Sunday, October 8, 2017

ASPEK PSIKOLOGIS DARI KESULITAN BELAJAR

ASPEK PSIKOLOGIS DARI KESULITAN BELAJAR


A.   Latar Belakang
Seperti halnya ilmu kedokteran, psikologi juga terus menerus terlibat dalam upaya penanggulangan kesulitan belajar. Karena implikasi psikologis dari kesulitan belajar maka banyak anak berkesulitan belajar yang dikirim oleh guru psikolog untuk memperoleh pemeriksaan psikologis. Para psikologis merupakan salah satu anggota tim yang sangat penting dalam penanggulangan kesulitan belajar, terutama pada tahap diagnosis dan pemberian rekomendasi upaya perbaikan. Agar guru dapat bekerja dengan baik dalam tim multidispliner maka salah satu keharusan yang sangat penting adalah memahami aspek psikologis dari kesulitan belajar.

B.   Tujuan
Ada tiga macam tujuan yang hendak dicapai melalui pembahasan dalam bab ini. Ketiga tujuan tersebut adalah :
(1)  Aspek psikologi perkembangan dari kesulitan belajar,
(2)  Aspek psikologi behavioral dari kesulitan belajar, dan
(3)  Aspek psikologi kognitif dari kesulitan belajar.

1.    Aspek Psikologi Perkembangan dari Kesulitan Belajar
Ditinjau dari aspek psikologi perkembangan, ada pola perkembangan yang bersifat umum da nada yang bersifat individual. Pola perkembangan yang bersifat umum didasarkan atas hasil generalisasi pola perkembangan manusia pada umumnya. Pola perkembangan ini sangat besar manfaatnya bagi upaya penyusunan kurikulum sekolah bagi anak normal atau anak pada umumnya. Pola perkembangan individual berbeda-beda antara anak yang satu dari anak lainnya. Pola perkembangan individual sangat bermanfaat bagi upaya penyusunan program pendidikan yang sesuai dengan laju perkembangan tiap anak.
Pola perkembangan umum atau pola perkembangan anak normal dapat dijadikan dasar untuk menentukan anak berkesulitan belajar. Ditinjau dari aspek psikologi perkembangan, kesulitan belajar disebabkan oleh factor kematangan. Bertolak dari pandangan semacam itu, mempercepat atau menghambat proses perkembangan dapat menimbulkan masalah belajar. Lingkungan social yang berupaya mempercepat proses perkembangan anak dapat menimbulkan kesulitan belajar, begitu pula dengan lingkungan social  yang tidak memberikan stimulasi terhadap suatu fungsi yang telah matang untuk berkembang.
Bertolak dari aspek psikologi perkembangan, ada dua konsep yang perlu diperhatikan, yaitu kelambtan kematangan dan tahapan-tahpan perkembangan. Berdasarkan dua konsep tersebut maka perlu dipahami implikasinya bagi upaya penanggulangan kesulitan belajar.

a.    Kelambatan Kematangan
Ditinjau dari aspek psikologi perkembangan, kesulitan belajar dapat dipandang sebagai kelambatan kematangan fungsi neurologis tertentu. Menurut pandangan ini, tiap individu memiliki laju perkembangan yang berneda-beda, baik dalam fungsi motoric, kognitif, maupun afektif. Oleh karena itu anak yang memperlihatkan gejala kesulitan belajartidak selayaknya dipandang memiliki disfungsi neurologis tetapi sebagai perbedaan laju perkembangan berbagai fungsi tersebut.
Tuntutan-tuntutan dari sekolah dan upaya mengajarkan sesuatu yang tidak sesuai dengan tahapan perkembangan anak dapat menimbulkan kesulitan belajar. Pandangan ini didukung oleh hasil penelitian Koppitz (Lerner, 1988: 169), yang selama lima tahun melakukan suatu studi terhadap 177 anak berkesulitan belajar yang ditempatkan di kelas khusus. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa sebagian besar dari anak-anak tersebut memperlihatkan kelambatan kematangan Menurut Koppitz, anak-anak berkesulitan belajar memerlukan waktu satu atau dua tahun lebih banyak dari pada yang diperlukan oleh anak yang tidak berkesulitan belajar untuk menyelesaikan tugas-tugas sekolah. Selain itu, hasil penelitian Koppitz menunjukkan bahwa jika anak-anak berkesulitan belajar diberi waktu dan bantuan yang cukup mereka ternyata mampu mengerjakan tugas-tugas akademik secara baik, menurut Lerner (1988: 160).
Kelambatan kematangan juga didukung oleh hasil penelitian yang dilakukan oleh Silver dan Hagin. Hasil penelitian terhadap anak-anak yang diagnosis berkesulitan belajar membaca dan memperoleh pelayanan pendidikan khusus, beberapa tahun kemudian, setelah mereka berusia antara 16 hingga 24 tahun, banyak diantara mereka yang tidak memperlihatkan kesulitan dalam orientasi ruang, dalam membedakanbunyi-bunyi, dan dalam membedakan kiri-kanan, meskipun pada masa anak-anak mereka memperlihatkan adanya problema-problema tersebut. Melalui proses pematangan, beberapa dari berbagai problema tersebut menghilang, tetapi ada pula yang masih menetap.
Pandangan lain tentang pengaruh kematangan terhadap kesulitan belajar dikemukakan oleh Samuel A. Krik. Menurut Krik seperti dikutip oleh Lerner (1988: 169), pada tahap-tahap awal perkembangan anak secara normal cenderung menampilkan fungsi–fungsi yang menyenangkan dan menghindari yang tidak menyenangkan. Ketika suatu fungsi mengalami kelambatan dari kematangan, anak berkesulitan belajarmalah menghindari dan menarik diri aktivitas-aktivitas yang menurut fungsi tersebut. Akibatnya, fungsi yang ditolak tersebut gagal untuk berkembang sehingga kesulitannya menjadi semakin parah.

b.    Tahapan-Tahapan Perkembangan
Tahapan-tahapan perkembangan yang paling erat kaitannya dengan kesulitan belajar di sekolah adalah tahapan-tahapan perkembangan kognitif. Pengertian kognitif mencakup aspek-aspek struktur intelekyang digunakan untuk mengetahui sesuatu, yaitu fungsi mental yang mencakup persepsi, pikiran, symbol, penalaran, dan pemecahan masalah (Girganunarsa, 1981; 234). Perwujudan fungsi kognitif dapat dilihat dari kemampuan anak dalam menggunakan bahasa dan matematika (Weinmen, 1981 : 142).
Piaget sebagai tokoh peneliti perkembangan kognitif sesungguhnya tidak mengemukakan penahapan berdasarkan umur. Penahapan perkembangan kognitif yang didasarkan atas umur dilakukan oleh Ginsburg dan Opper (Dirgagunarsa, 1981: 123). Adapun tahap-tahap perkembangan kognitif tersebut adalah (1)  tahap sensorimotor (usia 0-2 tahun), (2) tahap praoperasional (usia 2-7 tahun), (3) tahap konkret-operasional (usia 7-11 tahun), dan (4) tahap formal-operasional (usia 11 atau lebih).
Tahap operasional formal dimulai pada sekitar umur 11 tahun. Pada tahapan ini anak memperlihatkan adanya suatu masa transisi utama dalam proses berfikir. Pada tahapan ini, anak lebih mampu berfikir abstrak, menggunakan berbagai teori, dan menggunakan berbagai hubungan logis tanpa harus menunjuk pada hal-hal konkret. Tahapan operasi formal ini merupakan landasan yang memungkinkan anak melakukan pemecahan berbagai masalah.  Banyak anak berkesulitan belajar yang meskipun umurnya telah mencapai 11 tahun tetapi masih berada pada tahapan operasi konkret. Mereka memerlukan banyak bantuan dan latihan agar memiliki landasan yang kuat untuk mencapai tahapan operasi formal. Transisi dari suatu tahapan ke tahapan yang lain memerlukan kematangan. Menurut Piaget, tahapan-tahapan tersebut berurutan dan hierarkis. anak hendaknya diberi kesempatan untuk memantapkan perilaku dan berfikir sesuai dengan tahapan-tahapan perkembangannya.

c.    Implikasi Teori Perkembangan bagi Kesulitan Belajar
Teori perkembangan kematangan memiliki implikasi yang bermakna untuk memahami dan mengajar anak berkesulitan belajar. Teori tersebut mengemukakan bahwa kemampuan kognitif anak kualitatif berbeda dari orang dewasa. Kemampuan kognitif berkembang menurut cara yang berurutan yang tidak dapat diubah.
Suatu implikasi penting dari pendekatan perkembangan kematangan adalah bahsa sekolah hendaknya merancang pengalaman belajar untuk mempertinggi kemantapan perkembangan alami. Dalam beberpa hal, lingkungan pendidikan mungkin lebih banyak menghalangi dari pada membantu perkembangan anak. Jika sekolah membuat tuntutan intelektual yang melebihi tahapan perkembangan anak, kesulitan belajar mungkin anak terjadi. Tujuan penting dari sekolah seharusnya adalah untuk memperkuat landasan berfikir anak yang dapat menjadi landasan belajar berikutnya.
Para pendidik umumnya menggunakan istilah kesiapan (readiness) untuk menunjuk pada tahap taraf perkembangan kematangan yang diperlukan sebelum keterampilan yang diinginkan dapat dipelajari. Sebagai contoh, kesiapan untuk berjalan memerlukan suatu saraf tertentu dari perkembangan system neurologis, kekuatan otot yang cukup, dan perkembangan fungsi-fungsi motoric prasyarat tertentu. Hingga seorang bayi memiliki berbagai kemampuan tersebut, upaya mengajarkan keterampilan berjalan akan merupakan pekerjaan yang sia-sia.

2.    Aspek Psikologi Behavioral dari Kesulitan Belajar
Psikologi behavioral memberikan sumbangan teori-teori penting untuk mengajar anak berkesulitan belajar. Pusat perhatian teori-teori ini terutama pada tugas-tugas yang diajarkan dan analisis perilaku yang dibutuhkan untuk mempelajari tugas-tugas tersebut. Pembelajaran yang bertolak dari teori ini kadang-kadang disebut pembelajaran langsung (direct instruction), tetapi ada pula yang menyebut belajar tuntas (mastery learning), pengajaran terarah (directed teaching), analisis tugas (task analysis), atau pengajaran keterampilan berurutan (sequential skills teaching). Suatu rekomendasi yang didasarkan atas teori behavioral adalah bahwa guru hendaknya lebih memusatkan perhatian pada keterampilan-keterampilan akademik yang diperlukan oleh anak dari pada memusatkan pada kekurangan yang menghambat anak untuk belajar.

a.    Analisis Perilaku dan Pembelajaran Langsung
Teori-teori behavioram menghendaki agar guru menganalisis tugas-tugas akademik yang berkenan dengan berbagai keterampilan yang mendasari penyelesaian tugas-tugas tersebut. Berbagai keterampilan tersebut selanjutnya disusun dalam suatu aturan dan urutan logis, dan anak dievaluasi untuk menentukan keterampilan yang telah dikuasai dan yang belum dikuasai. Pembelajaran merupakan pemberian bantuan kepada anak untuk menguasai berbagai subketerampilan yang belum dikuasai. Pembelajaran semacam itu disebut pembelajaran langsung (direct instruction).
Dalam pembelajaran langsung suatu perilaku akhir (terminal behavior) yang diharapkan dari anak dianalisis sehingga menjadi rangkaiantugas-tugas (task) yang berurutan. Berdasarkan analisis tugas (task analysis) tersebut guru melakukan evaluasi terhadap anak untuk menentukan tugas-tugas yang belum dikuasai, dan selanjutnya mengajarkan tugas-tugas yang belum dikuasai tersebut kepada anak. Setelah anak mampu memperlihatkan semua perilaku seperti yang dituntut dalam analisis tugas, semua perilaku tersebut diintegrasikan sehingga perilaku akhir yang diharapkan dapat dicapai. Ada tujuh langkah pembelajaran langsung yang menurut Lerner (1988: 175) perlu diikuti :
1)    Merumuskan tujuan pembelajaran yang harus dicapai oleh anak,
2)    Menganalisis tujuan pembelajaran ke dalam tugas-tugas khusus,
3)    Menyusun tugas-tugas khusus tersebut ke dalam suatu urutan yang logis,
4)    Menentukan tugas-tugas yang telah dan yang belum dikuasai oleh anak,
5)    Mengajarkan tugas-tugas yang belum dikuasai oleh anak,
6)    Mengajarkan hanya satu tugas untuk waktu tertentu, dan baru mengajarkan tugas selanjutnya bila tugas sebelumnya telah dikuasai oleh anak, dan
7)    Melakukan evaluasi untuk menentukan keefektifan program pembelajaran.

b.    Tahap-Tahap Belajar
Para guru mengetahui bahwa diperlukan suatu periode waktu tertentu bagi anak untuk secara penuh memahami suatu konsep yang telah diajarkan. Biasanya anak tidak secara penuh memahami suatu konsep pada saat pertama kali diajarkan. Fenomena ini lebih banyak terjadi pada anak berkesulitan belajar daripada anak yang tidak berkesulitan belajar. Oleh karena itu, dalam merancang kegiatan pembelajaran, guru perlu menyadari keberadaan anak dalam tahapan belajar. Ada empat tahapan belajar yang perlu diperhatikan yaitu perolehan (acquisition), kecakapan (proficiency), pemeliharaan (maintenenance), dan generalisasi (generalization).
1.    Perolehan. Pada tahap ini anak telah terbuka terhadap pengetahuan baru tetapi belum secara penuh memahaminya. Anak masih memerlukan banyak dorongan dan pengaruh dari guru untuk menggunakan pengetahuan tersebut. (contoh: kepada anak diperlihatkan table perkalian lima dan konsepnya dijelaskan sehingga ia mulai memahaminya).
2.    Kecakapan. Pada tahap ini anak mulai memahami pengetahuan atau keterampilan tetapi masih memrlukan banyak latihan. (contoh : setelah anak memahami table dan konsep perkalian lima, ia diberi banyak latihan dalam bentuk menghafal atau menulis, dan diberi macam-macam ulangan pengetahuan).
3.    Pemeliharaan. Anak dapat memelihara atau mempertahankan suatu kinerja taraf tinggi setelah pembelajaran langsung, dan ulangan penguatan (reinforcement) dihilangkan. (contoh : anak dapat menggunakan perkalian lima secara cepat tanpa memerlukan pengarahan dan ulangan penguatan dari guru).
4.    Generalisasi. Pada tahap ini anak telah memiliki dan menginternalisasikan pengetahuan yang dipelajarinya sehingga ia dapat menerapkannya ke dalam berbagai situasi. (contoh : anak dapat menerapkan table perkalian lima dalam memecahkan berbagai soal matematika).

c.    Implikasi bagi Kesulitan Belajar
Ada beberapa implikasi teori behavioral bagi kesulitan belajar.
1.    Pembelajaran langsung merupakan pembelajaran yang efektif.
Guru perlu memahami cara melakukan analisis tugas-tugas dan suatu tujuan pembelajaran dan cara menyusun tugas-tugas tersebut secara berurutan. Bagi anak berkesulitan belajar merupakan hal yang sangat penting untuk memperoleh pembelajaran langsung dalam menyelesaikan tugas-tugas akademik.
2.    Pendekatan pembelajaran langsung dapat digabungkan dengan berbagai pendekatan ini.
Jika guru memiliki pengetahuan tentang kekhasan gaya belajar dan kesulitan belajar anak, pembelajaran langsung dapat menjadi lebih efektif jika digabungkan dengan pendekatan yang didasarkan atau gaya belajar anak.
3.    Tahapan belajar anak harus dipertimbangkan
Dalam merancang pembelajaran, tahapan belajar anak merupakan konsep yang sangat penting untuk dipahami dan diperhatikan oleh guru. Guru tidak dapat mengharapkan anak belajar secara sempurna pada awal anak diperkenalkan pada suatu bidang baru. Bagi anak berkesulitan belajar diperlukan usaha yang lebih banyak dari guru untuk membantu mereka melalui tahapan-tahapan belajar bila dibandingkan dengan anak yang tidak berkesulitan belajar.

3.    Aspek Psikologi Kognitif dari Kesulitan Belajar 
Psikologi kognitif berkenaan dengan proses belajar, berfikir, dan mengetahui. Kemampuan kognitif merupakan kelompok keterampilan mental yang esensial pada fungsi-fungsi kemanusiaan. Melalui kemampuan kognitif tersebut memungkinkan manusia mengetahui, menyadari, mengerti, menggunakan abstraksi, menalar, membahas, dan menjadi kreatif. Suatu analisis tentang sifat kognitif merupakan hal yang sangat penting untuk memahami kesulitan belajar. Salah satu teori psikologi kognitif yang membahas kesulitan belajar adalah yang dikenal dengan teori pemrosesan psikologis.
Seperti telah dikemukakan di Bab 1, P.L. 94-142 Amerika Serikat mengemukakan bahwa anak berkesulitan belajar memiliki gangguan dalam satu atau lebih dari proses psikologis dasar yang diperlukanuntuk belajar disekolah. Proses psikologis merupakan kemampuan dalam persepsi, bahasa, ingatan, perhatian, pembentukan konsep (concept formation), pemecahan masalah dsb (Lerner, 1988: 177). Implikasi dari teori gangguan pemrosesan psikologis adalah bahwa kekurangan atau adanya gangguan dalam proses kognitif tersebut merupakan keterbatasan instrinsik yang dapat mengganggu proses belajar anak. Banyak dalam gangguan dalam proses ini merupakan bidang-bidang praakademik atau yang bersifat perkembangan dari belajar. Teori kematangan yang telah dibahas sebelumnya dalam bab ini memandang bahwa gangguan tersebut sebagai suatu kekurangan kesiapan, tetapi teori pemrosesan psikologis memandang lebih jauh dengan mendorong para guru untuk membantu anak mengembangkan kemampuan-kemampuan praakademik, yang diperlukan untuk belajar akademik(Krik seperti dikuti oleh Lerner, 1988: 178).
Teori pemrosesan psikologi merumakan landasan awal dalam bidang kesulitan belajar dengan menghubungkan dalam pemrosesan psikologis dengan abnormalitas dalam system saraf pusat. Dalam mengaplikasian teori tersebut ke dalam pembelajaran, kekurangan atau gangguan dalam persepsi auditoris dan visual memperoleh penekanan khusus. Teori ini telah menyediakan suatu landasan dalam melaksanakan asesmen dan program pembelajaran anak berkesulitan belajar.
Dalam kegiatan pembelajaran, teori pemrosesan psikologis menyarankan agar setelah guru melakukan diagnosis kemampuan dan ketidakmampuan pemrosesan psikologis anak melalui observasi atau tes, mereka perlu membuat preskripsi atau resep metode pengajaran yang sesuai. Menurut Lerner(1988: 178) ada tiga rancangan pembelajaran yang berbeda yang berasal dari teori ini.
a.    Melatih proses yang kurang. Kegunaan metode ini adalah untuk membantu anak membangun dan mengembangkan berbagai fungsi pemrosesan yang lemah melalui latihan. Rancangan pembelajaran merupakan upaya untuk memperbaiki proses yang kurang atau memperbaiki ketidakmampuan dan menyiapkan anak untuk belajar lebih lanjut.
b.    Mengajar melaui proses yang disukai. Pendekatan ini menggunakan modalitas kekuatan anak sebagai dasar strategi pembelajaran. Anak yang lebih menyukai modalitas pendengaran sebagai sarana untuk belajar diajar dengan menggunakan strategi pembelajaran yang lebih menekankan pada penggunaan indera pendengaran. Metode pembelajaran yang menekankan pada modalitas pemrosesan tersebut oleh Lerner (1988: 179) disebut aptitude-treatment-interaction.
c.    Pendekatan kombinasi. Pendekatan pengajaran ketiga meruapakan kombinasi dua pendekatan sebelumnya. Alasannya adalah, bahwa guru tidak hanya menekankan pada kekuatan pemrosesan tetapi juga secara bersamaan psikologis memberikan landasan yang berguna dalam bidang kesulitan belajar. Konsep tersebut memberikan penjelasan yang logis untuk memahami kesulitan belajar, tanpaa menyalahkan anak yang tidak mau belajar. Konsep tersebut juga memungkinkan guru untuk berupaya mengajar anak berkesulitan belajar meskipun untuk itu guru harus bekerja keras.


DAFTAR PUSTAKA


Abdurrahman, Mulyono. 2009. Pendidikan Bagi Anak Berkesulitan Belajar. Jakarta: Asdi Mahasatya

No comments:

Post a Comment

PENGARUH KOMPETENSI GURU TERHADAP HASIL BELAJAR PADA PELAJARAN IPA SISWA KELAS IV SD

    PENGARUH KOMPETENSI GURU TERHADAP HASIL BELAJAR PADA PELAJARAN IPA SISWA KELAS IV SD      BAB I PENDAHULUAN   A.  ...