Nama :
Kelas :
Hikayat Sa-Ijaan dan Ikan Todak
Singkat cerita, pada zaman dahulu, ada
seorang Datu sakti mandraguna sedang bertapa di tengah laut. Namanya, Datu
Mabrur. Ia bertapa di antara Selat Laut dan Selat Makassar. Maksud pertapaannya
itu adalah memohon kepada Sang Pencipta agar diberi sebuah pulau. Jika
dikabulkan, pulau itu akan menjadi tempat bermukim bagi anak-cucu dan
keturunannya, kelak.
Di malam hari, ada kalanya tubuh Datu Mabrur seakan
membeku. Cuaca dingin, angin, hujan, embun dan kabut menyelmuti tubuhnya. Siang
hari, terik matahari membakar tubuhnya yang kurus kering dan hanya dibungkus
sehelai kain. Ia tidak pernah makan, keuali meminum air hujan dan embun yang
turun.
Di hari terakhir pertapaannya, ketika laut tenang, seekor
ikan besar tiba-tiba muncul dari permukaan laut dan terbang menyerangnya.Tanpa
beringsut dari tempat duduk maupun membuka mata, Datu Mabrur menepis serangan
mendadak itu. Akhirnya, ikan itu terpelanting dan jatuh kembali ke air.
Demikian berulang-ulang. Sementara, di sekeliling karang ribuan ikan mengepung,
memperlihatkan gigi mereka yang panjang dan tajam. Seakan prajurit ikan yang
siap tempur.
Pada serangan terakhir, ikan itu terpelanting jatuh
persis saat Datu Mabrur membuka matanya.
“Hai, ikan! Apa maksudmu mengganggu samadiku? Ikan apa
kamu?
“Aku ikan todak, Raja Ikan Todak yang menguasai perairan ini. Samadimu membuat lautan bergelora. Kami terusik, dan aku memutuskan untuk menyerangmu. Tapi, engkau memang sakti, Datu Mabrur. Aku Takluk..,” katanya, megap-megap. Matanya berkedip-kedip menahan sakit. Tubuhnya terjepit di sela karang yang tajam.
“Aku ikan todak, Raja Ikan Todak yang menguasai perairan ini. Samadimu membuat lautan bergelora. Kami terusik, dan aku memutuskan untuk menyerangmu. Tapi, engkau memang sakti, Datu Mabrur. Aku Takluk..,” katanya, megap-megap. Matanya berkedip-kedip menahan sakit. Tubuhnya terjepit di sela karang yang tajam.
“Jadi itu rakyatmu?” Datu Mabrur menunjuk ribuan ikan
yang mengepung karang.
“Ya, Datu. Tapi, sebelum menyerangmu tadi, kami telah bersepakat. Kalau aku kalah, kami akan menyerah dan mematuhi apa pun perintahmu.”
“Ya, Datu. Tapi, sebelum menyerangmu tadi, kami telah bersepakat. Kalau aku kalah, kami akan menyerah dan mematuhi apa pun perintahmu.”
Demikianlah. Di hari terakhir pertapaannya, Datu Mabrur
belum diberi tanda-tanda bahwa permohonannya akan dikabulkan. Sejauh mata
memandang, yang tampak hanya birunya laut, keluasan samudera dan cakrawala.
Datu Mabrur kemudian menolong raja ikan Todak. Menyembuhkan lukanya. Saat Datu
Mabrur ditawari istana bawah laut yang terbuat dari emas dan permata, dilayani
ikan duyun dan gurita, Datu Mabrur menolaknya. Kepada raja ikan Todak, ia
sampaikan maksud pertapaannya itu. Betapa terkejutnya Datu Mabrur ketika raja
ikan Todak justru menyanggupi keinginannya itu.
“Aku takkan berdusta. Ini sumpah raja!”
Dengan lembut dan penuh kasih sayang, Datu Mabrur
mengangkat raja
ikan Todak itu dan mengembalikannya ke laut.
“Sa-ijaan!” seru raja ikan.
“Sa-ijaan!” sahut Datu Mabrur.
Sebelum tengah malam, sebelum batas waktu pertapaannya
berakhir, Datu Mabrur dikejutkan oleh suara gemuruh yang datang dari dasar
laut. Di bawah permukaan air, ternyata jutaan ikan dari berbagai jenis
mendorong dan memunculkan daratan baru itu dari dasar laut. Sambil mendorong,
mereka serempak berteriak, “Sa-ijaan! “Sa-ijaan! “Sa-ijaan..!”
Datu Mabrur tercengang di karang pertapaannya. Raja ikan Todak telah memenuhi sumpahnya. Datu Mabrur senang dan gembira. Dengan memanjatkan puji dan syukur kepada Sang Pencipta, ia menamakannya Pulau Halimun.
Datu Mabrur tercengang di karang pertapaannya. Raja ikan Todak telah memenuhi sumpahnya. Datu Mabrur senang dan gembira. Dengan memanjatkan puji dan syukur kepada Sang Pencipta, ia menamakannya Pulau Halimun.
Alkisah, Pulau Halimun kemudian disebut Pulau Laut.
Sebab, ia timbul dari dasar laut dan dikelilingi laut. Sebagai hikmahnya, kata
sa-ijaan dan ikan todak dijadikan slogan dan lambang Pemerintah Kabupaten
Kotabaru, Kalimatantan Selatan.
Nama :
Kelas :
KISAH MALIM DEMAN
Syahdan hiduplah seorang pemuda yatim piatu
pada zaman dahulu kala. Malim Deman namanya. Dia pemuda yang rajin giat bekerja
dan baik budinya. Setiap hari dia mengerjakan sawah dan ladang milik ibunya
yang berada dipinggir hutan. Dia bekerja membantu pamannya.
Di sekitar sawah milik ibu Malim Deman itu
tinggal seorang janda tua. Mandeh Rubiah namanya. Malim Deman sangat akrab
dengan janda tua itu. Bahkan, Mandeh Rubiah telah mengaggap Malim Deman sebagai
anaknya sendiri. Mandeh Rubiah kerap mengirimkan makanan kepada Malim Deman
ketika Malim Deman tengah menjaga tanaman padinya pada malam hari.
Pada suatu malam Malim Deman kembali menjaga
tanaman padinya. Dia hanya seorang diri ditengah sawah. Dia merasa sangat haus.
Malim Deman segera ke pondok Mandeh Rubiah untuk meminta air minum. Belum juga
Malim Deman tiba di pondok Madeh Rubiah, Malim Deman mendengar suara beberapa
perempuan di belakang pondok Mandeh Rubiah. Dengan berjalan berjingkat-jingkat,
Malim Deman segera menuju sumber suara yang sangat mencurigakan tersebut.
Terperanjatlah Malim Deman ketika melihat
tujuh bidadari tengah mandi di kolam yang terletak di belakang pondok Mandeh
Rubiah. Malim Deman sangat terpesona melihat kecantikan tujuh bidadari itu
ketika wajah mereka terkena sinar rembulan yang tengah purnama. Malim Deman
juga melihat tujuh selendang tergeletak di dekat kolam itu. Malim Deman
menerka, tujuh selendang itu digunakan para bidadari untuk terbang dari
khayangan ke kolam itu. Maka, dengan berjalan mengendap-endap dia mendekati
tujuh selendang itu dan mengambil salah satu selendang. Segera disembunyikan
selendang itu dan dia kembali mengintip tujuh bidadari yang tetap mandi
tersebut.
Menjelang waktu pagi datang, tujuh bidadari
itu berniat kembali ke khayangan. Salah satu bidadari, yakni bidadari bungsu,
tidak dapat menemukan selendangnya. Enam kakaknya telah berusaha turut membantu
mencari selendang itu, namun hingga menjelang fajar selendang milik bidadari
bungsu tetap tidak ditemukan. Karena matahari sebentar lagi terbit, enam
bidadari yang telah mendapatkan selendang dengan terpaksa meninggalkan adik
bungsu mereka. Keenamnya menggunakan selendang mereka masing-masing untuk
terbang kembali ke Khayangan.
Sepeninggalan kakak-kakaknya, si bungsu
menangis. Dia ketakutan untuk tinggal dibumi Malim Deman lantas mendekati dan
menghibur si bidadari bungsu. Malim Deman kemudian mengajak bidadari itu
kerumah Mandeh Rabiah. Dengan hati gembira Mandeh Rabiah menerima bidadari
bernama Putri Bungsu itu dan mengakuinya sebagai anak.
Malim Deman kembali ke rumahnya setelah
mengantarkan bidadari bernama Putri Bungsu ke rumah Mandeh Rabiah. Sesampainya
di rumah, Malim Deman menceritakan kejadian yang dialaminya kepada ibundanya.
Dijelaskannya pula adanya bidadari yang tinggal bersama Mandeh Rabiah. Malim
Deman lalu memberikan selendang bidadari itu kepada ibunya untuk disimpan.
Malim Deman meminta ibunya untuk menyembunyikan selendang itu selamanya.
Sejak saat itu Malim Deman kian rajin
berkunjung ke rumah Mandeh Rabiah untuk menemui Putri Bungsu. Malim Deman dan
Putri Bungsu tampaknya saling jatuh cinta. Keduanya lantas menikah. Tidak
beberapa lama mereka dikarunia seorang anak laki-laki. Malim Deman memberi nama
Sutan Duano untuk nama anak lelakinya itu.
Putri Bungsu semula sangat berbahagia
bersuamikan Malim Deman. Namun sejak Sutan Duano lahir, perangai Malim Deman
menjadi berubah. Malim Deman malah lebih banyak menghabiskan waktunya di arena
perjudian. Dia sangat senang menyabung ayam dengan menggunakan taruhan. Begitu
senangnya dia dengan perjudian hingga seringkali dia tidak pulang berhari-hari
lamanya.
Putri Bungsu menjadi sangat bersedih melihat
perangai buruk suaminya. Dia kadang menangis sendiri meratapi nasibnya.
Kerinduannya untuk pulang kembali ke kahyangan kembali muncul. Semakin lama
rasa itu semakin besar. Hingga pada suatu saat dia menemukan selendang miliknya
di rumah ibu Malim Deman. Dia berpura-pura hendak menjemur selendang itu.
Seketika dia membawa selendang itu kerumahnya. Putri Bungsu kemudian menemui
Bujang Karim pegawai Malim Deman. “Tolong kau sampaikan kepada Malim Deman, aku
akan kembali ke Kahyangan dengan membawa Sutan Duano.”
Bujang Karim segera cepat mencari Malim Deman
ke arena perjudian. setelah bertemu diceritakannya pesan dari Putri bungsu
kepada Malim Deman.
Malim Deman panik dengan terburu-buru dia
segera kembali ke rumah untuk menemui istri dan anaknya. Namun terlambat.
Sesampainya dirumah, istri dan anaknya sudah tidak ada. Istrinya telah membawa
anak kesayangannya kembali ke Kahyangan. Malim Deman hanya dapat menyesali
kepergian anak dan istrinya. Benar-benar dia sangat menyesal. Namun penyesalan
hanya penyesalan, apa yang telah terjadi tidak dapat diulang lagi. Akibat sikap
buruknya dia harus kehilangan keluarga yang dicintainya.
Nama :
Kelas :
“HIKAYAT BUNGA KEMUNING”
Dahulu kala, ada seorang raja yang memiliki
sepuluh orang puteri yang cantik-cantik. Sang raja dikenal sebagai raja yang
bijaksana. Tetapi ia terlalu sibuk dengan kepemimpinannya, karena itu ia tidak
mampu untuk mendidik anak-anaknya. Istri sang raja sudah meninggal dunia ketika
melahirkan anaknya yang bungsu, sehingga anak sang raja diasuh oleh inang
pengasuh. Puteri-puteri Raja menjadi manja dan nakal. Mereka hanya suka bermain
di danau. Mereka tak mau belajar dan juga tak mau membantu ayah mereka. Pertengkaran
sering terjadi diantara mereka.
Kesepuluh
puteri itu dinamai dengan nama-nama warna. Puteri Sulung bernama Puteri Jambon.
Adik-adiknya dinamai Puteri Jingga, Puteri Nila, Puteri Hijau, Puteri Kelabu,
Puteri Oranye, Puteri Merah Merona, Puteri Kuning dan 2 puteri lainnya. Baju
yang mereka pun berwarna sama dengan nama mereka. Dengan begitu, sang raja yang
sudah tua dapat mengenali mereka dari jauh. Meskipun kecantikan mereka hampir
sama, si bungsu Puteri Kuning sedikit berbeda, Ia tak terlihat manja dan nakal.
Sebaliknya ia selalu riang dan dan tersenyum ramah kepada siapapun. Ia lebih
suka bebergian dengan inang pengasuh daripada dengan kakak-kakaknya.
Pada
suatu hari, raja hendak pergi jauh. Ia mengumpulkan semua puteri-puterinya.
"Aku hendak pergi jauh dan lama. Oleh-oleh apakah yang kalian
inginkan?" tanya raja. "Aku ingin perhiasan yang mahal," kata
Puteri Jambon. "Aku mau kain sutra yang berkilau-kilau," kata Puteri
Jingga. 9 anak raja meminta hadiah yang mahal-mahal pada ayahanda mereka.
Tetapi lain halnya dengan Puteri Kuning. Ia berpikir sejenak, lalu memegang
lengan ayahnya. "Ayah, aku hanya ingin ayah kembali dengan selamat,"
katanya. Kakak-kakaknya tertawa dan mencemoohkannya. "Anakku, sungguh baik
perkataanmu. Tentu saja aku akan kembali dengan selamat dan kubawakan hadiah
indah buatmu," kata sang raja. Tak lama kemudian, raja pun pergi.
Selama
sang raja pergi, para puteri semakin nakal dan malas. Mereka sering membentak
inang pengasuh dan menyuruh pelayan agar menuruti mereka. Karena sibuk menuruti
permintaan para puteri yang rewel itu, pelayan tak sempat membersihkan taman
istana. Puteri Kuning sangat sedih melihatnya karena taman adalah tempat
kesayangan ayahnya. Tanpa ragu, Puteri Kuning mengambil sapu dan mulai
membersihkan taman itu. Daun-daun kering dirontokkannya, rumput liar
dicabutnya, dan dahan-dahan pohon dipangkasnya hingga rapi. Semula inang
pengasuh melarangnya, namun Puteri Kuning tetap berkeras mengerjakannya.
Kakak-kakak
Puteri Kuning yang melihat adiknya menyapu, tertawa keras-keras. "Lihat
tampaknya kita punya pelayan baru,"kata seorang diantaranya. "Hai
pelayan! Masih ada kotoran nih!" ujar seorang yang lain sambil melemparkan
sampah. Taman istana yang sudah rapi, kembali acak-acakan. Puteri Kuning diam
saja dan menyapu sampah-sampah itu. Kejadian tersebut terjadi berulang-ulang
sampai Puteri Kuning kelelahan. Dalam hati ia bisa merasakan penderitaan para
pelayan yang dipaksa mematuhi berbagai perintah kakak-kakaknya.
"Kalian
ini sungguh keterlaluan. Mestinya ayah tak perlu membawakan apa-apa untuk
kalian. Bisanya hanya mengganggu saja!" Kata Puteri Kuning dengan marah.
"Sudah ah, aku bosan. Kita mandi di danau saja!" ajak Puteri Nila.
Mereka meninggalkan Puteri Kuning seorang diri. Begitulah yang terjadi setiap
hari, sampai ayah mereka pulang. Ketika sang raja tiba di istana, kesembilan
puteri nya masih bermain di danau, sementara Puteri Kuning sedang merangkai
bunga di teras istana. Mengetahui hal itu, raja menjadi sangat sedih.
"Anakku yang rajin dan baik budi! Ayahmu tak mampu memberi apa-apa selain
kalung batu hijau ini, bukannya warna kuning kesayanganmu!" kata sang
raja.
Raja
memang sudah mencari-cari kalung batu kuning di berbagai negeri, namun benda
itu tak pernah ditemukannya. "Sudahlah Ayah, tak mengapa. Batu hijau pun
cantik! Lihat, serasi benar dengan bajuku yang berwarna kuning," kata
Puteri Kuning dengan lemah lembut. "Yang penting, ayah sudah kembali. Akan
kubuatkan teh hangat untuk ayah," ucapnya lagi. Ketika Puteri Kuning
sedang membuat teh, kakak-kakaknya berdatangan. Mereka ribut mencari hadiah dan
saling memamerkannya. Tak ada yang ingat pada Puteri Kuning, apalagi menanyakan
hadiahnya. Keesokan hari, Puteri Hijau melihat Puteri Kuning memakai kalung
barunya. "Wahai adikku, bagus benar kalungmu! Seharusnya kalung itu
menjadi milikku, karena aku adalah Puteri Hijau!" katanya dengan perasaan
iri.
Ayah
memberikannya padaku, bukan kepadamu," sahut Puteri Kuning. Mendengarnya,
Puteri Hijau menjadi marah. Ia segera mencari saudara-saudaranya dan menghasut
mereka. "Kalung itu milikku, namun ia mengambilnya dari saku ayah. Kita
harus mengajarnya berbuat baik!" kata Puteri Hijau. Mereka lalu sepakat
untuk merampas kalung itu. Tak lama kemudian, Puteri Kuning muncul.
Kakak-kakaknya menangkapnya dan memukul kepalanya. Tak disangka, pukulan
tersebut menyebabkan Puteri Kuning meninggal. "Astaga! Kita harus
menguburnya!" seru Puteri Jingga. Mereka beramai-ramai mengusung Puteri
Kuning, lalu menguburnya di taman istana. Puteri Hijau ikut mengubur kalung
batu hijau, karena ia tak menginginkannya lagi.
Sewaktu
raja mencari Puteri Kuning, tak ada yang tahu kemana puteri itu pergi.
Kakak-kakaknya pun diam seribu bahasa. Raja sangat marah. "Hai para
pengawal! Cari dan temukanlah Puteri Kuning!" teriaknya. Tentu saja tak
ada yang bisa menemukannya. Berhari-hari, berminggu-minggu, berbulan-bulan, tak
ada yang berhasil mencarinya. Raja sangat sedih. "Aku ini ayah yang
buruk," katanya." Biarlah anak-anakku kukirim ke tempat jauh untuk
belajar dan mengasah budi pekerti!" Maka ia pun mengirimkan
puteri-puterinya untuk bersekolah di negeri yang jauh. Raja sendiri sering
termenung-menung di taman istana, sedih memikirkan Puteri Kuning yang hilang
tak berbekas.
Suatu
hari, tumbuhlah sebuah tanaman di atas kubur Puteri Kuning. Sang raja heran
melihatnya. "Tanaman apakah ini? Batangnya bagaikan jubah puteri, daunnya
bulat berkilau bagai kalung batu hijau, bunganya putih kekuningan dan sangat
wangi! Tanaman ini mengingatkanku pada Puteri Kuning. Baiklah, kuberi nama ia
Kemuning.!" kata raja dengan senang. Sejak itulah bunga kemuning
mendapatkan namanya. Bahkan, bunga-bunga kemuning bisa digunakan untuk
mengharumkan rambut. Batangnya dipakai untuk membuat kotak-kotak yang indah,
sedangkan kulit kayunya dibuat orang menjadi bedak. Setelah mati pun, Puteri
Kuning masih memberikan kebaikan.
No comments:
Post a Comment