FILSAFAT ILMU
Ontologi Hakikat yang Dikaji
Dosen Pengampu : Prof. Idham Khoir
Oleh :
1.
Effiesa Mayasari
2.
Hayu Khoiriyah
MAGISTER PENDIDIKAN
SEKOLAH TINGGI KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
PERSATUAN GURU REPUBLIK INDONESIA
(STKIP-PGRI) BANDAR LAMPUNG
|
KATA PENGANTAR
Puji
syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayahnya,
sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini. Selawat dan salam kami doa’kan,
semoga selalu tercurah pada nabi besar kita,nabi Muhammad SAW.
Terima
kasih kepada dosen pembimmbing yang telah memberikan kami kepercayaan untuk
menyelesaikan makalh tentang “ Filsafat Ilmu”. Semoga malah ini dapat memenuhi
tugas yang diberikan kapada kami. Terima kasih atas kerja
sama dari teman-teman semua.
Sebagai
manusia yang masih banyak kekrangan terutama ilmu pengetahuan dan
pengalaman,kami mengharapakan kritik dan saran dari pembaca yang bersifat
membangun, agar kedepannya kami dapat membuat makalah yang baik lagi.
Demikianlah makalah ini kami buat semoga dapat bermanfaat untuk semua.
Terima
Kasih
Bandar lampung, 21
Oktober 2016
Kelompok III
ii
|
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL................................................................................. i
KATA PENGANTAR.............................................................................. ii
DAFTAR ISI.............................................................................................. iii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Makalah........................................................................ 1
1.2 Rumusan Masalah.................................................................................. 3
1.3 Tujuan Penelitian.................................................................................... 3
1.4 Manfaat Penulisan.................................................................................. 3
BAB II PEMBAHASAN
2.1
Pengertian Ontologi dalam Filsafat Ilmu............................................... 4
2.2 Sudut
Pandang dan Aliran-aliran Ontologi dalam Filsafat Ilmu........... 7
2.2.1 Sudut Pandang Ontologi.................................................................... 7
2.3 Aliran-aliran Ontologi............................................................................ 8
2.3.1 Aliran
Monoisme dalam Filsafat......................................................... 8
2.3.2 Materialisme
dalam Filsafat................................................................ 8
2.4. Idealisme
dalam Filsafat....................................................................... 9
2.4.1 Aliran
Dualisme dalam Filsafat........................................................... 9
2.5 Aliran
Pluralisme dalam Filsafat............................................................ 10
2.6 Aliran
Nihilisme dalam Filsafat............................................................. 10
2.6.1 Aliran Agnostisisme dalam Filsafat.................................................... 11
2.7 Metafisika............................................................................................ 12
2.7.1 Metafisika dan Pendidikan................................................................. 16
2.8 Asumsi................................................................................................... 16
2.9 Peluang................................................................................................... 18
2.10 Beberapa Asumsi Dalam Ilmu............................................................. 20
iii
|
BAB III PENUTUP
3.1
Simpulan................................................................................................ 25
3.2
Saran...................................................................................................... 26
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Makalah
Ontologi
merupakan salah satu kajian kefilsafatan yang paling kuno dan berasal dari
Yunani. Studi tersebut mebahas keberadaan sesuatu yang bersifat konkret. Tokoh
Yunani yang memiliki pandangan yang bersifat ontologis dikenal seperti Thales,
Plato, dan Aristoteles . Pada masanya, kebanyakan orang belum membedaan antara
penampakan dengan kenyataan. Thales terkenal sebagai filsuf yang pernah sampai
pada kesimpulan bahwa air merupakan substansi terdalam yang merupakan asal mula
segala sesuatu. Thales berpenderian bahwa segala sesuatu tidak berdiri dengan
sendirinya melainkan adanya saling keterkaitan dan keetergantungan satu dengan
lainnya
Ontologi
secara ringkas membahas realitas atau suatu entitas dengan apa adanya.
Pembahasan mengenai ontologi berarti membahas kebenaran suatu fakta. Untuk
mendapatkan kebenaran itu, ontologi memerlukan proses bagaimana realitas
tersebut dapat diakui kebenarannya. Untuk itu proses tersebut memerlukan dasar
pola berfikir, dan pola berfikir didasarkan pada bagaimana ilmu pengetahuan
digunakan sebagai dasar pembahasan realitas.
Menurut
Hornby (1974), filsafat adalah suatu sistem pemikiran yang terbentuk dari
pencarian pengetahuan tentang watak dan makna kemaujudan atau eksistensi.
Filsafat dapat juga diartikan sebagai sistem keyakinan umum yang terbentuk dari
kajian dan pengetahuan tentang asas-asas yang menimbulkan, mengendalikan atau
menjelaskan fakta dan kejadian. Secara ringkas, dengan demikian, filsafat
diartikan sebagai pengetahuan tentang suatu makna. Hornby menyatakan pula bahwa
pengetahuan ialah keseluruhan hal yang diketahui, yang membentuk persepsi jelas
mengenai kebenaran atau fakta. Sedangkan ilmu adalah pengetahuan yang diatur
dan diklasifikasikan secara tertib, membentuk suatu sistem pengetahuan,
berdasar rujukan kepada kebenaran atau hukum-hukum umum.
Ilmu
merupakan kegiatan untuk mencari pengetahuan dengan jalan melakukan pengamatan
atau pun penelitian, kemudian peneliti atau pengamat tersebut berusaha membuat
penjelasan mengenai hasil pengamatan/penelitiannya. Dengan demikian, ilmu
merupakan suatu kegiatan yang sifatnya operasional. Jadi terdapat runtut yang
jelas dari mana suatu ilmu pengetahuan berasal.
Karena
sifat yang operasional tersebut, ilmu pengetahuan tidak menempatkan diri dengan
mengambil bagian dalam pengkajian hal-hal normatif. Ilmu pengetahuan hanya
membahas segala sisi yang sifatnya positif semata. Hal-hal yang bekaitan dengan
kaedah, norma atau aspek normatif lainnya tidak dapat menjadi bagian dari
lingkup ilmu pengetahuan.
Bagaimana
ilmu pengetahuan diperoleh? Ilmu pengetahuan dihasilkan dari perilaku berfikir
manusia yang tersusun secara akumulatif dari hasil pengamatan atau penelitian.
Berfikir merupakan kegiatan penalaran untuk mengeksplorasi suatu pengetahuan
atau pengalaman dengan maksud tertentu. Makin luas dan dalam suatu pengalaman
atau pengetahuan yang dapat dieksplorasi, maka makin jauh proses berfikir yang
dapat dilakukan. Hasil eksplorasi pengetahuan digunakan untuk mengabstraksi
obyek menjadi sejumlah informasi dan mengolah informasi untuk maksud tertentu.
Berfikir merupakan sumber munculnya segala pengetahuan. Pengetahuan memberikan
umpan balik kepada berfikir. Hubungan interaksi antara berfikir dan pengetahuan
berlangsung secara sinambung dan berangsur meninggi, dan kemajuan pengetahuan
akan berlangsung secara kumulatif. Bagian terpenting dari berfikir adalah
kecerdasan mengupas (critical intelegence).
Suatu
pengetahuan dihasilkan dari proses berfikir yang benar, dalam arti sesuai
dengan tujuan mencari ilmu pengetahuan, maka seorang pengamat atau peneliti
harus menggunakan penalaran yang benar dalam berfikir. Hasil penalaran itu akan
menghasilkan kesimpulan yang dianggap sahih dari sisi keilmuan. Nalar merupakan
kemampuan untuk memahami informasi dan menarik kesimpulan dari informasi yang
ada. Secara umum penalaran dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu deduksi dan
induksi.
1.2 Rumusan Masalah
Dari
latar belakang diatas maka didapatkan permasalahan :
1)
Bagaimana Ontologi itu sendiri ?
2)
Bagaimana Metafisika itu ?
3)
Apa yang dimaksud dengan
Asumsi ?
4)
Apa yang dimaksud dengan
Peluang ?
5)Apa yang dimaksud dengan Beberapa Asumsi
dalam ilmu?
6)Apa yang dimaksud dengan batas-batas
Penjelajahan ilmu?
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan beberapa hal yang yang telah
dikemukakan dalam rumusan masalah,dapat dikemukakan tujuan penelitian makalah
ini sebagai berikut:
1)
Mengetahui
dan mendeskripsikan pengertian dari Ontologi
2)
Mengetahui
dan mendeskripsikan cabang-cabang dari Ontologi
3)
Mengetahui
tentang kajian hakikat apa yang dikaji
1.4 Manfaat Penulisan
1)
Memberikan
pemahaman kepada pembaca tentang hakikat filsafat ilmu.
2)
Memberikan
informasi kepada pembaca tentang berbagai cabang dari filsafat ilmu.
3)
Memberikan wawasan kepada pembaca tentang
berbagai kajian filsafat ilmu.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Ontologi dalam Filsafat Ilmu
Ontologi
adalah bidang pokok filsafat yang mempersoalkan hakikat keberadaan segala
sesuatu yang ada, menurut tata hubungan sistematis berdasarkan hukum
sebab-akibat. Yaitu, ada manusia, ada alam, dan ada causa prima dalam suatu
hubungan menyeluruh, teratur dan tertib dalam keharmonisan. Jadi, dari aspek
ontologi, segala sesuatu yang ada ini berada dalam tatanan hubungan estetis
yang diliputi dengan warna nilai keindahan.
Ontologi merupakan salah satu kajian kefilsafatan yang paling kuno dan berasal dari Yunani. Studi tersebut membahas keberadaan sesuatu yang bersifat konkret. Tokoh Yunani yang memiliki pandangan yang bersifat ontologis dikenal seperti Thales, Plato, dan Aristoteles. Pada masanya, kebanyakan orang belum membedaan antara penampakan dengan kenyataan. Thales terkenal sebagai filsuf yang pernah sampai pada kesimpulan bahwa air merupakan substansi terdalam yang merupakan asal mula segala sesuatu.
Thales merupakan orang pertama yang berpendirian sangat berbeda di tengah-tengah pandangan umum yang berlaku saat itu. Di sinilah letak pentingnya tokoh tersebut. Kecuali dirinya, semua orang waktu itu memandang segala sesuatu sebagaimana keadaannya yang wajar. Apabila mereka menjumpai kayu, besi, air, daging, dan sebagainya, hal-hal tersebut dipandang sebagai substansi-substansi (yang terdiri sendiri-sendiri). Dengan kata lain, bagi kebanyakan orang tidaklah ada pemilihan antara kenampakan (appearance) dengan kenyataan (reality). Namun yang lebih penting ialah pendiriannya bahwa mungkin sekali segala sesuatu itu berasal dari satu substansi belaka (sehingga sesuatu itu tidak bisa dianggap ada berdiri sendiri).
Ontologi
terdiri dari dua suku kata, yakni ontos dan logos. Ontos berarti sesuatu yang
berwujud (being) dan logos berarti ilmu. Jadi ontologi adalah bidang pokok
filsafat yang mempersoalkan hakikat keberadaan segala sesuatu yang ada menurut
tata hubungan sistematis berdasarkan hukum sebab akibat yaitu ada manusia, ada
alam, dan ada kausa prima dalam suatu hubungan yang menyeluruh, teratur, dan
tertib dalam keharmonisan. Ontologi dapat pula diartikan sebagai ilmu atau
teori tentang wujud hakikat yang ada. Obyek ilmu atau keilmuan itu adalah dunia
empirik, dunia yang dapat dijangkau pancaindera. Dengan demikian, obyek ilmu
adalah pengalaman inderawi. Dengan kata lain, ontologi adalah ilmu yang
mempelajari tentang hakikat sesuatu yang berwujud (yang ada) dengan berdasarkan
pada logika semata.
Hakikat Manusia Sebagai Subjek Pendidikan (Pendidik dan Peserta Didik) Kajian tentang manusia sejak zaman dahulu sampai zaman sekarang belum juga berakhir dan tidak akan berakhir. Manusia merupakan makhluk yang sangat unik dengan segala kesempurnaannya. Manusia dapat dikaji dari berbagai sudut pandang, baik secara historis, antropologi, sosiologi dan lain sebagainya.
Manusia dalam kajian kali ini lebih
difokuskan kepada subjek pendidikan, bahwa dalam dunia pendidikan manusialah
yang banyak berperan. Karena dilakukannya pendidikan itu tidak lain
diperuntukan bagi manusia, agar tidak timbul kerusakan di bumi ini. Dalam
pendidikan bahwa manusia dibagi menjadi dua kelompok, yaitu sebagai pendidik
dan peserta didik.
Menurut Al-Aziz, pendidik adalah orang yang bertanggungjawab dalam menginternalisasikan nilai-nilai religius dan berupaya menciptakan individu yang memiliki pola pikir ilmiah dan pribadi yang sempurna. Masing-masing definisi tersebut, mengisyaratkan bahwa peran, tugas dan sebagai seorang pendidik tidaklah gampang, karena dalam diri anak didik harus terjadi perkembangan baik secara afektif, kognitif maupun psikomotor. Dalam setiap individu terdidik harus terdapat perubahan ke arah yang lebih baik. Jika dalam ajaran Islam anak didik harus mampu menginternalisasikan ajaran-ajaran dalam dirinya, sehingga mampu menjadi pribadi yang bertaqwa dan berakhlakul karimah yang akan bahagia baik di dunia dan di akhirat.
Sedangkan anak didik (peserta didik) adalah makhluk yang sedang berada dalam proses perkembangan dan pertumbuhan menurut fitrahnya masing-masing. Mereka memerlukan bimbingan dan pengarahan yang konsisten menuju ke arah titik optimal kemampuan fitrahnya. Pengertian tersebut berbeda apabila anak didik (peserta didik) sudah bukan lagi anak-anak, maka usaha untuk menumbuhkembangkannya sesuai kebutuhan peserta didik, tentu saja hal ini tidak bisa diperlakukan sebagaimana perlakuan pendidik kepada peserta didik (anak didik) yang masih anak-anak. Maka dalam hal ini dibutuhkan pendidik yang benar-benar dewasa dalam sikap maupun kemampuannya.
Dalam pandangan modern, anak didik tidak hanya dianggap sebagai obyek atau sasaran pendidikan, melainkan juga harus diperlakukan sebagai subyek pendidikan, dengan cara melibatkan mereka dalam memecahkan masalah dalam proses belajar mengajar. Dengan demikian bahwa peserta didik adalah orang yang memerlukan pengetahuan, ilmu, bimbingan dan pengarahan. Islam berpandangan bahwa hakikat ilmu berasal dari Allah, sedangkan proses memperolehnya dilakukan melalui belajar kepada guru. Karena ilmu itu berasal dari Allah, maka membawa konsekuensi perlunya seorang peserta didik mendekatkan diri kepada Allah atau menghiasi diri dengan akhlak yang mulai yang disukai Allah, dan sedapat mungkin menjauhi perbuatan yang tidak disukai Allah.
Bertolak dari hal itu, sehingga muncul suatu aturan normatif tentang perlunya kesucian jiwa sebagai seorang yang menuntut ilmu, karena ia sedang mengharapkan ilmu yang merupakan anugerah Allah. Ini menunjukkan pentingnya akhlak dalam proses pendidikan, di samping pendidikan sendiri adalah upaya untuk membina manusia agar menjadi manusia yang berakhlakul karimah dan bermanfaat bagi seluruh alam.
Pada akhirnya, dengan memahami ontologi
pendidikan tersebut, maka diharapkan bisa menumbuhkan kesadaran para pendidik
dan peserta didik untuk menjalankan peran dan fungsinya dalam keberlangsungan
pendidikan di tengah-tengah peradaban manusia yang dari waktu ke waktu semakin
berkembang. Tentu pendidikan tidak akan mengalami perkembangan yang berarti dan
signifikan jika tidak dibarengi oleh perkembangan manusianya. Namun, tanpa
manusia, maka sistem dan pola pendidikan tidak akan pernah terwujud. Oleh sebab
itu, pendidikan sebagai produk dan manusia sebagai creator-nya tidak bisa,
bahkan tidak akan pernah bisa dipisahkan. Ibarat dua sisi mata uang, maka jika
satu sisi saja tidak ada, maka sisi yang lain pun jadi tidak berarti. Sehingga
kedua unsur ini (manusia dan pendidikan) harus selaras, sejalan dan seiring dalam
gerak dan laju yang harmonis, sehingga menciptakan sebuah “irama” yang indah
sekaligus menginspirasi.
2.2 Sudut Pandang dan Aliran-aliran
Ontologi dalam Filsafat Ilmu
2.2.1 Sudut
Pandang Ontologi
Ontologi
merupakan pembahasan tentang bagaimana cara memandang hakekat sesuatu, apakah
dipahami sebagai sesuatu yang tunggal dan bisa dipisah dari sesuatu yang lain
atau bernuansa jamak, terikat dengan sesuatu yang lain, sehingga harus dipahami
sebagai suatu kebulatan (holistik). Pengertian paling umum pada ontologi adalah
bagian dari bidang filsafat yang mencoba mencari hakikat dari sesuatu. Sebuah
ontologi memberikan pengertian untuk penjelasan secara eksplisit dari konsep
terhadap representasi pengetahuan pada sebuah knowledge base. Sebuah ontologi
juga dapat diartikan sebuah struktur hirarki dari istilah untuk menjelaskan
sebuah domain yang dapat digunakan sebagai landasan untuk sebuah knowledge
base”. Dengan demikian, ontologi merupakan suatu teori tentang makna dari suatu
objek, property dari suatu objek, serta relasi objek tersebut yang mungkin
terjadi pada suatu domain pengetahuan. Ringkasnya, pada tinjauan filsafat,
ontologi adalah studi tentang sesuatu yang ada. Hakekat kenyataan atau realitas
memang bisa didekati ontologi dengan dua macam sudut pandang:
a. Kuantitatif, yaitu dengan
mempertanyakan apakah kenyataan itu tunggal atau jamak?
b. Kualitatif, yaitu dengan
mempertanyakan apakah kenyataan (realitas) tersebut memiliki kualitas tertentu,
seperti misalnya daun yang memiliki warna kehijauan, bunga mawar yang berbau
harum. Secara sederhana ontologi bisa dirumuskan sebagai ilmu yang mempelajari
realitas atau kenyataan konkret secara kritis.
2.3
Aliran-aliran Ontologi
Dalam mempelajari ontologi muncul beberapa pertanyaan yang
kemudian melahirkan aliran-aliran dalam filsafat. Dari masing-masing pertanyaan
menimbulkan beberapa sudut pandang mengenai ontologi. Pertanyaan itu berupa
“Apakah yang ada itu? (What is being?)”, “Bagaimanakah yang ada itu? (How is
being?)”, dan “Dimanakah yang ada itu? (What is being?)”
Apakah yang ada itu? (What is being?) Dalam memberikan
jawaban masalah ini lahir lima filsafat, yaitu sebagai berikut :
2.3.1 Aliran Monoisme dalam Filsafat
Aliran ini berpendapat bahwa yang ada itu hanya satu, tidak
mungkin dua. Haruslah satu hakikat saja sebagai sumber yang asal, baik yang
asal berupa materi ataupun berupa ruhani. Tidak mungkin ada hakikat
masing-masing bebas dan berdiri sendiri. Haruslah salah satunya merupakan
sumber yang pokok dan dominan menentukan perkembangan yang lainnya. Plato
adalah tokoh filsuf yang bisa dikelompokkan dalam aliran ini, karena ia
menyatakan bahwa alam ide merupakan kenyataan yang sebenarnya. Istilah monisme
oleh Thomas Davidson disebut dengan Block Universe. Paham ini kemudian terbagi
ke dalam dua aliran :
2.3.2 Materialisme dalam Filsafat
Aliran ini menganggap bahwa sumber yang asal itu adalah
materi, bukan ruhani. Aliran ini sering juga disebut dengan naturalisme.
Menurutnya bahwa zat mati merupakan kenyataan dan satu-satunya fakta.
Aliran pemikiran ini dipelopori oleh bapak filsafat yaitu
Thales (624-546 SM). Ia berpendapat bahwa unsur asal adalah air, karena
pentingnya bagi kehidupan. Anaximander (585-528 SM) berpendapat bahwa unsur
asal itu adalah udara, dengan alasan bahwa udara merupakan sumber dari segala
kehidupan. Demokritos (460-370 SM) berpendapat bahwa hakikat alam ini merupakan
atom-atom yang banyak jumlahnya, tak dapat dihitung dan amat halus. Atom-atom
itulah yang merupakan asal kejadian alam.
2.4. Idealisme dalam Filsafat
Idealisme diambil dari kata “idea” yaitu sesuatu yang hadir
dalam jiwa. Aliran ini menganggap bahwa dibalik realitas fisik pasti ada
sesuatu yang tidak tampak. Bagi aliran ini, sejatinya sesuatu justru terletak
dibalik yang fisik. Ia berada dalam ide-ide, yang fisik bagi aliran ini
dianggap hanya merupakan bayang-bayang, sifatnya sementara, dan selalu menipu.
Eksistensi benda fisik akan rusak dan tidak akan pernah membawa orang pada
kebenaran sejati.
Dalam perkembangannya, aliran ini ditemui dalam ajaran Plato (428-348 SM) dengan teori idenya. Menurutnya, tiap-tiap yang ada di dalam mesti ada idenya yaitu konsep universal dari tiap sesuatu. Alam nyata yang menempati ruangan ini hanyalah berupa bayangan saja dari alam ide itu. Jadi, idelah yang menjadi hakikat sesuatu, menjadi dasar wujud sesuatu.
2.4.1 Aliran Dualisme dalam Filsafat
Aliran ini berpendapat bahwa benda terdiri dari dua macam
hakikat sebagai asal sumbernya, yaitu hakikat materi dan hakikat rohani, benda
dan roh, jasad dan spirit. Kedua macam hakikat itu masing-masing bebas dan
berdiri sendiri, sama-sama azali dan abadi. Hubungan keduanya menciptakan
kehidupan dalam alam ini.
Tokoh paham ini adalah Descartes (1596-1650 M) yang dianggap sebagai bapak filsafat modern. Ia menamakan kedua hakikat itu dengan istilah dunia kesadaran (rohani) dan dunia ruang (kebendaan). Ini tercantum dalam bukunya Discours de la Methode (1637) dan Meditations de Prima Philosophia (1641). Dalam bukunya ini pula, Ia menerangkan metodenya yang terkenal dengan Cogito Descartes (metode keraguan Descartes/Cartesian Doubt). Disamping Descartes, ada juga Benedictus de Spinoza (1632-1677 M), dan Gitifried Wilhelm von Leibniz (1646-1716 M).
2.5 Aliran Pluralisme dalam Filsafat
Aliran ini berpandangan bahwa segenap macam bentuk merupakan
kenyataan. Pluralisme bertolak dari keseluruhan dan mengakui bahwa segenap
macam bentuk itu semuanya nyata. Pluralisme dalam Dictionary of Philosophy and
Religion dikatakan sebagai paham yang menyatakan bahwa kenyataan alam ini tersusun
dari banyak unsur, lebih dari satu atau dua entitas.
Tokoh aliran ini pada masa Yunani Kuno adalah Anaxagoras dan Empedocles, yang menyatakan bahwa substansi yang ada itu terbentuk dan terdiri dari empat unsur, yaitu tanah, air, api, dan udara. Tokoh modern aliran ini adalah William James (1842-1910 M), yang mengemukakan bahwa tiada kebenaran yang mutlak, yang berlaku umum, yang bersifat tetap, yang berdiri sendiri, dan lepas dari akal yang mengenal.
2.6 Aliran Nihilisme dalam Filsafat
Nihilisme berasal dari bahasa Latin yang berarti nothing
atau tidak ada. Sebuah doktrin yang tidak mengakui validitas alternatif yang
positif. Istilah nihilisme diperkenalkan oleh Ivan Turgeniev pada tahun 1862 di
Rusia.
Doktrin tentang nihilisme sebenarnya sudah ada semenjak zaman Yunani Kuno, yaitu pada pandangan Gorgias (485-360 SM) yang memberikan tiga proposisi tentang realitas. Pertama, tidak ada sesuatupun yang eksis. Kedua, bila sesuatu itu ada, ia tidak dapat diketahui. Ketiga, sekalipun realitas itu dapat kita ketahui, ia tidak akan dapat kita beritahukan kepada orang lain. Tokoh lain aliran ini adalah Friedrich Nietzche (1844-1900 M). Dalam pandangannya dunia terbuka untuk kebebasan dan kreativitas manusia. Mata manusia tidak lagi diarahkan pada suatu dunia di belakang atau di atas dunia di mana ia hidup.
2.6.1 Aliran Agnostisisme dalam
Filsafat
Paham ini mengingkari kesanggupan manusia untuk mengetahui
hakikat benda. Baik hakikat materi maupun hakikat ruhani. Kata agnostisisme
berasal dari bahasa Grik Agnostos, yang berarti unknown. A artinya not, gno
artinya know. Timbulnya aliran ini dikarenakan belum dapatnya orang mengenal
dan mampu menerangkan secara konkret akan adanya kenyataan yang berdiri sendiri
dan dapat kita kenal.
Aliran ini dapat kita temui dalam filsafat eksistensi dengan tokoh-tokohnya seperti, Soren Kierkegaar (1813-1855 M) yang terkenal dengan julukan sebagai Bapak Filsafat Eksistensialisme, yang menyatakan bahwa manusia tidak pernah hidup sebagai suatu aku umum, tetapi sebagai aku individual yang sama sekali unik dan tidak dapat dijabarkan ke dalam sesuatu orang lain. Berbeda dengan pendapat Martin Heidegger (1889-1976 M), yang mengatakan bahwa satu-satunya yang ada itu ialah manusia, karena hanya manusialah yang dapat memahami dirinya sendiri. Tokoh lainnya adalah, Jean Paul Sartre (1905-1980 M), yang mengatakan bahwa manusia selalu menyangkal. Hakikat beradanya manusia bukan entre (ada), melainkan a entre (akan atau sedang). Jadi, agnostisisme adalah paham pengingkaran/penyangkalan terhadap kemampuan manusia mengetahui hakikat benda, baik materi maupun ruhani.
Bagaimanakah yang ada itu? (How is being?)
Apakah yang ada itu sebagai sesuatu yang tetap, abadi, atau berubah-ubah? Dalam hal ini, Zeno (490-430 SM) menyatakan bahwa sesuatu itu sebenarnya khayalan belaka. Pendapat ini dibantah oleh Bergson dan Russel. Seperti yang dikatakan oleh Whitehead bahwa alam ini dinamis, terus bergerak, dan merupakan struktur peristiwa yang mengalir terus secara kreatif.
Di manakah yang ada itu? (Where is
being?)
Aliran ini berpendapat bahwa yang ada itu berada dalam alam ide, adi kodrati, universal, tetap abadi, dan abstrak. Sementara aliran materilisme berpendapat sebaliknya, bahwa yang ada itu bersifat fisik, kodrati, individual, berubah-ubah, dan riil.
2.7 Metafisika
Metafisika berasal dari kata “meta” berarti sesudah dan “fisika”
berarti nyata/alam fisik. Dengan kata lain metafisika adalah cabang filsafat
yang membicarakan hal-hal yang berada di belakang gejala-gejala yang nyata.
Ditinjau dari
segi filsafat secara menyeluruh metafisika adalah ilmu yang memikirkan hakikat
di balik alam nyata. Metafisika membicarakan hakikat dari segala sesuatu dari
alam nyata tanpa dibatasi pada sesuatu yang dapat diserap oleh pancaindera.
Aristoteles
menyinggung masalah metafisika dalam karyanya tentang “Filsafat Pertama” yang
berisi hal-hal yang bersifat gaib. Menurutnya, ilmu metafisika termasuk cabang
filsafat teoritis yang membahas masalah hakikat segala sesuatu, sehingga ilmu
metafisika menjadi inti filsafat. Selanjutnya, Aristoteles menjelaskan bahwa
masalah-masalah yang metafisik merupakan sesuatu yang fundamental bagi
kehidupan. Oleh karena itu, setiap orang yang sadar berhadapan dengan sesuatu
yang metafisik tetap tersangkut di dalamnya.
Tafsiran paling
pertama yang diberikan manusia terhadap alam ini adalah bahwa terdapat
wujud-wujud bersifat supernatural dan wujud ini lebih tinggi/lebih kuasa
dibandingkan alam nyata.
Animisme
(roh-roh yang bersifat gaib terdapat pada benda, seperti batu, pohon, dan air terjun) merupakan
contoh kepercayaan yang berdasarkan pemikiran supernaturalisme. Animisme ini merupakan kepercayaan yang paling tua umurnya dalam sejarah
perkembangan kebudayaan manusia dan masih dipeluk oleh beberapa masyarakat di muka
bumi.
Sebagai lawan dari supernaturalisme
maka terdapat paham Naturalisme
yaitu paham yang menolak pendapat bahwa terdapat wujud-wujud yang bersifat
supernatural. Materialisme merupakan paham yang berpendapat bahwa gejala-gejala
alam tidak disebabkan oleh pengaroh kekuatan gaib, melainkan oleh kekuatan yang
terdapat di alam itu sendiri, yang dpat di pelajari dan dengan
demikian dpat di ketahui.
Hanya berdasarkan kebiasaan saja maka
manis itu manis, panas itu panas, dingin itu dingin, warna itu warna. Dalam
kenyataannya hanya terdapat atom dan kehampaan. Artinya, obyek dari pengindraan
sering kita anggap nyata, padahal tidak demikian. Hanya atom dan kehampaan
itulah yang bersifat nyata. Atau dengan perkataan lain : manis, panas, dingin
atau warna adalah yang kita berikan kepada gejala yang kita tangkap lewat
pancaindera. Rangsangan pancaindera ini di salurkan ke otak kita dan
menghadirkan gejala tersebut.
Dengan demikian maka gejala alam
dapat didekati dari segi proses kimia-fisika. Hal ini tidak terlalu menimbulkan
permasalahan selama di terapkan kepada zat-zat yang mati seperti batu atau
karat besi.
Lain lagi dengan pendapat yang disampaikan kaum mekanistik
melihat gejala alam termasuk makhluk hidup hanya merupakan gejala fisika
semata. Sedangkan menurut kaum vitalik, hidup adalah sesuatu yang unik yang
berbeda secara substantif dengan proses tersebut di atas.
Dalam memahami
metafisika umum (ontologi) ada beberapa aliran/pandangan pokok pikiran yaitu:
1)
Aliran Monoisme
Paham monoisme menganggap bahwa hakikat yang asal dari
seluroh kenyataan itu hanyalah satu saja, tidak mungkin dua. Haruslah satu
hakikat saja sebagai sumber asal, baik yang asal berupa materi maupun berupa
rohani. Tidak mungkin ada hakikat masing-masing bebas dan berdiri sendiri. Paham
monoisme kemudian dibagi menjadi 2 aliran yaitu aliran materialisme dan aliran
idealisme.
Aliran materialisme menganggap bahwa sumber yang asal itu
adalah materi, bukan rohani. Aliran ini sering juga disebut sebagai
naturalisme, menurutnya zat mati merupakan kenyataan dan satu-satunya cara
tertentu. Sedangkan aliran idealisme disebut juga spiritualisme berarti serba
roh/“idea” yang berarti sesuatu yang hadir dalam jiwa. Aliran ini beranggapan
bahwa hakikat kenyataan yang beranekaragam ini semua berasal dari roh, yaitu
sesuatu yang tidak berbentuk dan menempati ruang. Materi/zat itu hanyalah suatu
jenis dari penjelmaan rohani.
2)
Aliran Dualisme
Aliran ini mencoba memadukan antara dua paham yang saling
bertentangan, yaitu materialisme dan idealisme. Menurut aliran dualisme materi
maupun roh sama-sama merupakan hakikat. Materi muncul bukan karena adanya roh,
begitupun roh muncul buka karena materi.
Aliran dualisme memandang bahwa alam terdiri dari 2 macam
hakikat sebagai sumbernya. Aliran dualisme merupakan paham yang serba dua,
yaitu antara materi (hule) dan bentuk (eidos). Pengertian materi
dalam aliran ini berbeda dengan pengertian materi yan dipahami saat ini.
Menurut Aristoteles, materi adalah dasar terakhir segala perubahan dari hal-hal
yang berdiri sendiri dan unsur bersama yang terdapat di dalam segala sesuatu
yang menjadi dan binasa. Materi dalam arti mutlak adalah asas atau lapisan
bawah yang paling akhir dan umum. Tiap benda yang dapat diamati disusun dari
materi. Oleh karena itu materi mutlak diperlukan bagi pembentukan segala
sesuatu. Di lain pihak, dapat dijelaskan bahwa materi adalah kenyataan yang
belum terwujud, yang belum ditentukan, tetapi yang memiliki potensi, bakat
untuk menjadi terwujud/menjadi ditentukan oleh bentuk. Padanya ada kemungkinan
untuk menjadi nyata, karena kekuatan yang membentuknya.
Sedangkan bentuk (eidos) adalah pola segala sesuatu
yang tempatnya di luar dunia ini, yang berdiri sendiri, lepas dari benda yang
konkret, yang adalah penerapannya. Bagi Aristoteles, eidos adalah asa
yang berada di dalam benda yang konkret, yang secara sempurna menentukan jenis
benda itu, yang menjadikan benda yang konkret itu demikian (misalnya disebut
meja,kursi, dll). Jadi, segala pengertian yang ada pada manusia bukanlah sesuai
dengan realitas ide, melainkan sesuai dengan jenis benda yang tampak pada benda
konkret.
Demikianlah, materi dan bentuk tidak dapat dipisahkan.
Materi tidak dapat terwujud tanpa bentuk, sebaliknya bentuk tidak dapat berada
tanpa materi. Tiap benda yang diamati disusun dari bentuk dan materi.
3)
Aliran Pluralisme
Aliran ini beranggapan bahwa segenap macam bentuk
merupakan kenyataan. Pluralisme bertolak dari keseluruhan dan mengakui bahwa
segenap macam bentuk itu semuanya nyata. Pluralisme sebagai paham yang
menyatakan bahwa kenyataan alam ini tersusun dari banyak unsur, lebih dari satu
atau dua identitas.
Dalam metafisika membicarakan tentang “ada umum” segala sesuatunya itu ada
dalam realitas, sehingga terdapat bermacam-macam hal, tetapi yang bermacam-macam
itu semuanya ditangkap dalam adanya, dan dengan demikian pula terdapat “ada
yang bermacam-macam” dan “ada yang umum’. Mungkinkah dalam ada itu terdapat
suatu dasar yang menjadi dasar dari segala “yang ada”. Karena “yang ada” itu
luas, maka The Liang Gie dalam bernadien (2011: 55) ‘yang ada” itu dapat
digolongkan menjadi dua hal yaitu,
a)
Ada secara
ontologis, yaitu membicarakan teori
mengenai sifat dasar dan ragam kenyataan, misalnya; usaha para filsuf dalam
mengungkapkan makna eksistensi dengan pertanyaan-pertanyaan: apakah hakikat ada
itu? Apakah klasifikasi dari yang ada? Apakah sifat dasar kenyataan dan ada
terakhir? Apakah objek fisis, pengertian universal, abstraksi, bilangan dapat
dikatakan ada? Dan pertanyaan lain sebagainya.
b)
Ada secara
kosmologis, yaitu membicarakan tentang
teori umum mengenai proses kenyataan. Kosmologi menyelidiki jenis tata tertib
yang paling fundamental dalam kenyataan, yaitu apakah untuk segala sesuatu yang
menjadi ada, selalu ada sesuatu sebab yang menentukannya menjadi seperti apa
adanya dan bukan sebaliknya (tata-tertib sebab) atau apakah hanya ada kebetulan
yang murni ataukah tata-tertib teleologis yang mengandung penyesuaian
sarana-sarana kepada tujuan-tujuan.
2.7.1 Metafisika dan
Pendidikan
Metafisika merupakan bagian dari
filsafat spekulatif. Yang menjadi pusat persoalannya adalah hakikat realitas
akhir. Metafisika mencoba mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan berikut,
1) Apakah alam semesta memiliki bentuk rasional? Apakah alam semesta memiliki
makna?
2) Apakan yang dinamakan jiwa itu merupakan kenyataan dalam dirinya atau
hanyalah suatu bentuk materi dalam gerak?
3) Apakah semua perilaku organisme, termasuk manusia telah ditentukan, atau
memiliki kebebasan?
4) Siapakah manusia? Dari mana asalnya? Apa yang diharapkan dalam hidup ini?
Apa yang akan dituju manusia?
5) Apakah alam semesta ini terjadi dengan sendirinya atau ada yang
menciptakan?
Mempelajari metafisika bagi
filsafat pendidikan diperlukan untuk mengontrol secara implisit tujuan
pendidikan, untuk mengetahui dunia anak, apakah ia merupakan makhluk rohani
atau jasmani saja atau keduanya. Seorang filosof pendidikan, tidak hanya tahu
tentang hakikat dunia di mana ia tinggal, melainkan juga ia harus tahu hakikat
manusia, khususnya hakikat anak.
2.8 Asumsi
Asumsi adalah suatu
pernyataan yang tidak terlihat kebenarannya, atau kemungkinan benarnya
tidak tinggi. Asumsi diperlukan untuk menyuratkan segala hal yang tersirat. Mc
Mullin (2002) menyatakan hal yang mendasar yang harus ada dalam ontologi suatu
ilmu pengetahuan adalah menentukan
asumsi pokok (the standard presumption) keberadaan suatu obyek
sebelum hendak melakukan penelitian. Dalam mengembangkan asumsi harus
diperhatikan dua hal :
1)
Asumsi harus relevan dengan bidang dan
tujuan pengkajian displin keilmuan. Asumsi yang seperti ini harus oprasional, dan
merupakan dasar dari pengkajian teoritis.
2)
Asumsi harus disimpulkan dari “keadaan
sebagaimana adanya „bukan‟ bagaimana keadaan yang seharusnya.”
Asumsi yang pertama adalah asumsi yang
mendasari telaah ilmiah, sedangkan asumsi kedua adalah asumsi
yangmendasari telaah moral. Seorang ilmuwan harus benar-benar mengenal asumsi
yang dipergunakan dalamanalisis keilmuannya, sebab mempergunakan asumsi yang berbeda
akan berbeda pula konsep pemikiran yangdigunakan. Sering kita jumpai bahwa
asumsi yang melandasi suatu kajian keilmuan tidak bersifat tersurat melainkan
tersirat. Asumsi yang tersirat ini kadang-kadang menyesatkan, sebab selalu
terdapat kemungkinan bahwa kita berbedapenafsiran tentang sesuatu yang tidak
dinyatakan, oleh karena itu maka untuk pengkajian ilmiah yang lugas lebih baik
dipergunakan asumsi yang tegas. Sesuatu yang belum tersurat dianggap belum
diketahui atau belum mendapat kesamaan pendapat. Pernyataan semacam ini jelas
tidak akan ada ruginya, sebab sekiranya kemudian ternyata asumsinya adalah
cocok maka kita tinggal memberikan informasi, sedangkan jika ternyata
mempunyaiasumsi yang berbeda maka dapat diusahakan pemecahannya.
Terdapat beberapa jenis asumsi yang
dikenal, yakni Axioma, Postulat dan Premise. Axioma adalah pernyataanyang
disetujui umum tanpa memerlukan pembuktian karena kebenarannya sudah
membuktikan sendiri. Postulatadalah pernyataan yang dimintakan persetujuan umum
tanpa pembuktian, atau suatu fakta yang hendaknyaditerima saja sebagaimana
adanya. Sedangkan Premise adalah pangkal pendapat pada suatu sentimen.
Selain Asumsi, istilah lainnya yang biasa dipakai dalam komunikasi ilmu
pengetahuan adalah Presumsi. Presumsi adalah suatu pernyataan yang
disokong oleh bukti atau percobaan-percobaan, meskipun tidak
konklusif dianggap sebagai benar atau walaupun kemungkinannya tinggi bahwa
pernyataan itu benar.
2.9 Peluang
Dalam menentukan suatu
asumsi dalam perspektif filsafat, permasalahan utamanya adalah mempertanyakan
pada pada diri sendiri (peneliti) apakah sebenarnya yang ingin dipelajari dari
ilmu. Terdapat kecenderungan, sekiranya menyangkut hukum kejadian yang berlaku
bagi seluruh manusia, maka harus bertitik tolak pada paham deterministik.
Sekiranya yang dipilih adalah hukum kejadian yang bersifat khas bagi tiap
individu manusia maka akan digunakan asumsi pilihan bebas. Di antara kutub
deterministik dan pilihan bebas, penafsiran probabilistik merupakan jalan
tengahnya.
Ilmu memberikan
pengetahuan sebagai dasar pengambilan keputusan di mana didasarkan pada
penafsiran kesimpulan ilmiah yang bersifat relatif. Dasar teori keilmuan di
dunia ini tidak akan pernah terdapat hal yang pasti mengenai satu kejadian,
hanya kesimpulan yang probabilistik.
Salah satu referensi
dalam mencari kebenaran, manusia berpaling kepada ilmu. Hal ini dikarenakan
ciri-ciri dari ilmu tersebut yang dalam proses pembentukannya sangat ketat
dengan alatnya berupa metode ilmiah. Hanya saja terkadang kepercayaan manusia
akan sesuatu itu terlalu tinggi sehingga seolah-olah apa yang telah dinyatakan
oleh ilmu akan bersih dari kekeliruan atau kesalahan. Satu hal yang perlu
disadari bahwa “…ilmu tidak pernah ingin dan tidak pernah berpretensi untuk
mendapatkan pengetahuan yang bersifat mutlak” (Suriasumantri, 1990). Oleh
karena itu manusia yang mempercayai ilmu tidak akan sepenuhnya menumpukan
kepercayaannya terhadap apa yang dinyatakan oleh ilmu tersebut. Seseorang yang
mengenal dengan baik hakikat ilmu akan lebih mempercayai pernyataan “ 80% anda
akan sembuh jika meminum obat ini” daripada pernyataan “yakinlah bahwa anda
pasti sembuh setelah meminum obat ini”.
Hal ini menyadarkan
kita bahwa suatu ilmu menawarkan kepada kita suatu jawaban yang berupa peluang.
Yang didalamnya selain terdapat kemungkin bernilai benar juga mengandung
kemungkinan yang bernilai salah. Nilai kebenarannya pun tergantung dari
prosentase kebenaran yang dikandung ilmu tersebut. Sehingga ini akan menuntun
kita kepada seberapa besar kepercayaan kita akan kita tumpukan pada jawaban
yang diberikan oleh ilmu tersebut.
Sebagaimana telah
disampaikan terdahulu, bahwa Determinisme dalam pengertian ilmu mempunyai
konotasi yang bersifat peluang (probabilistik). Statistika merupakan metode
yang menyatakan hubungan probabilistik antara gejala-gejala dalam penelaahan
keilmuan. Sesuai dengan peranannya dalam kegiatan ilmu, maka dasar statistika
adalah teori peluang. Statistika mempunyai peranan yang menentukan dalam
persyaratan-persyaratan keilmuan sesuai dengan asumsi ilmu tentang alam. Tanpa
statistika hakikat ilmu akan sangat berlainan. Dasar
teori keilmuan di dunia ini tidak akan pernah terdapat hal yang pasti mengenai
satu kejadian, hanya kesimpulan yang probabilistik.
Ilmu
memberikan pengetahuan sebagai dasar pengambilan keputusan di mana didasarkan
pada penafsiran kesimpulan ilmiah yang bersifat relatif.
Probabilitas
merupakan salah satu konsep yang sering kita gunakan untuk mendeskripsikan
realitas di dalam kehidupan sehari-hari. Bahkan, aplikasinya tidaklah terbatas
hanya pada percakapan keseharian tersebut, namun juga mencakup wilayah
konversasi yang lebih serius dan refleksif, yaitu sains. Dengan kata lain,
probabilitas acapkali digunakan sebagai perangkat eksplanasi ilmiah. Hal ini
seolah-olah dijustifikasi oleh Carl Hempel, salah satu filsuf sains utama pada
abad 20, ketika dalam karya monumentalnya, Philosophy of Natural Science,
mengakui adanya dua jenis wujud hukum yang berperan di dalam eksplanasi ilmiah,
yaitu hukum yang universal (laws of universal form) dan hukum yang
probabilistik (laws of probabilistic form).
2.10
Beberapa Asumsi Dalam Ilmu
Setiap ilmu selalu memerlukan asumsi.
Asumsi diperlukan untuk mengatasi penelaahan suatu permasalahan menjadi lebar.
Semakin terfokus obyek telaah suatu bidang kajian, semakin memerlukan asumsi
yang lebih banyak.
Asumsi dapat dikatakan merupakan latar belakang intelektual suatu jalur pemikiran. Asumsi dapat diartikan pula sebagai gagasan primitif, atau gagasan tanpa penumpu yang diperlukan untuk menumpu gagasan lain yang akan muncul kemudian. Asumsi diperlukan untuk menyuratkan segala hal yang tersirat.
Kita perlu membuat kotak-kotak dan batsan dalam bentuk asumsi yang kian sempit. Dalam mengembangkan asumsi, harus diperhatikan beberapa hal. Yang pertama, asumsi harus relevan dengan kajian bidang ilmu pengetahuan, asumsi harus operasional dan merupakan dasar pengkajian teoritis. Asumsi bahwa manusia adalah administrasi adalah filfafati tetapi tidak berarti apa-apa dalam penyusunan teori administrasi. Asumsi manusia dalam asdministratif yang bersifat operasional adalah makhluk ekonomis, makhluk social, makhluk aktualisasi diri. Berdasarkan asumsi ini maka dapat dikembangkan berbagai model, strategi dan praktek administrasi. Asumsi bahwa manusia adalah makhluk administrasi, dalam pengkajian administrasi, akan menyebabkan kita berhenti di situ. Seperti sebuah lingkaran, setelah berputar kita kembali ke tempat semula. Kedua, asumsi ini harus disimpulkan dari “kedaan sebagaimana adanya “bukan” keadaan sebagaiamana seharusnya.” Asumsi pertama adalah asumsi yang mendasari telaah imiah. Sedangkan asumsi kedua adlah asumsi yang mendasari telaah moral. Sekiranya dalam kegiatan ekonomis maka manusia yang berperan adalah manusia yang mencari keuntungan sebesar-besarnya dengan korbanan sekecil-kecilnya. Maka itu sajaalah yang kita jadikan sebagai pegangan tak perlu ditambah dengan sebaiknya begini atrau seharusnya begitu. Sekiranya asumsi seerti ini digunakan dalam pengambilan kebijakan atau strategi serta penjabaran peraturan lainnya.
Sebuah contoh asumsi yang baik adalah
pada Pembukaan UUD 1945: “ kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh
sebab itu maka penjajahan diatas bumi karena tidak sesuai dengan
perikemanusiaan dan perikeadilan”. Tanpa asumsi-asumsi ini, semua pasal UUD
1945 menjadi tidak bermakna.
Apakah suatu hipotesis merupakan asumsi? Ya, jika diperiksa ke belakang (backward) maka hipotesis merupakan asumsi. Jika diperiksa ke depan (forward) maka hipotesis merupakan kesimpulan. Untuk memahami hal ini dapat dibuat suatu pernyataan: “Bawalah payung agar pakaianmu tidak basah waktu sampai ke sekolah”. Asumsi yang digunakan adalah hujan akan jatuh di tengah perjalanan ke sekolah. Implikasinya, memakai payung akan menghindarkan pakaian dari kebasahan karena hujan.
Dengan demikian, asumsi menjadi masalah yang penting dalam setiap bidang ilmu pengetahuan. Kesalahan menggunakan asumsi akan berakibat kesalahan dalam pengambilan kesimpulan. Asumsi yang benar akan menjembatani tujuan penelitian sampai penarikan kesimpulan dari hasil pengujian hipotesis. Bahkan asumsi berguna sebagai jembatan untuk melompati suatu bagian jalur penalaran yang sedikit atau bahkan hampa fakta atau data.
Terdapat beberapa jenis asumsi yang dikenal, antara lain;
Aksioma yaitu pernyataan yang disetujui
umum tanpa memerlukan pembuktian karena kebenaran sudah membuktikan sendiri.
Postulat adalah pernyataan yang dimintakan persetujuan umum tanpa pembuktian,
atau suatu fakta yang hendaknya diterima saja sebagaimana adanya.
Dalam menentukan suatu asumsi dalam perspektif filsafat, permasalahan utamanya adalah
mempertanyakan pada pada diri sendiri
(peneliti) apakah sebenarnya yang ingin dipelajari dari ilmu. Terdapat
kecenderungan, sekiranya menyangkut hukum kejadian yang berlaku bagi seluruh
manusia, maka harus bertitik tolak pada paham deterministik. Sekiranya yang
dipilih adalah hukum kejadian yang bersifat khas bagi tiap individu manusia
maka akan digunakan asumsi pilihan bebas. Di antara kutub deterministik dan
pilihan bebas, penafsiran probabilistik merupakan jalan tengahnya.
Seberapa banyak asumsi diperlukan dalam suatu analisis keilmuan? Semakin banyak asumsi berarti semakin sempit ruang gerak penelaahan suatu obyek observasi. Dengan demikian, untuk mendapatkan pengetahuan yang bersifat analistis, yang mampu menjelaskan berbagai kaitan dalam gejala yang ada, maka pembatasan dalam bentuk asumsi yang kian sempit menjadi diperlukan.
Bagaimana cara mengembangkan asumsi ini? Asumsi harus relevan dengan bidang dan tujuan pengkajian disiplin ilmu. Asumsi ini harus operasional dan merupakan dasar dari pengkajianteoritis
Asumsi ini harus disimpulkan dari
“keadaan sebagaimana adanya” bukan “bagaimana keadaan yang seharusnya”. Jadi
asumsi harus bersifat das sein bukan das sollen. Asumsi harus bercirikan
positif, bukan normatif.
Lebih lanjut mengenai asumsi dan
ontologi, ontologi adalah esensi dari fenomena, apakah fenomena merupakan hal
yang bersifat objektif dan terlepas dari persepsi individu atau fenomena itu
dipandang sebagai hasil dari persepsi individu. Mengenai hal ini, ada dua
asumsi yang berbeda:
1. Nominalime:
kehidupan sosial dalam persepsi individu tak lain adalah kumpulan konsep–konsep
baku, nama dan label yang akan mengkarakteristikkan realitas yang ada. Intinya,
realita dijelaskan melalui konsep yang telah ada.
2. Realisme: kehidupan sosial adalah merupakan
kenyataan yang tersusun atas struktur yang tetap, tidak ada konsep yang
mengartikulasikan setiap realita tersebut dan realita tidak tergantung pada
persepsi individu.
2.11 Batas-Batas Penjelajahan Ilmu
Pada saat ilmu
mulai berkembang pada tahap ontologis, manusia mulai mengambil jarak dari obyek
sekitar. Manusia mulai memberikan batas-batas yang jelas kepada obyek tertentu
yang terpisah dengan eksistensi manusia sebagai subyek yang mengamati dan yang
menelaah obyek tersebut. Dalam menghadapi masalah tertentu, dalam tahap
ontologis manusia mulai menentukan batas-batas eksistensi masalah tersebut,
yang memungkinkan manusia mengenal wujud masalah itu, untuk kemudian menelaah
dan mencari pemecahan jawabannya.
Dalam usaha untuk memecahkan masalah tersebut, ilmu mencari penjelasan mengenai permasalahan yang dihadapinya agar dapat mengerti hakikat permasalahan yang dihadapi itu. Dalam hal ini ilmu menyadari bahwa masalah yang dihadapi adalah masalah yang bersifat konkret yang terdapat dalam dunia nyata. Secara ontologis, ilmu membatasi masalah yang dikajinya hanya pada masalah yang terdapat pada ruang jangkauan pengalaman manusia.
Ilmu memulai penjelajahannya pada pengalaman manusia dan berhenti di batas pengalaman manusia. Pembatasan ini disebabkan karena fungsi ilmu itu sendiri dalam kehidupan manusia yakni sebagai alat pembantu manusia dalam menanggulangi masalah-masalah yang dihadapinya sehari-hari. Persoalan mengenai hari kemudian tidak akan kita tanyakan kepada ilmu, melainkan kepada agama.
Ruang penjelajahan keilmuan kemudian menjadi cabang-cabang ilmu. Pada dasarnya cabang-cabang ilmu tersebut berkembang dari dua cabang utama yakni filsafat alam yang kemudian berkembang menjadi rumpun ilmu-ilmu alam dan filsafat moral yang kemudian berkembang ke dalam cabang ilmu-ilmu sosial. Ilmu-ilmu alam dibagi lagi menjadi ilmu alam dan ilmu hayat. Ilmu-ilmu sosial berkembang menjadi antropologi, psikologi, ekonomi,sosiologi dan ilmu politik.
Di samping ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial, pengetahuan mencakup juga humaniora dan matematika. Humaniora terdiri dari seni, filsafat, agama, bahasa dan sejarah.
Ilmu memulai penjelajahannya pada pengalaman manusia dan berhenti di batas pengalaman manusia. Fungsi ilmu yakni sebagai alat pembantu manusia dalam menanggulangi masalah-masalah yang dihadapinya sehari-hari. Ilmu diharapkan membantu kita memerangi penyakit, membangun jembatan, irigasi, membangkitkan tenaga listrik, mendidik anak, memeratakan pendapatan nasional dan sebagainya. Persoalan mengenai hari kemudian tidak akan kita tanyakan kepada ilmu, melainkan kepada agama, sebab agamalah pengetahuan yang mengkaji masalah-masalah seperti itu.
BAB III
PENUTUP
PENUTUP
3.1 Simpulan
Ontologi merupakan suatu
teori tentang makna dari suatu objek, property dari suatu objek, serta relasi
objek tersebut yang mungkin terjadi pada suatu domain pengetahuan. Ringkasnya,
pada tinjauan filsafat, ontologi adalah studi tentang sesuatu yang ada.
Pembahasan ontologi
terkait dengan pembahasan mengenai metafisika. Mengapa ontologi terkait dengan
metafisika? Ontologi membahas hakikat yang “ada”, metafisika menjawab
pertanyaan apakah hakikat kenyataan ini sebenar-benarnya? Pada suatu
pembahasan, metafisika merupakan bagian dari ontologi, tetapi pada pembahasan
lain, ontologi merupakan salah satu dimensi saja dari metafisika. Karena itu,
metafisika dan ontologi merupakan dua hal yang saling terkait. Bidang
metafisika merupakan tempat berpijak dari setiap pemikiran filsafati, termasuk
pemikiran ilmiah. Metafisika berusaha menggagas jawaban tentang apakah alam
ini.
Asumsi diperlukan untuk
mengatasi penelaahan suatu permasalahan menjadi lebar. Semakin terfokus obyek
telaah suatu bidang kajian, semakin memerlukan asumsi yang lebih banyak. Asumsi
dapat dikatakan merupakan latar belakang intelektal suatu jalur pemikiran.
Asumsi dapat diartikan pula sebagai merupakan gagasan primitif, atau gagasan
tanpa penumpu yang diperlukan untuk menumpu gagasan lain yang akan muncul
kemudian. Asumsi diperlukan untuk menyuratkan segala hal yang tersirat. Mc
Mullin (2002) menyatakan hal yang mendasar yang harus ada dalam ontologi suatu
ilmu pengetahuan adalah menentukan asumsi pokok (the standard presumption)
keberadaan suatu obyek sebelum melakukan penelitian.
Dasar teori keilmuan di
dunia ini tidak akan pernah terdapat hal yang pasti mengenai satu kejadian,
hanya kesimpulan yang probabilistik. Ilmu memberikan pengetahuan sebagai dasar
pengambilan keputusan di mana didasarkan pada penafsiran kesimpulan ilmiah yang
bersifat relatif.
3.2 Saran
Belajar
hendaknya menjadi salah satu karakter yang selalu melekat di dalam perilaku
suatu bangsa. Dari hal itulah setiap bangsa berusaha mengunggulakan pendidikan
sebagai sebuah fondasi dari pendirian sebuah bangsa. Proses pendidikan tidak
terlepas dari konsep ontology, epistemologi, dan akasiologi didalam
pengkajiaanya dimana pelaksannanya harus mencerminkan aktualisasi dari cita -
cita suatu bangsa.
Ontologi dari sebuah pendidikan adalah mengubah baik perilaku, kognitif, dan psikomotor sebagai sebuah perubahan yang riil dimana penerapannya kepada peserta didik harus dilandasi dengan humanisme yang akan merubah dari ketiga aspek tersebut dari background atau intake yang buruk atau kurang baik menjadi lebih baik. Hakekat dari sebuah pendidikan haruslah secara proper berniat dan berperilaku sebagai penerang suatu bangsa dari kegelapan berpikir. Pemerintah sebagai pemangku kebijakan harus memiliki peran dan tindakan serius di dalam memecahkan persoalan pendidikan.
DAFTAR
PUSTAKA
Suriasumantri, Jujun S, 2007. Filsafat Ilmu Sebuah
Pengantar Popular. Jakarta : Pustaka Sinar Harapan
Santoso,
1979. Agama, Ilmu Penetahuan, dan Masyarakat.. Jakarta: Pustaka.
Jujun.
S, 1996. Filsafat Ilmu. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
No comments:
Post a Comment