Thursday, October 20, 2016

Makalah Ontologi Hakikat yang Dikaji

FILSAFAT ILMU

Ontologi Hakikat yang Dikaji

Dosen Pengampu : Prof. Idham Khoir



Oleh :

1.   Effiesa Mayasari              
2.   Hayu Khoiriyah





                             







MAGISTER PENDIDIKAN
SEKOLAH TINGGI KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
PERSATUAN GURU REPUBLIK INDONESIA
(STKIP-PGRI) BANDAR LAMPUNG


TAHUN 2016



KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayahnya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini. Selawat dan salam kami doa’kan, semoga selalu tercurah pada nabi besar kita,nabi Muhammad SAW.

Terima kasih kepada dosen pembimmbing yang telah memberikan kami kepercayaan untuk menyelesaikan makalh tentang “ Filsafat Ilmu”. Semoga malah ini dapat memenuhi tugas yang diberikan kapada kami. Terima kasih atas kerja sama dari teman-teman semua.

Sebagai manusia yang masih banyak kekrangan terutama ilmu pengetahuan dan pengalaman,kami mengharapakan kritik dan saran dari pembaca yang bersifat membangun, agar kedepannya kami dapat membuat makalah yang baik lagi. Demikianlah makalah ini kami buat semoga dapat bermanfaat untuk semua.

Terima Kasih


Bandar lampung, 21 Oktober 2016


Kelompok III









ii
 

DAFTAR ISI


HALAMAN JUDUL.................................................................................   i
KATA PENGANTAR..............................................................................   ii
DAFTAR ISI..............................................................................................   iii

BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Makalah........................................................................   1
1.2 Rumusan Masalah..................................................................................   3
1.3 Tujuan Penelitian....................................................................................   3
1.4 Manfaat Penulisan..................................................................................   3

BAB II PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Ontologi dalam Filsafat Ilmu...............................................   4
2.2 Sudut Pandang dan Aliran-aliran Ontologi dalam Filsafat Ilmu...........   7
2.2.1 Sudut Pandang Ontologi....................................................................   7
2.3 Aliran-aliran Ontologi............................................................................   8
2.3.1 Aliran Monoisme dalam Filsafat.........................................................   8
2.3.2 Materialisme dalam Filsafat................................................................   8
2.4. Idealisme dalam Filsafat.......................................................................   9
2.4.1 Aliran Dualisme dalam Filsafat...........................................................   9
2.5 Aliran Pluralisme dalam Filsafat............................................................   10
2.6 Aliran Nihilisme dalam Filsafat.............................................................   10
2.6.1 Aliran Agnostisisme dalam Filsafat....................................................   11
2.7   Metafisika............................................................................................   12
2.7.1 Metafisika dan Pendidikan.................................................................   16
2.8 Asumsi...................................................................................................   16
2.9 Peluang...................................................................................................   18
2.10 Beberapa Asumsi Dalam Ilmu.............................................................   20
iii
2.11 Batas-Batas Penjelajahan Ilmu.............................................................   22

BAB III PENUTUP
3.1 Simpulan................................................................................................   25
3.2 Saran......................................................................................................   26

DAFTAR PUSTAKA




BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Makalah
Ontologi merupakan salah satu kajian kefilsafatan yang paling kuno dan berasal dari Yunani. Studi tersebut mebahas keberadaan sesuatu yang bersifat konkret. Tokoh Yunani yang memiliki pandangan yang bersifat ontologis dikenal seperti Thales, Plato, dan Aristoteles . Pada masanya, kebanyakan orang belum membedaan antara penampakan dengan kenyataan. Thales terkenal sebagai filsuf yang pernah sampai pada kesimpulan bahwa air merupakan substansi terdalam yang merupakan asal mula segala sesuatu. Thales berpenderian bahwa segala sesuatu tidak berdiri dengan sendirinya melainkan adanya saling keterkaitan dan keetergantungan satu dengan lainnya

Ontologi secara ringkas membahas realitas atau suatu entitas dengan apa adanya. Pembahasan mengenai ontologi berarti membahas kebenaran suatu fakta. Untuk mendapatkan kebenaran itu, ontologi memerlukan proses bagaimana realitas tersebut dapat diakui kebenarannya. Untuk itu proses tersebut memerlukan dasar pola berfikir, dan pola berfikir didasarkan pada bagaimana ilmu pengetahuan digunakan sebagai dasar pembahasan realitas.

Menurut Hornby (1974), filsafat adalah suatu sistem pemikiran yang terbentuk dari pencarian pengetahuan tentang watak dan makna kemaujudan atau eksistensi. Filsafat dapat juga diartikan sebagai sistem keyakinan umum yang terbentuk dari kajian dan pengetahuan tentang asas-asas yang menimbulkan, mengendalikan atau menjelaskan fakta dan kejadian. Secara ringkas, dengan demikian, filsafat diartikan sebagai pengetahuan tentang suatu makna. Hornby menyatakan pula bahwa pengetahuan ialah keseluruhan hal yang diketahui, yang membentuk persepsi jelas mengenai kebenaran atau fakta. Sedangkan ilmu adalah pengetahuan yang diatur dan diklasifikasikan secara tertib, membentuk suatu sistem pengetahuan, berdasar rujukan kepada kebenaran atau hukum-hukum umum.
Ilmu merupakan kegiatan untuk mencari pengetahuan dengan jalan melakukan pengamatan atau pun penelitian, kemudian peneliti atau pengamat tersebut berusaha membuat penjelasan mengenai hasil pengamatan/penelitiannya. Dengan demikian, ilmu merupakan suatu kegiatan yang sifatnya operasional. Jadi terdapat runtut yang jelas dari mana suatu ilmu pengetahuan berasal.

Karena sifat yang operasional tersebut, ilmu pengetahuan tidak menempatkan diri dengan mengambil bagian dalam pengkajian hal-hal normatif. Ilmu pengetahuan hanya membahas segala sisi yang sifatnya positif semata. Hal-hal yang bekaitan dengan kaedah, norma atau aspek normatif lainnya tidak dapat menjadi bagian dari lingkup ilmu pengetahuan.

Bagaimana ilmu pengetahuan diperoleh? Ilmu pengetahuan dihasilkan dari perilaku berfikir manusia yang tersusun secara akumulatif dari hasil pengamatan atau penelitian. Berfikir merupakan kegiatan penalaran untuk mengeksplorasi suatu pengetahuan atau pengalaman dengan maksud tertentu. Makin luas dan dalam suatu pengalaman atau pengetahuan yang dapat dieksplorasi, maka makin jauh proses berfikir yang dapat dilakukan. Hasil eksplorasi pengetahuan digunakan untuk mengabstraksi obyek menjadi sejumlah informasi dan mengolah informasi untuk maksud tertentu. Berfikir merupakan sumber munculnya segala pengetahuan. Pengetahuan memberikan umpan balik kepada berfikir. Hubungan interaksi antara berfikir dan pengetahuan berlangsung secara sinambung dan berangsur meninggi, dan kemajuan pengetahuan akan berlangsung secara kumulatif. Bagian terpenting dari berfikir adalah kecerdasan mengupas (critical intelegence).

Suatu pengetahuan dihasilkan dari proses berfikir yang benar, dalam arti sesuai dengan tujuan mencari ilmu pengetahuan, maka seorang pengamat atau peneliti harus menggunakan penalaran yang benar dalam berfikir. Hasil penalaran itu akan menghasilkan kesimpulan yang dianggap sahih dari sisi keilmuan. Nalar merupakan kemampuan untuk memahami informasi dan menarik kesimpulan dari informasi yang ada. Secara umum penalaran dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu deduksi dan induksi.

1.2 Rumusan Masalah
Dari latar belakang diatas maka didapatkan permasalahan :
1) Bagaimana Ontologi itu sendiri ?
2) Bagaimana Metafisika itu ?
3) Apa yang dimaksud dengan Asumsi ?
4) Apa yang dimaksud dengan Peluang ?
5)Apa yang dimaksud dengan Beberapa Asumsi dalam ilmu?
6)Apa yang dimaksud dengan batas-batas Penjelajahan ilmu?

1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan beberapa hal yang yang telah dikemukakan dalam rumusan masalah,dapat dikemukakan tujuan penelitian makalah ini sebagai berikut:          
1)      Mengetahui dan mendeskripsikan pengertian dari Ontologi
2)      Mengetahui dan mendeskripsikan cabang-cabang dari Ontologi
3)      Mengetahui tentang kajian hakikat apa yang dikaji

1.4 Manfaat Penulisan
1)      Memberikan pemahaman kepada pembaca tentang hakikat filsafat ilmu.
2)      Memberikan informasi kepada pembaca tentang berbagai cabang dari filsafat ilmu.
3)      Memberikan wawasan kepada pembaca tentang berbagai kajian filsafat ilmu.








BAB II
PEMBAHASAN


2.1 Pengertian Ontologi dalam Filsafat Ilmu
Ontologi adalah bidang pokok filsafat yang mempersoalkan hakikat keberadaan segala sesuatu yang ada, menurut tata hubungan sistematis berdasarkan hukum sebab-akibat. Yaitu, ada manusia, ada alam, dan ada causa prima dalam suatu hubungan menyeluruh, teratur dan tertib dalam keharmonisan. Jadi, dari aspek ontologi, segala sesuatu yang ada ini berada dalam tatanan hubungan estetis yang diliputi dengan warna nilai keindahan.

Ontologi merupakan salah satu kajian kefilsafatan yang paling kuno dan berasal dari Yunani. Studi tersebut membahas keberadaan sesuatu yang bersifat konkret. Tokoh Yunani yang memiliki pandangan yang bersifat ontologis dikenal seperti Thales, Plato, dan Aristoteles. Pada masanya, kebanyakan orang belum membedaan antara penampakan dengan kenyataan. Thales terkenal sebagai filsuf yang pernah sampai pada kesimpulan bahwa air merupakan substansi terdalam yang merupakan asal mula segala sesuatu.

Thales merupakan orang pertama yang berpendirian sangat berbeda di tengah-tengah pandangan umum yang berlaku saat itu. Di sinilah letak pentingnya tokoh tersebut. Kecuali dirinya, semua orang waktu itu memandang segala sesuatu sebagaimana keadaannya yang wajar. Apabila mereka menjumpai kayu, besi, air, daging, dan sebagainya, hal-hal tersebut dipandang sebagai substansi-substansi (yang terdiri sendiri-sendiri). Dengan kata lain, bagi kebanyakan orang tidaklah ada pemilihan antara kenampakan (appearance) dengan kenyataan (reality). Namun yang lebih penting ialah pendiriannya bahwa mungkin sekali segala sesuatu itu berasal dari satu substansi belaka (sehingga sesuatu itu tidak bisa dianggap ada berdiri sendiri).

Ontologi terdiri dari dua suku kata, yakni ontos dan logos. Ontos berarti sesuatu yang berwujud (being) dan logos berarti ilmu. Jadi ontologi adalah bidang pokok filsafat yang mempersoalkan hakikat keberadaan segala sesuatu yang ada menurut tata hubungan sistematis berdasarkan hukum sebab akibat yaitu ada manusia, ada alam, dan ada kausa prima dalam suatu hubungan yang menyeluruh, teratur, dan tertib dalam keharmonisan. Ontologi dapat pula diartikan sebagai ilmu atau teori tentang wujud hakikat yang ada. Obyek ilmu atau keilmuan itu adalah dunia empirik, dunia yang dapat dijangkau pancaindera. Dengan demikian, obyek ilmu adalah pengalaman inderawi. Dengan kata lain, ontologi adalah ilmu yang mempelajari tentang hakikat sesuatu yang berwujud (yang ada) dengan berdasarkan pada logika semata.

Hakikat Manusia Sebagai Subjek Pendidikan (Pendidik dan Peserta Didik) Kajian tentang manusia sejak zaman dahulu sampai zaman sekarang belum juga berakhir dan tidak akan berakhir. Manusia merupakan makhluk yang sangat unik dengan segala kesempurnaannya. Manusia dapat dikaji dari berbagai sudut pandang, baik secara historis, antropologi, sosiologi dan lain sebagainya.

Manusia dalam kajian kali ini lebih difokuskan kepada subjek pendidikan, bahwa dalam dunia pendidikan manusialah yang banyak berperan. Karena dilakukannya pendidikan itu tidak lain diperuntukan bagi manusia, agar tidak timbul kerusakan di bumi ini. Dalam pendidikan bahwa manusia dibagi menjadi dua kelompok, yaitu sebagai pendidik dan peserta didik.

Menurut Al-Aziz, pendidik adalah orang yang bertanggungjawab dalam menginternalisasikan nilai-nilai religius dan berupaya menciptakan individu yang memiliki pola pikir ilmiah dan pribadi yang sempurna. Masing-masing definisi tersebut, mengisyaratkan bahwa peran, tugas dan   sebagai seorang pendidik tidaklah gampang, karena dalam diri anak didik harus terjadi perkembangan baik secara afektif, kognitif maupun psikomotor. Dalam setiap individu terdidik harus terdapat perubahan ke arah yang lebih baik. Jika dalam ajaran Islam anak didik harus mampu menginternalisasikan ajaran-ajaran dalam dirinya, sehingga mampu menjadi pribadi yang bertaqwa dan berakhlakul karimah yang akan bahagia baik di dunia dan di akhirat.

Sedangkan anak didik (peserta didik) adalah makhluk yang sedang berada dalam proses perkembangan dan pertumbuhan menurut fitrahnya masing-masing. Mereka memerlukan bimbingan dan pengarahan yang konsisten menuju ke arah titik optimal kemampuan fitrahnya. Pengertian tersebut berbeda apabila anak didik (peserta didik) sudah bukan lagi anak-anak, maka usaha untuk menumbuhkembangkannya sesuai kebutuhan peserta didik, tentu saja hal ini tidak bisa diperlakukan sebagaimana perlakuan pendidik kepada peserta didik (anak didik) yang masih anak-anak. Maka dalam hal ini dibutuhkan pendidik yang benar-benar dewasa dalam sikap maupun kemampuannya.

Dalam pandangan modern, anak didik tidak hanya dianggap sebagai obyek atau sasaran pendidikan, melainkan juga harus diperlakukan sebagai subyek pendidikan, dengan cara melibatkan mereka dalam memecahkan masalah dalam proses belajar mengajar. Dengan demikian bahwa peserta didik adalah orang yang memerlukan pengetahuan, ilmu, bimbingan dan pengarahan. Islam berpandangan bahwa hakikat ilmu berasal dari Allah, sedangkan proses memperolehnya dilakukan melalui belajar kepada guru. Karena ilmu itu berasal dari Allah, maka membawa konsekuensi perlunya seorang peserta didik mendekatkan diri kepada Allah atau menghiasi diri dengan akhlak yang mulai yang disukai Allah, dan sedapat mungkin menjauhi perbuatan yang tidak disukai Allah.

Bertolak dari hal itu, sehingga muncul suatu aturan normatif tentang perlunya kesucian jiwa sebagai seorang yang menuntut ilmu, karena ia sedang mengharapkan ilmu yang merupakan anugerah Allah. Ini menunjukkan pentingnya akhlak dalam proses pendidikan, di samping pendidikan sendiri adalah upaya untuk membina manusia agar menjadi manusia yang berakhlakul karimah dan bermanfaat bagi seluruh alam.

Pada akhirnya, dengan memahami ontologi pendidikan tersebut, maka diharapkan bisa menumbuhkan kesadaran para pendidik dan peserta didik untuk menjalankan peran dan fungsinya dalam keberlangsungan pendidikan di tengah-tengah peradaban manusia yang dari waktu ke waktu semakin berkembang. Tentu pendidikan tidak akan mengalami perkembangan yang berarti dan signifikan jika tidak dibarengi oleh perkembangan manusianya. Namun, tanpa manusia, maka sistem dan pola pendidikan tidak akan pernah terwujud. Oleh sebab itu, pendidikan sebagai produk dan manusia sebagai creator-nya tidak bisa, bahkan tidak akan pernah bisa dipisahkan. Ibarat dua sisi mata uang, maka jika satu sisi saja tidak ada, maka sisi yang lain pun jadi tidak berarti. Sehingga kedua unsur ini (manusia dan pendidikan) harus selaras, sejalan dan seiring dalam gerak dan laju yang harmonis, sehingga menciptakan sebuah “irama” yang indah sekaligus menginspirasi.

2.2 Sudut Pandang dan Aliran-aliran Ontologi dalam Filsafat Ilmu

2.2.1 Sudut Pandang Ontologi
Ontologi merupakan pembahasan tentang bagaimana cara memandang hakekat sesuatu, apakah dipahami sebagai sesuatu yang tunggal dan bisa dipisah dari sesuatu yang lain atau bernuansa jamak, terikat dengan sesuatu yang lain, sehingga harus dipahami sebagai suatu kebulatan (holistik). Pengertian paling umum pada ontologi adalah bagian dari bidang filsafat yang mencoba mencari hakikat dari sesuatu. Sebuah ontologi memberikan pengertian untuk penjelasan secara eksplisit dari konsep terhadap representasi pengetahuan pada sebuah knowledge base. Sebuah ontologi juga dapat diartikan sebuah struktur hirarki dari istilah untuk menjelaskan sebuah domain yang dapat digunakan sebagai landasan untuk sebuah knowledge base”. Dengan demikian, ontologi merupakan suatu teori tentang makna dari suatu objek, property dari suatu objek, serta relasi objek tersebut yang mungkin terjadi pada suatu domain pengetahuan. Ringkasnya, pada tinjauan filsafat, ontologi adalah studi tentang sesuatu yang ada. Hakekat kenyataan atau realitas memang bisa didekati ontologi dengan dua macam sudut pandang:

a.       Kuantitatif, yaitu dengan mempertanyakan apakah kenyataan itu tunggal atau jamak?
b.      Kualitatif, yaitu dengan mempertanyakan apakah kenyataan (realitas) tersebut memiliki kualitas tertentu, seperti misalnya daun yang memiliki warna kehijauan, bunga mawar yang berbau harum. Secara sederhana ontologi bisa dirumuskan sebagai ilmu yang mempelajari realitas atau kenyataan konkret secara kritis.

2.3 Aliran-aliran Ontologi
Dalam mempelajari ontologi muncul beberapa pertanyaan yang kemudian melahirkan aliran-aliran dalam filsafat. Dari masing-masing pertanyaan menimbulkan beberapa sudut pandang mengenai ontologi. Pertanyaan itu berupa “Apakah yang ada itu? (What is being?)”, “Bagaimanakah yang ada itu? (How is being?)”, dan “Dimanakah yang ada itu? (What is being?)”

Apakah yang ada itu? (What is being?) Dalam memberikan jawaban masalah ini lahir lima filsafat, yaitu sebagai berikut :

2.3.1 Aliran Monoisme dalam Filsafat
Aliran ini berpendapat bahwa yang ada itu hanya satu, tidak mungkin dua. Haruslah satu hakikat saja sebagai sumber yang asal, baik yang asal berupa materi ataupun berupa ruhani. Tidak mungkin ada hakikat masing-masing bebas dan berdiri sendiri. Haruslah salah satunya merupakan sumber yang pokok dan dominan menentukan perkembangan yang lainnya. Plato adalah tokoh filsuf yang bisa dikelompokkan dalam aliran ini, karena ia menyatakan bahwa alam ide merupakan kenyataan yang sebenarnya. Istilah monisme oleh Thomas Davidson disebut dengan Block Universe. Paham ini kemudian terbagi ke dalam dua aliran :

2.3.2 Materialisme dalam Filsafat
Aliran ini menganggap bahwa sumber yang asal itu adalah materi, bukan ruhani. Aliran ini sering juga disebut dengan naturalisme. Menurutnya bahwa zat mati merupakan kenyataan dan satu-satunya fakta.
Aliran pemikiran ini dipelopori oleh bapak filsafat yaitu Thales (624-546 SM). Ia berpendapat bahwa unsur asal adalah air, karena pentingnya bagi kehidupan. Anaximander (585-528 SM) berpendapat bahwa unsur asal itu adalah udara, dengan alasan bahwa udara merupakan sumber dari segala kehidupan. Demokritos (460-370 SM) berpendapat bahwa hakikat alam ini merupakan atom-atom yang banyak jumlahnya, tak dapat dihitung dan amat halus. Atom-atom itulah yang merupakan asal kejadian alam.

2.4. Idealisme dalam Filsafat
Idealisme diambil dari kata “idea” yaitu sesuatu yang hadir dalam jiwa. Aliran ini menganggap bahwa dibalik realitas fisik pasti ada sesuatu yang tidak tampak. Bagi aliran ini, sejatinya sesuatu justru terletak dibalik yang fisik. Ia berada dalam ide-ide, yang fisik bagi aliran ini dianggap hanya merupakan bayang-bayang, sifatnya sementara, dan selalu menipu. Eksistensi benda fisik akan rusak dan tidak akan pernah membawa orang pada kebenaran sejati.

Dalam perkembangannya, aliran ini ditemui dalam ajaran Plato (428-348 SM) dengan teori idenya. Menurutnya, tiap-tiap yang ada di dalam mesti ada idenya yaitu konsep universal dari tiap sesuatu. Alam nyata yang menempati ruangan ini hanyalah berupa bayangan saja dari alam ide itu. Jadi, idelah yang menjadi hakikat sesuatu, menjadi dasar wujud sesuatu.

2.4.1 Aliran Dualisme dalam Filsafat
Aliran ini berpendapat bahwa benda terdiri dari dua macam hakikat sebagai asal sumbernya, yaitu hakikat materi dan hakikat rohani, benda dan roh, jasad dan spirit. Kedua macam hakikat itu masing-masing bebas dan berdiri sendiri, sama-sama azali dan abadi. Hubungan keduanya menciptakan kehidupan dalam alam ini.

Tokoh paham ini adalah Descartes (1596-1650 M) yang dianggap sebagai bapak filsafat modern. Ia menamakan kedua hakikat itu dengan istilah dunia kesadaran (rohani) dan dunia ruang (kebendaan). Ini tercantum dalam bukunya Discours de la Methode (1637) dan Meditations de Prima Philosophia (1641). Dalam bukunya ini pula, Ia menerangkan metodenya yang terkenal dengan Cogito Descartes (metode keraguan Descartes/Cartesian Doubt). Disamping Descartes, ada juga Benedictus de Spinoza (1632-1677 M), dan Gitifried Wilhelm von Leibniz (1646-1716 M).

2.5 Aliran Pluralisme dalam Filsafat
Aliran ini berpandangan bahwa segenap macam bentuk merupakan kenyataan. Pluralisme bertolak dari keseluruhan dan mengakui bahwa segenap macam bentuk itu semuanya nyata. Pluralisme dalam Dictionary of Philosophy and Religion dikatakan sebagai paham yang menyatakan bahwa kenyataan alam ini tersusun dari banyak unsur, lebih dari satu atau dua entitas.

Tokoh aliran ini pada masa Yunani Kuno adalah Anaxagoras dan Empedocles, yang menyatakan bahwa substansi yang ada itu terbentuk dan terdiri dari empat unsur, yaitu tanah, air, api, dan udara. Tokoh modern aliran ini adalah William James (1842-1910 M), yang mengemukakan bahwa tiada kebenaran yang mutlak, yang berlaku umum, yang bersifat tetap, yang berdiri sendiri, dan lepas dari akal yang mengenal.

2.6 Aliran Nihilisme dalam Filsafat
Nihilisme berasal dari bahasa Latin yang berarti nothing atau tidak ada. Sebuah doktrin yang tidak mengakui validitas alternatif yang positif. Istilah nihilisme diperkenalkan oleh Ivan Turgeniev pada tahun 1862 di Rusia.

Doktrin tentang nihilisme sebenarnya sudah ada semenjak zaman Yunani Kuno, yaitu pada pandangan Gorgias (485-360 SM) yang memberikan tiga proposisi tentang realitas. Pertama, tidak ada sesuatupun yang eksis. Kedua, bila sesuatu itu ada, ia tidak dapat diketahui. Ketiga, sekalipun realitas itu dapat kita ketahui, ia tidak akan dapat kita beritahukan kepada orang lain. Tokoh lain aliran ini adalah Friedrich Nietzche (1844-1900 M). Dalam pandangannya dunia terbuka untuk kebebasan dan kreativitas manusia. Mata manusia tidak lagi diarahkan pada suatu dunia di belakang atau di atas dunia di mana ia hidup.

2.6.1 Aliran Agnostisisme dalam Filsafat
Paham ini mengingkari kesanggupan manusia untuk mengetahui hakikat benda. Baik hakikat materi maupun hakikat ruhani. Kata agnostisisme berasal dari bahasa Grik Agnostos, yang berarti unknown. A artinya not, gno artinya know. Timbulnya aliran ini dikarenakan belum dapatnya orang mengenal dan mampu menerangkan secara konkret akan adanya kenyataan yang berdiri sendiri dan dapat kita kenal.

Aliran ini dapat kita temui dalam filsafat eksistensi dengan tokoh-tokohnya seperti, Soren Kierkegaar (1813-1855 M) yang terkenal dengan julukan sebagai Bapak Filsafat Eksistensialisme, yang menyatakan bahwa manusia tidak pernah hidup sebagai suatu aku umum, tetapi sebagai aku individual yang sama sekali unik dan tidak dapat dijabarkan ke dalam sesuatu orang lain. Berbeda dengan pendapat Martin Heidegger (1889-1976 M), yang mengatakan bahwa satu-satunya yang ada itu ialah manusia, karena hanya manusialah yang dapat memahami dirinya sendiri. Tokoh lainnya adalah, Jean Paul Sartre (1905-1980 M), yang mengatakan bahwa manusia selalu menyangkal. Hakikat beradanya manusia bukan entre (ada), melainkan a entre (akan atau sedang). Jadi, agnostisisme adalah paham pengingkaran/penyangkalan terhadap kemampuan manusia mengetahui hakikat benda, baik materi maupun ruhani.

Bagaimanakah yang ada itu? (How is being?)

Apakah yang ada itu sebagai sesuatu yang tetap, abadi, atau berubah-ubah? Dalam hal ini, Zeno (490-430 SM) menyatakan bahwa sesuatu itu sebenarnya khayalan belaka. Pendapat ini dibantah oleh Bergson dan Russel. Seperti yang dikatakan oleh Whitehead bahwa alam ini dinamis, terus bergerak, dan merupakan struktur peristiwa yang mengalir terus secara kreatif.

Di manakah yang ada itu? (Where is being?)

Aliran ini berpendapat bahwa yang ada itu berada dalam alam ide, adi kodrati, universal, tetap abadi, dan abstrak. Sementara aliran materilisme berpendapat sebaliknya, bahwa yang ada itu bersifat fisik, kodrati, individual, berubah-ubah, dan riil.

2.7   Metafisika
Metafisika berasal dari kata “meta” berarti sesudah dan “fisika” berarti nyata/alam fisik. Dengan kata lain metafisika adalah cabang filsafat yang membicarakan hal-hal yang berada di belakang gejala-gejala yang nyata.

Ditinjau dari segi filsafat secara menyeluruh metafisika adalah ilmu yang memikirkan hakikat di balik alam nyata. Metafisika membicarakan hakikat dari segala sesuatu dari alam nyata tanpa dibatasi pada sesuatu yang dapat diserap oleh pancaindera.

Aristoteles menyinggung masalah metafisika dalam karyanya tentang “Filsafat Pertama” yang berisi hal-hal yang bersifat gaib. Menurutnya, ilmu metafisika termasuk cabang filsafat teoritis yang membahas masalah hakikat segala sesuatu, sehingga ilmu metafisika menjadi inti filsafat. Selanjutnya, Aristoteles menjelaskan bahwa masalah-masalah yang metafisik merupakan sesuatu yang fundamental bagi kehidupan. Oleh karena itu, setiap orang yang sadar berhadapan dengan sesuatu yang metafisik tetap tersangkut di dalamnya.

Tafsiran paling pertama yang diberikan manusia terhadap alam ini adalah bahwa terdapat wujud-wujud bersifat supernatural dan wujud ini lebih tinggi/lebih kuasa dibandingkan alam nyata.

Animisme (roh-roh yang bersifat gaib terdapat pada benda, seperti batu, pohon, dan air terjun) merupakan contoh kepercayaan yang berdasarkan pemikiran supernaturalisme. Animisme ini merupakan kepercayaan yang paling tua umurnya dalam sejarah perkembangan kebudayaan manusia dan masih dipeluk oleh beberapa masyarakat di muka bumi.

Sebagai lawan dari supernaturalisme maka terdapat paham Naturalisme yaitu paham yang menolak pendapat bahwa terdapat wujud-wujud yang bersifat supernatural. Materialisme merupakan paham yang berpendapat bahwa gejala-gejala alam tidak disebabkan oleh pengaroh kekuatan gaib, melainkan oleh kekuatan yang terdapat di alam itu sendiri, yang dpat di pelajari dan dengan demikian dpat di ketahui.

Hanya berdasarkan kebiasaan saja maka manis itu manis, panas itu panas, dingin itu dingin, warna itu warna. Dalam kenyataannya hanya terdapat atom dan kehampaan. Artinya, obyek dari pengindraan sering kita anggap nyata, padahal tidak demikian. Hanya atom dan kehampaan itulah yang bersifat nyata. Atau dengan perkataan lain : manis, panas, dingin atau warna adalah yang kita berikan kepada gejala yang kita tangkap lewat pancaindera. Rangsangan pancaindera ini di salurkan ke otak kita dan menghadirkan gejala tersebut.

Dengan demikian maka gejala alam dapat didekati dari segi proses kimia-fisika. Hal ini tidak terlalu menimbulkan permasalahan selama di terapkan kepada zat-zat yang mati seperti batu atau karat besi.

Lain lagi dengan pendapat yang disampaikan kaum mekanistik melihat gejala alam termasuk makhluk hidup hanya merupakan gejala fisika semata. Sedangkan menurut kaum vitalik, hidup adalah sesuatu yang unik yang berbeda secara substantif dengan proses tersebut di atas.

Dalam memahami metafisika umum (ontologi) ada beberapa aliran/pandangan pokok pikiran yaitu:
1)      Aliran Monoisme
Paham monoisme menganggap bahwa hakikat yang asal dari seluroh kenyataan itu hanyalah satu saja, tidak mungkin dua. Haruslah satu hakikat saja sebagai sumber asal, baik yang asal berupa materi maupun berupa rohani. Tidak mungkin ada hakikat masing-masing bebas dan berdiri sendiri. Paham monoisme kemudian dibagi menjadi 2 aliran yaitu aliran materialisme dan aliran idealisme.

Aliran materialisme menganggap bahwa sumber yang asal itu adalah materi, bukan rohani. Aliran ini sering juga disebut sebagai naturalisme, menurutnya zat mati merupakan kenyataan dan satu-satunya cara tertentu. Sedangkan aliran idealisme disebut juga spiritualisme berarti serba roh/“idea” yang berarti sesuatu yang hadir dalam jiwa. Aliran ini beranggapan bahwa hakikat kenyataan yang beranekaragam ini semua berasal dari roh, yaitu sesuatu yang tidak berbentuk dan menempati ruang. Materi/zat itu hanyalah suatu jenis dari penjelmaan rohani.

2)      Aliran Dualisme
Aliran ini mencoba memadukan antara dua paham yang saling bertentangan, yaitu materialisme dan idealisme. Menurut aliran dualisme materi maupun roh sama-sama merupakan hakikat. Materi muncul bukan karena adanya roh, begitupun roh muncul buka karena materi.

Aliran dualisme memandang bahwa alam terdiri dari 2 macam hakikat sebagai sumbernya. Aliran dualisme merupakan paham yang serba dua, yaitu antara materi (hule) dan bentuk (eidos). Pengertian materi dalam aliran ini berbeda dengan pengertian materi yan dipahami saat ini. Menurut Aristoteles, materi adalah dasar terakhir segala perubahan dari hal-hal yang berdiri sendiri dan unsur bersama yang terdapat di dalam segala sesuatu yang menjadi dan binasa. Materi dalam arti mutlak adalah asas atau lapisan bawah yang paling akhir dan umum. Tiap benda yang dapat diamati disusun dari materi. Oleh karena itu materi mutlak diperlukan bagi pembentukan segala sesuatu. Di lain pihak, dapat dijelaskan bahwa materi adalah kenyataan yang belum terwujud, yang belum ditentukan, tetapi yang memiliki potensi, bakat untuk menjadi terwujud/menjadi ditentukan oleh bentuk. Padanya ada kemungkinan untuk menjadi nyata, karena kekuatan yang membentuknya.
Sedangkan bentuk (eidos) adalah pola segala sesuatu yang tempatnya di luar dunia ini, yang berdiri sendiri, lepas dari benda yang konkret, yang adalah penerapannya. Bagi Aristoteles, eidos adalah asa yang berada di dalam benda yang konkret, yang secara sempurna menentukan jenis benda itu, yang menjadikan benda yang konkret itu demikian (misalnya disebut meja,kursi, dll). Jadi, segala pengertian yang ada pada manusia bukanlah sesuai dengan realitas ide, melainkan sesuai dengan jenis benda yang tampak pada benda konkret.

Demikianlah, materi dan bentuk tidak dapat dipisahkan. Materi tidak dapat terwujud tanpa bentuk, sebaliknya bentuk tidak dapat berada tanpa materi. Tiap  benda yang diamati disusun dari bentuk dan materi.

3)      Aliran Pluralisme
Aliran ini beranggapan bahwa segenap macam bentuk merupakan kenyataan. Pluralisme bertolak dari keseluruhan dan mengakui bahwa segenap macam bentuk itu semuanya nyata. Pluralisme sebagai paham yang menyatakan bahwa kenyataan alam ini tersusun dari banyak unsur, lebih dari satu atau dua identitas.

Dalam metafisika membicarakan tentang “ada umum” segala sesuatunya itu ada dalam realitas, sehingga terdapat bermacam-macam hal, tetapi yang bermacam-macam itu semuanya ditangkap dalam adanya, dan dengan demikian pula terdapat “ada yang bermacam-macam” dan “ada yang umum’. Mungkinkah dalam ada itu terdapat suatu dasar yang menjadi dasar dari segala “yang ada”. Karena “yang ada” itu luas, maka The Liang Gie dalam bernadien (2011: 55) ‘yang ada” itu dapat digolongkan menjadi dua hal yaitu,
a)      Ada secara ontologis, yaitu membicarakan teori mengenai sifat dasar dan ragam kenyataan, misalnya; usaha para filsuf dalam mengungkapkan makna eksistensi dengan pertanyaan-pertanyaan: apakah hakikat ada itu? Apakah klasifikasi dari yang ada? Apakah sifat dasar kenyataan dan ada terakhir? Apakah objek fisis, pengertian universal, abstraksi, bilangan dapat dikatakan ada? Dan pertanyaan lain sebagainya.
b)      Ada secara kosmologis, yaitu membicarakan tentang teori umum mengenai proses kenyataan. Kosmologi menyelidiki jenis tata tertib yang paling fundamental dalam kenyataan, yaitu apakah untuk segala sesuatu yang menjadi ada, selalu ada sesuatu sebab yang menentukannya menjadi seperti apa adanya dan bukan sebaliknya (tata-tertib sebab) atau apakah hanya ada kebetulan yang murni ataukah tata-tertib teleologis yang mengandung penyesuaian sarana-sarana kepada tujuan-tujuan.

2.7.1 Metafisika dan Pendidikan
Metafisika merupakan bagian dari filsafat spekulatif. Yang menjadi pusat persoalannya adalah hakikat realitas akhir. Metafisika mencoba mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan berikut,
1)      Apakah alam semesta memiliki bentuk rasional? Apakah alam semesta memiliki makna?
2)      Apakan yang dinamakan jiwa itu merupakan kenyataan dalam dirinya atau hanyalah suatu bentuk materi dalam gerak?
3)      Apakah semua perilaku organisme, termasuk manusia telah ditentukan, atau memiliki kebebasan?
4)      Siapakah manusia? Dari mana asalnya? Apa yang diharapkan dalam hidup ini? Apa yang akan dituju manusia?
5)      Apakah alam semesta ini terjadi dengan sendirinya atau ada yang menciptakan?

Mempelajari metafisika bagi filsafat pendidikan diperlukan untuk mengontrol secara implisit tujuan pendidikan, untuk mengetahui dunia anak, apakah ia merupakan makhluk rohani atau jasmani saja atau keduanya. Seorang filosof pendidikan, tidak hanya tahu tentang hakikat dunia di mana ia tinggal, melainkan juga ia harus tahu hakikat manusia, khususnya hakikat anak.

2.8 Asumsi
Asumsi adalah suatu pernyataan yang tidak terlihat kebenarannya, atau kemungkinan benarnya tidak tinggi. Asumsi diperlukan untuk menyuratkan segala hal yang tersirat. Mc Mullin (2002) menyatakan hal yang mendasar yang harus ada dalam ontologi suatu ilmu pengetahuan adalah menentukan asumsi pokok (the standard presumption) keberadaan suatu obyek  sebelum hendak melakukan penelitian. Dalam mengembangkan asumsi harus diperhatikan dua hal :
1)      Asumsi harus relevan dengan bidang dan tujuan pengkajian displin keilmuan. Asumsi yang seperti ini harus oprasional, dan merupakan dasar dari pengkajian teoritis.
2)      Asumsi harus disimpulkan dari “keadaan sebagaimana adanya „bukan‟ bagaimana keadaan yang seharusnya.”

Asumsi yang pertama adalah asumsi yang mendasari telaah ilmiah, sedangkan asumsi kedua adalah asumsi yangmendasari telaah moral. Seorang ilmuwan harus benar-benar mengenal asumsi yang dipergunakan dalamanalisis keilmuannya, sebab mempergunakan asumsi yang berbeda akan berbeda pula konsep pemikiran yangdigunakan. Sering kita jumpai bahwa asumsi yang melandasi suatu kajian keilmuan tidak bersifat tersurat melainkan tersirat. Asumsi yang tersirat ini kadang-kadang menyesatkan, sebab selalu terdapat kemungkinan bahwa kita berbedapenafsiran tentang sesuatu yang tidak dinyatakan, oleh karena itu maka untuk pengkajian ilmiah yang lugas lebih baik dipergunakan asumsi yang tegas. Sesuatu yang belum tersurat dianggap belum diketahui atau belum mendapat kesamaan pendapat. Pernyataan semacam ini jelas tidak akan ada ruginya, sebab sekiranya kemudian ternyata asumsinya adalah cocok maka kita tinggal memberikan informasi, sedangkan jika ternyata mempunyaiasumsi yang berbeda maka dapat diusahakan pemecahannya.

Terdapat beberapa jenis asumsi yang dikenal, yakni Axioma, Postulat dan Premise. Axioma adalah pernyataanyang disetujui umum tanpa memerlukan pembuktian karena kebenarannya sudah membuktikan sendiri. Postulatadalah pernyataan yang dimintakan persetujuan umum tanpa pembuktian, atau suatu fakta yang hendaknyaditerima saja sebagaimana adanya. Sedangkan Premise adalah pangkal pendapat pada suatu sentimen. Selain Asumsi, istilah lainnya yang biasa dipakai dalam komunikasi ilmu pengetahuan adalah Presumsi. Presumsi adalah suatu pernyataan yang disokong oleh bukti atau percobaan-percobaan, meskipun tidak konklusif dianggap sebagai benar atau walaupun kemungkinannya tinggi bahwa pernyataan itu benar.

2.9 Peluang
Dalam menentukan suatu asumsi dalam perspektif filsafat, permasalahan utamanya adalah mempertanyakan pada pada diri sendiri (peneliti) apakah sebenarnya yang ingin dipelajari dari ilmu. Terdapat kecenderungan, sekiranya menyangkut hukum kejadian yang berlaku bagi seluruh manusia, maka harus bertitik tolak pada paham deterministik. Sekiranya yang dipilih adalah hukum kejadian yang bersifat khas bagi tiap individu manusia maka akan digunakan asumsi pilihan bebas. Di antara kutub deterministik dan pilihan bebas, penafsiran probabilistik merupakan jalan tengahnya.

Ilmu memberikan pengetahuan sebagai dasar pengambilan keputusan di mana didasarkan pada penafsiran kesimpulan ilmiah yang bersifat relatif. Dasar teori keilmuan di dunia ini tidak akan pernah terdapat hal yang pasti mengenai satu kejadian, hanya kesimpulan yang probabilistik.

Salah satu referensi dalam mencari kebenaran, manusia berpaling kepada ilmu. Hal ini dikarenakan ciri-ciri dari ilmu tersebut yang dalam proses pembentukannya sangat ketat dengan alatnya berupa metode ilmiah. Hanya saja terkadang kepercayaan manusia akan sesuatu itu terlalu tinggi sehingga seolah-olah apa yang telah dinyatakan oleh ilmu akan bersih dari kekeliruan atau kesalahan. Satu hal yang perlu disadari bahwa “…ilmu tidak pernah ingin dan tidak pernah berpretensi untuk mendapatkan pengetahuan yang bersifat mutlak” (Suriasumantri, 1990). Oleh karena itu manusia yang mempercayai ilmu tidak akan sepenuhnya menumpukan kepercayaannya terhadap apa yang dinyatakan oleh ilmu tersebut. Seseorang yang mengenal dengan baik hakikat ilmu akan lebih mempercayai pernyataan “ 80% anda akan sembuh jika meminum obat ini” daripada pernyataan “yakinlah bahwa anda pasti sembuh setelah meminum obat ini”.
Hal ini menyadarkan kita bahwa suatu ilmu menawarkan kepada kita suatu jawaban yang berupa peluang. Yang didalamnya selain terdapat kemungkin bernilai benar juga mengandung kemungkinan yang bernilai salah. Nilai kebenarannya pun tergantung dari prosentase kebenaran yang dikandung ilmu tersebut. Sehingga ini akan menuntun kita kepada seberapa besar kepercayaan kita akan kita tumpukan pada jawaban yang diberikan oleh ilmu tersebut. 

Sebagaimana telah disampaikan terdahulu, bahwa Determinisme dalam pengertian ilmu mempunyai konotasi yang bersifat peluang (probabilistik). Statistika merupakan metode yang menyatakan hubungan probabilistik antara gejala-gejala dalam penelaahan keilmuan. Sesuai dengan peranannya dalam kegiatan ilmu, maka dasar statistika adalah teori peluang. Statistika mempunyai peranan yang menentukan dalam persyaratan-persyaratan keilmuan sesuai dengan asumsi ilmu tentang alam. Tanpa statistika hakikat ilmu akan sangat berlainan. Dasar teori keilmuan di dunia ini tidak akan pernah terdapat hal yang pasti mengenai satu kejadian, hanya kesimpulan yang probabilistik.

Ilmu memberikan pengetahuan sebagai dasar pengambilan keputusan di mana didasarkan pada penafsiran kesimpulan ilmiah yang bersifat relatif.
Probabilitas merupakan salah satu konsep yang sering kita gunakan untuk mendeskripsikan realitas di dalam kehidupan sehari-hari. Bahkan, aplikasinya tidaklah terbatas hanya pada percakapan keseharian tersebut, namun juga mencakup wilayah konversasi yang lebih serius dan refleksif, yaitu sains. Dengan kata lain, probabilitas acapkali digunakan sebagai perangkat eksplanasi ilmiah. Hal ini seolah-olah dijustifikasi oleh Carl Hempel, salah satu filsuf sains utama pada abad 20, ketika dalam karya monumentalnya, Philosophy of Natural Science, mengakui adanya dua jenis wujud hukum yang berperan di dalam eksplanasi ilmiah, yaitu hukum yang universal (laws of universal form) dan hukum yang probabilistik (laws of probabilistic form).



2.10 Beberapa Asumsi Dalam Ilmu
Setiap ilmu selalu memerlukan asumsi. Asumsi diperlukan untuk mengatasi penelaahan suatu permasalahan menjadi lebar. Semakin terfokus obyek telaah suatu bidang kajian, semakin memerlukan asumsi yang lebih banyak.

Asumsi dapat dikatakan merupakan latar belakang intelektual suatu jalur pemikiran. Asumsi dapat diartikan pula sebagai gagasan primitif, atau gagasan tanpa penumpu yang diperlukan untuk menumpu gagasan lain yang akan muncul kemudian. Asumsi diperlukan untuk menyuratkan segala hal yang tersirat.

Kita perlu membuat kotak-kotak dan batsan dalam bentuk asumsi yang kian sempit. Dalam mengembangkan asumsi, harus diperhatikan beberapa hal. Yang pertama, asumsi harus relevan dengan kajian bidang ilmu pengetahuan, asumsi harus operasional dan merupakan dasar pengkajian teoritis. Asumsi bahwa manusia adalah administrasi adalah filfafati tetapi tidak berarti apa-apa dalam penyusunan teori administrasi. Asumsi manusia dalam asdministratif yang bersifat operasional adalah makhluk ekonomis, makhluk social, makhluk aktualisasi diri. Berdasarkan asumsi ini maka dapat dikembangkan berbagai model, strategi dan praktek administrasi. Asumsi bahwa manusia adalah makhluk administrasi, dalam pengkajian administrasi, akan menyebabkan kita berhenti di situ. Seperti sebuah lingkaran, setelah berputar kita kembali ke tempat semula. Kedua, asumsi ini harus disimpulkan dari “kedaan sebagaimana adanya “bukan” keadaan sebagaiamana seharusnya.” Asumsi pertama adalah asumsi yang mendasari telaah imiah. Sedangkan asumsi kedua adlah asumsi yang mendasari telaah moral. Sekiranya dalam kegiatan ekonomis maka manusia yang berperan adalah manusia yang mencari keuntungan sebesar-besarnya dengan korbanan sekecil-kecilnya. Maka itu sajaalah yang kita jadikan sebagai pegangan tak perlu ditambah dengan sebaiknya begini atrau seharusnya begitu. Sekiranya asumsi seerti ini digunakan dalam pengambilan kebijakan atau strategi serta penjabaran peraturan lainnya.
Sebuah contoh asumsi yang baik adalah pada Pembukaan UUD 1945: “ kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu maka penjajahan diatas bumi karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan”. Tanpa asumsi-asumsi ini, semua pasal UUD 1945 menjadi tidak bermakna.

Apakah suatu hipotesis merupakan asumsi? Ya, jika diperiksa ke belakang (backward) maka hipotesis merupakan asumsi. Jika diperiksa ke depan (forward) maka hipotesis merupakan kesimpulan. Untuk memahami hal ini dapat dibuat suatu pernyataan: “Bawalah payung agar pakaianmu tidak basah waktu sampai ke sekolah”. Asumsi yang digunakan adalah hujan akan jatuh di tengah perjalanan ke sekolah. Implikasinya, memakai payung akan menghindarkan pakaian dari kebasahan karena hujan.

Dengan demikian, asumsi menjadi masalah yang penting dalam setiap bidang ilmu pengetahuan. Kesalahan menggunakan asumsi akan berakibat kesalahan dalam pengambilan kesimpulan. Asumsi yang benar akan menjembatani tujuan penelitian sampai penarikan kesimpulan dari hasil pengujian hipotesis. Bahkan asumsi berguna sebagai jembatan untuk melompati suatu bagian jalur penalaran yang sedikit atau bahkan hampa fakta atau data.

Terdapat beberapa jenis asumsi yang dikenal, antara lain;
Aksioma yaitu pernyataan yang disetujui umum tanpa memerlukan pembuktian karena kebenaran sudah membuktikan sendiri. Postulat adalah pernyataan yang dimintakan persetujuan umum tanpa pembuktian, atau suatu fakta yang hendaknya diterima saja sebagaimana adanya.

Dalam menentukan suatu asumsi dalam perspektif filsafat, permasalahan utamanya adalah
 mempertanyakan pada pada diri sendiri (peneliti) apakah sebenarnya yang ingin dipelajari dari ilmu. Terdapat kecenderungan, sekiranya menyangkut hukum kejadian yang berlaku bagi seluruh manusia, maka harus bertitik tolak pada paham deterministik. Sekiranya yang dipilih adalah hukum kejadian yang bersifat khas bagi tiap individu manusia maka akan digunakan asumsi pilihan bebas. Di antara kutub deterministik dan pilihan bebas, penafsiran probabilistik merupakan jalan tengahnya.

Seberapa banyak asumsi diperlukan dalam suatu analisis keilmuan? Semakin banyak asumsi berarti semakin sempit ruang gerak penelaahan suatu obyek observasi. Dengan demikian, untuk mendapatkan pengetahuan yang bersifat analistis, yang mampu menjelaskan berbagai kaitan dalam gejala yang ada, maka pembatasan dalam bentuk asumsi yang kian sempit menjadi diperlukan.

Bagaimana cara mengembangkan asumsi ini? Asumsi harus relevan dengan bidang dan tujuan pengkajian disiplin ilmu. Asumsi ini harus operasional dan merupakan dasar dari pengkajianteoritis

Asumsi ini harus disimpulkan dari “keadaan sebagaimana adanya” bukan “bagaimana keadaan yang seharusnya”. Jadi asumsi harus bersifat das sein bukan das sollen. Asumsi harus bercirikan positif, bukan normatif.
Lebih lanjut mengenai asumsi dan ontologi, ontologi adalah esensi dari fenomena, apakah fenomena merupakan hal yang bersifat objektif dan terlepas dari persepsi individu atau fenomena itu dipandang sebagai hasil dari persepsi individu. Mengenai hal ini, ada dua asumsi yang berbeda:
1.      Nominalime: kehidupan sosial dalam persepsi individu tak lain adalah kumpulan konsep–konsep baku, nama dan label yang akan mengkarakteristikkan realitas yang ada. Intinya, realita dijelaskan melalui konsep yang telah ada.
2.       Realisme: kehidupan sosial adalah merupakan kenyataan yang tersusun atas struktur yang tetap, tidak ada konsep yang mengartikulasikan setiap realita tersebut dan realita tidak tergantung pada persepsi individu.

2.11 Batas-Batas Penjelajahan Ilmu
Pada saat ilmu mulai berkembang pada tahap ontologis, manusia mulai mengambil jarak dari obyek sekitar. Manusia mulai memberikan batas-batas yang jelas kepada obyek tertentu yang terpisah dengan eksistensi manusia sebagai subyek yang mengamati dan yang menelaah obyek tersebut. Dalam menghadapi masalah tertentu, dalam tahap ontologis manusia mulai menentukan batas-batas eksistensi masalah tersebut, yang memungkinkan manusia mengenal wujud masalah itu, untuk kemudian menelaah dan mencari pemecahan jawabannya.

Dalam usaha untuk memecahkan masalah tersebut, ilmu mencari penjelasan mengenai permasalahan yang dihadapinya agar dapat mengerti hakikat permasalahan yang dihadapi itu. Dalam hal ini ilmu menyadari bahwa masalah yang dihadapi adalah masalah yang bersifat konkret yang terdapat dalam dunia nyata. Secara ontologis, ilmu membatasi masalah yang dikajinya hanya pada masalah yang terdapat pada ruang jangkauan pengalaman manusia.

Ilmu memulai penjelajahannya pada pengalaman manusia dan berhenti di batas pengalaman manusia. Pembatasan ini disebabkan karena fungsi ilmu itu sendiri dalam kehidupan manusia yakni sebagai alat pembantu manusia dalam menanggulangi masalah-masalah yang dihadapinya sehari-hari. Persoalan mengenai hari kemudian tidak akan kita tanyakan kepada ilmu, melainkan kepada agama.
Ruang penjelajahan keilmuan kemudian menjadi cabang-cabang ilmu. Pada dasarnya cabang-cabang ilmu tersebut berkembang dari dua cabang utama yakni filsafat alam yang kemudian berkembang menjadi rumpun ilmu-ilmu alam dan filsafat moral yang kemudian berkembang ke dalam cabang ilmu-ilmu sosial. Ilmu-ilmu alam dibagi lagi menjadi ilmu alam dan ilmu hayat. Ilmu-ilmu sosial berkembang menjadi antropologi, psikologi, ekonomi,sosiologi dan ilmu politik.

Di samping ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial, pengetahuan mencakup juga humaniora dan matematika. Humaniora terdiri dari seni, filsafat, agama, bahasa dan sejarah.

Ilmu memulai penjelajahannya pada pengalaman manusia dan berhenti di batas pengalaman manusia. Fungsi ilmu yakni sebagai alat pembantu manusia dalam menanggulangi masalah-masalah yang dihadapinya sehari-hari. Ilmu diharapkan membantu kita memerangi penyakit, membangun jembatan, irigasi, membangkitkan tenaga listrik, mendidik anak, memeratakan pendapatan nasional dan sebagainya. Persoalan mengenai hari kemudian tidak akan kita tanyakan kepada ilmu, melainkan kepada agama, sebab agamalah pengetahuan yang mengkaji masalah-masalah seperti itu.











BAB III
PENUTUP

3.1 Simpulan
Ontologi merupakan suatu teori tentang makna dari suatu objek, property dari suatu objek, serta relasi objek tersebut yang mungkin terjadi pada suatu domain pengetahuan. Ringkasnya, pada tinjauan filsafat, ontologi adalah studi tentang sesuatu yang ada.

Pembahasan ontologi terkait dengan pembahasan mengenai metafisika. Mengapa ontologi terkait dengan metafisika? Ontologi membahas hakikat yang “ada”, metafisika menjawab pertanyaan apakah hakikat kenyataan ini sebenar-benarnya? Pada suatu pembahasan, metafisika merupakan bagian dari ontologi, tetapi pada pembahasan lain, ontologi merupakan salah satu dimensi saja dari metafisika. Karena itu, metafisika dan ontologi merupakan dua hal yang saling terkait. Bidang metafisika merupakan tempat berpijak dari setiap pemikiran filsafati, termasuk pemikiran ilmiah. Metafisika berusaha menggagas jawaban tentang apakah alam ini.

Asumsi diperlukan untuk mengatasi penelaahan suatu permasalahan menjadi lebar. Semakin terfokus obyek telaah suatu bidang kajian, semakin memerlukan asumsi yang lebih banyak. Asumsi dapat dikatakan merupakan latar belakang intelektal suatu jalur pemikiran. Asumsi dapat diartikan pula sebagai merupakan gagasan primitif, atau gagasan tanpa penumpu yang diperlukan untuk menumpu gagasan lain yang akan muncul kemudian. Asumsi diperlukan untuk menyuratkan segala hal yang tersirat. Mc Mullin (2002) menyatakan hal yang mendasar yang harus ada dalam ontologi suatu ilmu pengetahuan adalah menentukan asumsi pokok (the standard presumption) keberadaan suatu obyek sebelum melakukan penelitian.

Dasar teori keilmuan di dunia ini tidak akan pernah terdapat hal yang pasti mengenai satu kejadian, hanya kesimpulan yang probabilistik. Ilmu memberikan pengetahuan sebagai dasar pengambilan keputusan di mana didasarkan pada penafsiran kesimpulan ilmiah yang bersifat relatif.

3.2 Saran
Belajar hendaknya menjadi salah satu karakter yang selalu melekat di dalam perilaku suatu bangsa. Dari hal itulah setiap bangsa berusaha mengunggulakan pendidikan sebagai sebuah fondasi dari pendirian sebuah bangsa. Proses pendidikan tidak terlepas dari konsep ontology, epistemologi, dan akasiologi didalam pengkajiaanya dimana pelaksannanya harus mencerminkan aktualisasi dari cita - cita suatu bangsa.

Ontologi dari sebuah pendidikan adalah mengubah baik perilaku, kognitif, dan psikomotor sebagai sebuah perubahan yang riil dimana penerapannya kepada peserta didik harus dilandasi dengan humanisme yang akan merubah dari ketiga aspek tersebut dari background atau intake yang buruk atau kurang baik menjadi lebih baik. Hakekat dari sebuah pendidikan haruslah secara proper berniat dan berperilaku sebagai penerang suatu bangsa dari kegelapan berpikir. Pemerintah sebagai pemangku kebijakan harus memiliki peran dan tindakan serius di dalam memecahkan persoalan pendidikan.




DAFTAR PUSTAKA

Suriasumantri, Jujun S, 2007. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Popular. Jakarta : Pustaka Sinar Harapan
Santoso, 1979. Agama, Ilmu Penetahuan, dan Masyarakat.. Jakarta: Pustaka.
Jujun. S, 1996. Filsafat Ilmu. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.


No comments:

Post a Comment

PENGARUH KOMPETENSI GURU TERHADAP HASIL BELAJAR PADA PELAJARAN IPA SISWA KELAS IV SD

    PENGARUH KOMPETENSI GURU TERHADAP HASIL BELAJAR PADA PELAJARAN IPA SISWA KELAS IV SD      BAB I PENDAHULUAN   A.  ...