POLITIK NEGARA PALESTINA
Otoritas Nasional Palestina atau
Palestina merupakan sebuah negara yang berbentuk Republik Parlementer yang diumumkan
berdirinya pada tanggal 15 November 1988 di Aljiria, ibu kota Aljazair. Berbeda dengan
kebanyakan negara di dunia yang mengumumkan kemerdekaannya setelah
memperoleh Konsesi Politik dari negara penjajah,
Palestina mengumumkan eksistensinya bukan karena mendapat konsesi politik dari
negara lain, melainkan untuk mengikat empat juta kelompok etnis dalam satu wadah, yaitu negara
Palestina. Dalam pengumuman itu ditetapkan pula bahwa Yerusalem Timur ibu
kota negara.
Secara de jure, Kepala negara: Yusuf yang berkuasa
saat ini masih dalam persengketaan antara Presiden Mahmoud Abbas dari
Faksi Fatah dan Ketua Dewan Legislatif Palestina Aziz Duwaik. Namun, secara de facto, otoritas Palestina di bawah pimpinan
Presiden Mahmoud
Abbas hanya menguasai wilayah Tepi Barat. Wilayah Gaza dikuasai oleh Hamas di bawah pimpinan mantan Perdana Menteri Ismail Haniyeh, setelah Hamas merebut wilayah ini
dari otoritas Palestina pada tahun 2007. Dewan Nasional Palestina, yang identik
dengan Parlemen Palestina, beranggotakan 500 orang. Kedalam, lembaga ini
terdiri dari:
·
Komite
Eksekutif.
·
Kesatuan
Lembaga Penerangan.
·
Lembaga
Kemiliteran Palestina.
·
Pusat
Riset Palestina.
·
Pusat
Tata Perencanaan Palestina.
Dalam hal ini, Komite Eksekutif
membawahkan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Penerangan, Pendanaan
Nasional Palestina, Organisasi Massa, Tanah Air yang Diduduki, Perwakilan PLO,
Masalah Politik, Masalah Administrasi dan Masalah Kemiliteran.
Palestina adalah
Negara yang telah diakui dunia sebagai Negara merdeka, namun konflik dengan Israel
selalu terjadi sehingga berakibat pada kondisi politik dan ekonomi yang tidak
stabil di Palestina.
Saat ini
Palestina dipimpin oleh seorang presiden bernama Mahmoud Abbas. Dahulu Mahmoud
Abbas dikenal sebagai presiden yang sedikit lunak dengan kebijakan-kebijakan
Israel namun kini dia sering bereaksi keras mengenai kebijakan yang diterapkan
Israel dan sekutunya. Misalnya dalam hal pemukiman yang dibangun Israel di Tepi
Barat yang notabene adalah wilayah Palestina.
Sebenarnya
banyak Negara yang mengecam mengenai pembangunan pemukiman ditepi barat bahkan
Jerman membatalkan pertemuan tingkat tinggi dengan ‘Israel’ yang
dijadwalkan berlangsung di Baitul Maqdis tanggal 10 Maret 2017
mendatang. Haaretz menyebutkan, salah satu penyebab pembatalan
tersebut adalah Berlin tidak menyetujui keputusan yang diambil Knesset terkait
permukiman ilegal Yahudi. Pemerintah Jerman dalam hal ini akan mengecam baik
secara terang-terangan maupun diplomatis sebagai bentuk penolakan terhadap UU
tersebut. Demikian kata salah seorang pejabat tinggi Jerman sebagaimana
dikutip Haaretz.
Kekejaman Israel
membuat warga palestina berontak, baru-baru ini Hamas yang merupakan organisasi
terbesar di Palestina menyerukan gerakan intifadah.
Juru bicara
resmi gerakan Hamas, Fauzi Ibrahim menyebutkani bahwa aksi intifadah di Tel
Aviv pada Kamis (9/2/2017), merupakan bentuk perlawanan terhadap Israel yang
telah mamasung hak-hak rakyat Palestina.
Jubir Hamas menegaskan, bahwa operasi perlawanan (Intifadah) oleh Abu Mazin an-Nablulsi menunjukkan bahwa rakyat Palestina tidak bisa tinggal diam melihat kebiadaban Israel. “Kami akan mengerahkan segala upaya untuk melawan penjajahan di al-Quds dan Palestina,” ungkapnya.
“Israel akan
menerima akibat dan hasilnya jika Israel masih bersikap sewenang-wenang
terhadap rakyat sipil Palestina. Hamas menyerukan kepada rakyat Palestina di
Tepi Barat untuk bersabar dan tetap bersiap-siaga menghadapi perlawanan Israel.
Operasi Intifadah terhadap warga Israel akan terus berlanjut akibat keijakan
politik PM Netanyahu yang semakin merugikan rakyat Palestina”, tambahnya.
Begitulah
kondisi politik di Palestina, Negara muslim dengan konflik yang belum bisa
terselesaikan.
No comments:
Post a Comment