J
terimakasih
Menutup percakapan
45
B3
Tengkyu
Menutup percakapan
Pada percakapan awal, percakapan dimulai oleh pembeli menggunakan bahasa Bali kemudian direspon oleh penjual menggunakan bahasa Bali juga. Pada percakapan kedua pembeli menggunakan bahasa jawa dan direspon juga menggunakan bahasa jawa, penjual yang menginisiasi percakapan. Fungsi yang muncul adalah Pertanyaan, Pernyataan, bantahan, perintah, dan konfirmasi . Berikut rekapitulasi jumlah fungsi ujaran dari masing-masing pihak.



Rekapitulasi Fungsi Ujaran 1.Bukan Pelanggan

Per
Ta
nya
an
Meng
iya
kan
Me
ni
dak
kan
Per
nya
ta
an
Perintah
Me
Lak
sanakan
 pembantahan
Pe nerima an
Pe
No
lakan
Penjual
0
0
0
4
0
0

0
0
Pembeli 1
6
0
0
2
0
0

0
0

Rekapitulasi Fungsi Ujaran 2.Pelanggan

Per
Ta
nya
an
Meng
iya
kan
Me
ni
dak
kan
Per
nya
ta
an
Perintah
Me
Lak
sanakan
Me
No
lak
Ta
War
an
Pe nerima an
Pe
No
lakan
Penjual
5
0
0
5
2
0
0
1
0
1
Pembeli 3
6
3
0
2
0
0
0
1
0
1

Dari analisis struktur, terlihat bahwa ujaran berpasangan tidak selalu berbanding secara simetris.

B. Analisis Sosiolinguistik
Wacana percakapan adalah refleksi interaksi sosial dari masyarakat yang menggunakannya. Wacana ini dapat menjelaskan kepada pendengarnya sikap para penutur dalam berinteraksi. Suatu saat penutur menjadi bagian dari dunia yang tidak terpisah-pisah oleh budaya dan tradisi tertentu tetapi di saat lain mereka menarik diri ke dalam keanggotaan etnis atau ras tertentu.
Inilah yang terjadi dalam percakapan antara pedagang di pasar dan antara pedagang dengan pembeli. Untuk menganalisis fenomena ini, data wacana percakapan ini dapat dianalisis dengan pendekatan sosiolinguistik. Pendekatan sosiolinguistik yang dimaksud adalah pendekatan yang menggunakan fenomena adanya alih kode dan campur kode dalam percakapan.
Alih kode adalah peristiwa pergantian bahasa atau berubahnya satu ragam bahasa ke ragam lainnya karena sebab-sebab tertentu (Abdul Chaer dan Agustina 1995). Romaine (1995) mendefinisikan alih kode sebagai pemilihan kode yang di dalamnya penutur mengganti ragam ujaran berdasarkan konteks dan domain pmbicaraan, biasanya perubahan ragam standar ke ragam daerah, tetapi juga dari satu bahasa ke bahasa yang lain.
Pada bagian ini disajikan bagian dari korpus data sebagai contoh analisis pola-pola alih kode.
Transkrip 1 Percakapan di pasar untung suropati labuhan dalam,tanjung senang Bandar Lampung
Pembeli (B) : bude kangkungnya berapa?
Penjual (J) : seribu lima ratus
Penjual (J) : piro mas ?
(Berapa mas?) berbicara kepada pembeli lain
B2 : nggak bisa seribu aja tah bude?
J : aku tawari tiga malah nyempruk e … ojo seng gede-gede
(Berbicara kepada B “aku menawarkan tiga malah merengut.. tidak boleh yang besar-besar”)
B2 : seribu aja ya
J : jangan geh..
B2: boleh sih bude
J : dua setengah   
J: ya ojo
(berbicara kepada B “ya tidak boleh”) 
J : ngene carok ngene loh..
(berbicara kepada rekan kerja “begini ngambilnya gini loh)
J : neng njobo tiga puluh loh mas
(berbicara dengan B “diluar sana harganya mencapai tiga puluh mas”)
J : males isuk-isuk’i sibuk arep tuku koyo ngono
(berbicara dengan rekan J “capek pagi-pagi  sibuk mau beli yang seperti itu”)
B2: nih bude dua aja
J : kan digowo balek arepan
(berbicara dengan rekan J “kan mau diabawa pulang”)
B2 : kalau genjernya berapa bude? Sama aja ya ?
J :  ambil dua ?
B2 : iya
J : yaudah.. mana kembangnya atau genjernya ?
B2 : nggak lah itunya aja lah kangkungnya aja lah
B : loh katanya genjer
B2 : ngak jadi mau Tanya aja
J : nggak jadi ?
B2 : nggak Tanya aja
J : kalau genjer itu vitaminnya di kembang
B2 : berapa tadi bude ?
J : dua setengah
B2 : makasih bude

Pada ekstrak percakapan di atas, ada empat peserta percakapan. Satu penjual (J), dan dua pembeli (B dan B2) dan rekan J. B2 adalah langganan si penjual sementara B tidak. Dalam waktu yang hampir bersamaan kedua pembeli ini datang membeli kangkung kepada penjual. Pada pembeli B, si penjual tetap menggunakan bahasa Indonesia. Berbeda halnya dengan pembeli B2 si penjual menggunakan bahasa Jawa. Dengan begitu secara otomatis J melakukan alih kode dari bahasa Indonesia ke bahasa Jawa karena menyesuaikan dirinya kepada pembeli dan rekannya. Jadi faktor pelanggan yang datang dan beretnis Dayak mendorong penjual untuk melakukan alih kode situasional.

C. Jenis-jenis Alih Kode
Alih kode terbagi menjadi beberapa jenis, yaitu
1)Alih kode Situasional,
Alih kode yang terjadi berdasarkan situasi dimana penutur menyadari        bahwa mereka berbicara dalam bahasa tertentu dalam situasi dan bahasa       lain.
2)Alih Kode Metaforikal.
   Alih kode metaforikal adalah alih kode yang terjadi jika ada pergantian               topic.
Percakapan yang terjadi antarpedagang atau antarpembeli dan penjual di kedua pasar ini adalah Alih Kode Situasional, yaitu alih kode untuk mencapai tujuan sesaat sesuai dengan setting sosial percakapan, dalam hal ini tujuannya adalah berjual beli dengan seting di pasar, situasinya informal. Tingkat formalitas semakin menurun bila penjual bertemu dengan penjual, atau penjual bertemu dengan pelanggan.




BAB V
KESIMPULAN
Adapun kesimpulan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.      Kode atau ragam bahasa yang dipakai oleh masyarakat pengguna pasar adalah Bahasa Indonesia ragam informal.
2.      Kode yang digunakan antar para pedagang di pasar Untung adalah bahasa Jawa, Bali dan bahasa Indonesia.
3.      Kode yang digunakan oleh sesama pedagang di pasar Untung adalah bahasa Indonesia dan bahasa Jawa.
4.      Bahasa Jawa dan Bali digunakan untuk interaksi intra etnis.
5.      Alih kode dan campur kode serta interferensi terjadi bila percakapan terjadi antar etnis. Bila bertemu dengan penutur beda etnis, mereka menggunakan bahasa Indonesia, tetapi bila bertemu dengan penutur etnis yang sama, kode beralih ke bahasa Jawa atau Bali.
6.      Alih kode sangat mudah terjadi di etnis Jawa.
7.      Etnis Bali lebih tertutup dalam menunjukkan identitas budaya melalui bahasanya.
8.      Dengan tingkat yang berbeda, kedua suku ini masih mempertahankan budaya mereka melalui bahasa mereka.



DAFTAR PUSTAKA

Abdul Chaer dan Leony Agustina. 1995. Sosiolinguistik; Perkenalan Awal. Rineka Cipta.Jakarta.
Abdul Chaer. 2004. Sosiolinguistik Perkenalan Awal. Jakarta: Rineka Cipta.
Edwards, John. 1985. Language, Society, and Identity. Basil Blackwel Ltd Oxford.
Eggins, Suzanne and Diana Slade. 1997. Analysing Casual Conversation. Cassell. London
Goebel, Zane.2002. “Code Choice in interethnic interactions in two Urban Neighborhoods of Central Java, Indonesia”. International Journal of the Sociology of Language.158 (69-87)
Harimurti Kridalaksana. 1993. Kamus Linguistik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Holmes, Janet. 1992. An Introduction to Sociolinguistics.Longman Group. London.
J Gumperz, John.1982. Discourse Strategies. Cambridge University Press. Cambridge.
Nababan, P.W.J. 1989. Sosiolinguistik dan Pengajaran Bahasa. PELBS 2. Bambang Kaswanti Puwo.ed. Jakarta: Lembaga Bahasa Unika Atma Jaya.
Nababan, P.W.J. 1991. Sosiolinguistik: Suatu Pengantar . Jakarta: PT. Gramedia.
Romaine, Suzanne. 1995. Bilingualism. Blackwell Cambridge.
Scollon, Ron and Suzanne Wong Scollon. 1995. Intercultural Communication; A Discourse Approach.Blackwell. Cambridge.
Stubbs,Michael. 1983. Discourse Analysis: The Sociolinguistic Analysis of Natural Language. Basil Blackwell Ltd. Oxford.
Sumarsono. 2004. Sosiolinguistik. Jakarta: Pustaka Pelajar.
Suwito. 1983. Sosiolinguistik: Teori dan Problema. Surakarta: Henary Offset.
Wardaugh, Ronald. 1998. An Introduction to Sociolinguistics. Basil Blackwell. Oxford.


No comments:

Post a Comment

TINDAK TUTUR LOKUSI DALAM FILM 'TENGGELAMNYA KAPAL VAN DER WIJCK' DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PEMBELAJARAN SASTRA

  TINDAK TUTUR LOKUSI DALAM FILM 'TENGGELAMNYA KAPAL VAN DER WIJCK' DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PEMBELAJARAN SASTRA   BAB I PEND...