Thursday, November 16, 2023

GAYA BAHASA DAN SARANA RETORIK

 

GAYA BAHASA DAN SARANA RETORIK

 

Makalah Ini Dibuat untuk Memenuhi Tugas MataKuliah Apresiasi Puisi

 

Dosen Pengampu : Dr. Andri Wicaksono,S.Pd.,M.Pd

 

 

Disusun Oleh :

Kelompok 5

1.      Aldi Susilo                                    (221210012)

2.      Jessika Amanda Putri                  (221210003)

3.      Luluk Dwi Aprila             (221210022)

4.      Wayan Nela Setiama Dewi         (221210033)

 

 

 

 

 

 

 

SEKOLAH TINGGI KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

PERSATUAN GURU REPUBLIK INDONESIA

(STKIP) PGRI BANDAR LAMPUNG

TAHUN AKADEMIK 2023/2024

KATA PENGANTAR

 

Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena dengan rahmat dan perkenan-Nya kami dapat menyelesaikan makalah ini.Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas Apresiasi Puisi .Tidak lupa kami mengucapkan terimakasih kepada Bapak Andri Wicaksono yang telah membimbing kami dalam hal materi pembahasan makalah ini, serta semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini.

 

Dalam makalah ini, akan dibahas Mengenai Gaya Bahasa dan Sarana Retorik. Kami berharap makalah ini dapat memberikan pengetahuan yang nantinya akan bermanfaat untuk kita.

 

Kami menyadari bahwa makalah ini tidak luput dari kekurangan.Oleh karena itu, saran dan kritik yang membangun sangat kami harapkan demi penyempurnaan makalah ini.

 

 

Bandar Lampung, November 2023

 

 

 

Penyusun

 

 

 

 


 

DAFTAR ISI

 

HALAMAN JUDUL.......................................................................................... i

KATA PENGANTAR........................................................................................ ii

DAFTAR ISI...................................................................................................... iii

 

BAB I PENDAHULUAN

A.     Latar Belakang .............................................................................................. 1

B.     Rumusan Masalah........................................................................................... 3

C.     Tujuan Makalah ............................................................................................. 3

 

BAB II PEMBAHASAN

A.     Gaya Bahasa.................................................................................................. 4

1.      Hakikat Gaya Bahasa............................................................................... 4

2.      Fungsi Gaya Bahasa dalam Karya Sastra................................................... 5

3.      Jenis-Jenis Gaya Bahasa........................................................................... 8

B.     Sarana Retorik................................................................................................ 12

1.      Hakikat Sarana Retorik............................................................................. 12

2.      Jenis-Jenis Sarana Retorik ........................................................................ 15

 

BAB III PENUTUP

A.     Kesimpulan..................................................................................................... 19

B.     Saran.............................................................................................................. 19

 

DAFTAR PUSTAKA

 

 

 

 

 


 


BAB I

PENDAHULUAN

 

A.     Latar Belakang

Gaya bahasa menurut Keraf (2006:112) menyatakan bahwa gaya bahasa dalam retorika dikenal dalam istilah Style. Kata style diturunkan dari kata latin yang berarti alat untuk mengukir pada lempengan lilin, namun dewasa ini kata style dapat diartikan sebagai diartikan sebagai kemampuan dan keahlian seseorang dalam menulis atau menggunakan kata-kata secara indah. Retorika itu sendiri merupakan suatu cara penggunaan bahasa untuk memperoleh efek estetis yang diperoleh dengan kreativitas pengungkapan bahasa, yaitu bagaimana pengarang menyiasati bahasa sebagai sarana untuk mengungkapkan gagasannya. Menurut Nurgiyantoro (2002:307) Pengungkapan bahasa dalam sastra itu sendiri dapat mencerminkan sikap dan perasaan pengarang. Karya sastra banyak terlahir dari permasalahan hidup yang dialami oleh penulis, sastra sudah menjadi wadah untuk mengekspresikan pikiran-pikiran ataupun imajinasi manusia yang tidak terbatas pada sebuah cerita saja, akan tetapi sastra juga lahir dalam bentuk syair puisi, lirik-lirik lagu serta bisa juga ditunjukan melalui drama yang diperankan oleh manusia itu sendiri. Jenis karya sastra itu sendiri dikenal dalam dua bentuk, yaitu fiksi dan non-fiksi. Bentuk karya sastra fiksi adalah prosa, puisi, dan drama. Adapun contoh karya sastra non-fiksi yaitu biografi, esai, dan kritik sastra. Lirik lagu sendiri termasuk dalam karya sastra puisi. Karena, pada dasarnya lirik lagu tersebut diambil dari satuan lirik-lirik yang disebut puisi. pengarang akan membuat satuan nada, lalu merangkainya menjadi satu yaitu lagu yang berawal dari proses estetika. Proses estetika itu sendiri merupakan usaha untuk meluapkan dan mengutarakan perasaan hati seseorang pada secarik kertas berupa kata-kata. Selanjutnya kata- kata tersebut ditulis dengan gaya bahasa yang menarik sehingga menjadikannya lagu yang dapat dinikmati oleh masyarakat.

 

 

Gaya bahasa atau majas pada dasarnya saling berkaitan erat dengan semantik karena pada gaya bahasa terdapat makna tersirat yang dapat membuat seseorang sulit untuk memahami makna yang terdapat pada gaya bahasa. Oleh

karena itu, diperlukan kajian semantik agar dapat memahami makna dengan

baik. Menurut Ferdinand de Saussure dalam Chaer (2012:284) yang menyatakan bahwa tanda linguistik (signe linguistique) terdiri dari komponen

signifian dan signifie, maka sesungguhnya studi linguistik tanpa disertai dengan studi semantik adalah tidak ada artinya, sebab kedua komponen itu tidak dapat dipisahkan.

 

Penggunaan gaya bahasa itu sendiri sering digunakan oleh para pengarang karya sastra untuk membuat karyanya menjadi lebih menarik dan memiliki ciri

khasnya sendiri. Salah satu contoh karya sastra yang sangat digemari saat ini

adalah lagu. Sebuah lagu pada umumnya terdiri dari melodi, aransemen, notasi

dan lirik, dimana pada bagian lirik ini pengarang biasanya menyisipkan beberapa gaya bahasa untuk menjadikan lagunya menjadi lebih bermakna dan

menyentuh hati pendengarnya.

 

Sarana pada dasarnya merupakan tipu muslihat pikiran yang mempergunakan susunan bahasa yang khas sehingga pembaca atau pendengar merasa dituntut untuk berpikir. Perbedaan antara sarana retorik di satu pihak, dan bahasa kias dan citraan di pihak lain, terletak pada tujuannya. Walaupun demikian, sebenarnya di antara aspek-aspek bahasa puitik itu sangat sulit ditarik garis perbedaan yang tegas. Istilah-istilah yang sering dipergunakan dalam pembicaraan bahasa kias, seperti metafora, simile, personifikasi, dansimbol juga sering disebut sebagai sarana retorik. Itulah sebabnya, jika di kalangan umum semuanya disebut sebagai majas atau gaya bahasa, hal itu tidak mengherankan. Hanya saja, untuk kepentingan pemahaman puisi secara lebih baik, penetapan ciri masing-masing aspek tersebut tetap penting. Dengan sarana retorik, sikap penyair terhadap objek tertentu atau terhadap gagasan yang diekspresikan dalam puisi menjadi tampak jelas.

 

B.     Rumusan Masalah

a.       Apa yang dimaksud dengan gaya bahasa?

b.      Apa saja fungsi dari gaya bahasa dalam karya sastra?

c.       Apa saja jenis-jenis gaya bahasa?

d.      Apa yang dimaksud dengan sarana retorik?

e.       Apa saja dari jenis-jenis sarana retorik?

 

C.     Tujuan Masalah

a.       Mengetahui dan memahami hakikat gaya bahasa

b.      Mengetahui dan memahami fungsi dari gaya bahasa dalam karya sastra

c.       Mengetahui dan memahami jenis-jenis gaya bahasa

d.      Mengetahui dan memahami hakikat sarana retorik

e.       Mengetahui dan memahami jenis-jenis sarana retorik

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


 

BAB II

PEMBAHASAN

 

A.     Gaya Bahasa

1. Hakikat Gaya Bahasa

Gaya bahasa adalah susunan perkataan yang terjadi karena perasaan yang timbul atau hidup dalam hati penulis, yang menimbulkan suat perasaan tertentu dalam hati pembaca. Gaya bahasa itu menghidupkan kalimat dan memberi gerak pada kalimat. Gaya itu menimbulkan reaksi tertentu, untuk menimbulkan tanggapan pikiran kepada pembaca. Setiap pengarang mempunyai gaya dan cara sendiri dalam melahirkan pikiran. Namun, ada sekumpulan bentuk atau beberapa macam bentuk yang biasa dipergunakan, sering disebut dengan sarana retorika (rhetorical devices). Sarana retorika merupakan sarana kepuitisan yang berupa muslihat pikiran (Altenbernd dalam Pradopo, 2017:93). Corak-corak atau jenis-jenis sarana retorika tiap periode itu ditentukan atau sesuai dengan gaya sajaknya, alirannya, paham, konversi dan konsepsi estetikanya.

 

Sejalan dengan pengertian gaya bahasa di atas Ratna (2010:164) menyatakan gaya bahasa adalah pilihan kata tertentu sesuai dengan maksud penulis atau pembicara dalam rangka memperoleh aspek keindahan. Gaya bahasa digunakan penyair dalam puisinya untuk meningkatkan efek asosiasi tertentu, membandingkan sesuatu dengan yang lain serta untuk memperoleh aspek keindahan. Sujiman (1984:71) menyatakan bahwa style atau gaya bahasa adalah ilmu yang meneliti penggunaan bahasa dalam karya sastra. Sujiman memberi perbedaan istilah antara penggunaan bahasa dengan gaya bahasa. Penggunaan bahasa dalam karya sastra mengandung pengertian penggunaan bahasa yang bersifat normal-praktis. Artinya, hubungan antarsatuan lingualnya dalam konstruksi kalimat itu sejajar sedangkan pemahaman gaya bahasa dianggap memiliki konstruksi yang tidak sejajar konstituen pembentuknya karena konstruksi ini lebih memperhatikan kontekstualitas pada teks karya sastranya.

 

Beragam pandangan terhadap gaya bahasa tersebut mengisyaratkan bahwa puisi memiliki tradisi sendiri, sehingga suatu puisi menolak unsur yang ada pada puisi sebelumnya; tidak hanya dalam hal isi atau persoalan yang diangkat, tetapi juga hal penggunaan bahasanya (Sayuti, 2019:7.5). Gaya bahasa merupakan cara mengungkapkan pikiran melalui bahasa secara khas yang memperlihatkan jiwa dan kepribadian penulis (pemakai bahasa). Unsur antara lain pilihan kata atau diksi, frase, Kausa, dan kalimat. Lebih lanjut diungkap Ardin, dkk. (2019), disebutkan bahwa sebuah gaya bahasa yang baik harus mengandung tiga unsur, meliputi kejujuran, sopan santun, dan menarik.

 

Dengan demikian, bahasa puisi ditandai oleh adanya ketidaksinambungan. Maksudnya, kehadiran puisi selalu didasari oleh adanya ketegangan antara konvensi dan inovasi. Penyair selalu berusaha menciptakan ciri khas baru yang belum dilakukan oleh sebelumnya. Akibatnya, bahasa puisi pun menjadi bahasa yang unik, yang tidak general, tetapi partikular. Keunikan itu karena diciptakan oleh penyair untuk menimbulkan nilai estetis dan untuk menunjukkan partikularitas yang dimilikinya. Partikularitas itu antara lain dicapai melalui penyimpangan kaidah-kaidah bahasa normatif sebagai bentuk kreativitas. Akan tetapi, yang harus selalu disadari bahwa sejauh apapun seorang penyair menyimpangi kaidah normatif, penggunaan bahasa dalam puisinya, tetapi dalam kerangka komunikasi, yakni untuk menyampaikan gagasannya kepada pembaca agar mendapatkan kesan khusus.

 

2. Fungsi Gaya Bahasa dalam Karya Sastra

Sebagai media, melalui bahasa pilihannya masing-masing penyair membangun komunikasi dengan khalayaknya untuk menyampaikan sesuatu. Apa pun yang dikomunikasikan penyair atau sebaliknya, apapun yang dipahami dan ditafsirkan oleh pembaca, selalu bersangkut paut dengan bahasa. Dalam konteks ini, bahasa mengemban fungsi pertamanya, yakni fungsi komunikatif. Di samping mengembang fungsi pertama sebagai pembawa pesan, bahasa puisi memiliki karakteristik khusus, yakni untuk mencapai efek keindahan. Secara sederhana dapat dinyatakan bahwa bahasa puisi tidak sekadar pembawa pesan, tetapi pesan itu harus disampaikan dengan cara yang indah, unik, baru, dan orisinal. Dalam rangka mencapai tujuan estetis itulah penuturan puisi mempunyai pola tersendiri yang diwujudkan dalam pilihan-pilihan gaya bahasa.

 

Fungsi gaya bahasa kias dalam puisi ada beberapa macam dan yang relatif dominan dan sering muncul dalam puisi adalah mengkonkretkan gambaran serta membangkitkan kesan dan suasana (Sayuti, 2019:7.6).

 

a. Fungsi Mengonkretkan Gambaran

Gambaran atau ide yang diungkapkan penyair dalam puisi pada umumnya merupakan hal yang abstrak, asing, atau kadang berupa hal yang kurang masuk akal. Oleh karena itu, penyair harus memilih dan mengambil pembanding yang lebih familiar, konkret, atau nyata melalui gaya bahasa yang digunakan. Gaya bahasa cukup efektif dalam menyampaikan maksud penyair karena gaya bahasa dapat mengonkretkan sesuatu yang abstrak. Konkretitasi digunakan untuk menggambarkan lukisan keadaan atau suasana batin dengan maksud untuk membangkitkan imaji pembaca. Penyair berusaha mengonkretkan kata-kata, kata-kata tersebut diupayakan agar dapat merujuk kepada arti yang menyeluruh.

 

Perhatikan puisi Amir Hamzah berjudul "Berdiri Aku" berikut ini. Cermati pilihan kata dan simbol yang digunakan untuk menggambarkan keadaan dan suasana pantai di sore atau senja hari. Kata-kata yang dipilih dapat mengonkretkan gambaran tentang pantai dengan tepat. seperti camar, buih, bakau, ubur, elang, dan angin pulang digunakan untuk memperjelas gambaran tentang pantai dengan segala keindahannya.

 

BERDIRI AKU

Berdiri aku di senja senyap Camar melayang menepis buih Melayah bakau puncak Berjulang datang ubur terkembang Angin pulang menyeduk bumi Menepuk teluk mengempas emas Lari ke gunung memuncak sunyi Berayun-ayun di atas alas

 

Benang raja mencelup ujung Naik marak mengerak corak Elang leka sayap tergulung dimabuk wama berarak-arak. Dalam rupa maha sempurna Rindu-sendu mengharu kalbu Ingin datang merasa sentosa Menyecap hidup bertentu tuju

 

b. Fungsi Membangkitkan Kesan dan Suasana Tertentu

Kesan dan suasana tertentu dalam diri pembaca setelah melakukan kegiatan membaca puisi berkenaan dengan keterlibatan unsur inderawi dalam diri pembaca. Melalui ungkapan-ungkapan bahasa tertentu, kita sebagai pembaca sering merasakan indera ikut terangsang atau terbangkitkan seolah-olah ikut melihat, mendengar, dan merasakan apa yang dilukiskan dalam teks puisi tertentu. Tentu dan telinga, tetapi kita merasakan keterlibatan unsur inderawi ja, kita tidak melihat dan mendengar secara langsung dengan mata tersebut secara imajinatif.

 

Kata-kata dan kalimat dalam puisi yang mampu membangkitkan pengalaman Indrawi pada ujungnya dapat menumbuhan kesan dan Suasana tertentu dalam diri pembaca. Hal tersebut mungkin terjadi karena kata dan kalimat dalam puisi mampu membangkitkan pengalaman sensoris. Pada saat kita membaca atau mendengar kata atau ungkapan yang melibatkan unsur inderawi dapat memunculkan aktivitas mental dalam rongga imajinasi yang memungkinkan terjadinya gambaran atau kesan khusus dari suatu objek. Kata-kata dan kalimat tersebut mampu membangkitkan kesan dan tertentu yang tertangkap secara inderawi mengenai suatu objek, peristiwa, aksi, tindakan, atau pernyataan-pernyataan. Oleh karena itu, sesuatu yang pada awalnya abstrak, melalui penggunaan kata- kata yang bernuansa inderawi dapat lebih mudah dibayangkan dan diimajinasikan sehingga mudah untuk dipahami. Kata-kata dan kalimat tersebut mampu membangkitkan kesan dan suasana tertentu yang tertangkap secara inderawi mengenai suatu objek, peristiwa, aksi, tindakan, atau pernyataan-pernyataan. Oleh karena itu, sesuatu yang pada awalnya abstrak, melalui penggunaan kata-kata yang bernuansa inderawi dapat lebih mudah dibayangkan dan diimajinasikan sehingga mudah untuk dipahami.

Sebagai contoh, simaklah puisi yang berjudul "Dari Seorang Guru kepada Murid-muridnya" karya Hartoyo Andangjaya berikut ini

 

DARI SEORANG GURU KEPADA MURID-MURIDNYA

Apakah yang kupunya, anak-anakku selain buku-buku dan sedikit ilmu sumber pengabdian kepadamu

 

Kalau di hari Minggu engkau datang ke rumahku aku takut, anak-anakku kursi-kursi tua yang di sana dan meja tulis sederhana dan jendela-jendela yang tak pernah diganti kainnya semua padamu akan bercerita tentang hidup di rumah tangga.

 

Ah, tentang ini aku tak pernah bercerita depan kelas, sedang menatap wajah-wajahmu remaja - horison yang selalu biru bagiku - karena kutahu, anak-anakku engkau terlalu muda engkau terlalu bersih dari dosa

 

Puisi di atas berisi lukisan kehidupan seorang guru yang sederhana dan serba tidak berkecukupan. Jika pelukisan kondisi tersebut dinyatakan dengan kalimat: hidupku yang miskin, sederhana, dan kekurangan, gambaran tersebut belum mampu

 

3. Jenis-jenis Gaya Bahasa

Tarigan (2009:6) membagi gaya bahasa menjadi empat kelompok, yaitu: (1) gaya bahasa perbandingan, (2) gaya bahasa pertentangan, (3) gaya bahasa pertautan, dan (4) gaya bahasa perulangan. Berdasarkan langsung tidaknya makna yang terkandung dalam sebuah kata, frasa, atau klausa. Pembagian gaya bahasa menurut Tarigan kemudian dikutip pula oleh Damayanti (2013:43- 61), Wicaksono (2014:35), dan Sadikin (2011:32-42) menjadi empat kelompok, yaitu: (1) gaya bahasa perulangan: aliterasi, asonansi, antanaklasis, kiasmus, epizeuskis, tautotes, anafora, epistrofa, simploke, mesodiplosis, epanalepsis, anadiplosis; (2) gaya bahasa perbandingan: perumpamaan, metafora, personifikasi, depersonifikasi, alegori, antitesis, pleonasme dan tautologi, perifrasis, antisipasi, koreksio; (3) gaya bahasa pertentangan: hiperbola, litotes, ironi, oksimoron, paronomosia, zeugma dan silepsis, satire, inuendo, antifrasis, paradoks, klimaks, antiklimaks, apostrof, anastrof dan inversi, histeron proteran, hipalase, sinisme, sarkasme; dan (4) gaya bahasa pertautan: metonimia, sinekdoke, alusio, eufimisme, eponim, antonomasia, epitet, erotesis, paralelisme, elipsis, gradasi, asindeton, polisideton.

 

Berbeda dari penjabaran di atas, Keraf (2007:124-145) membagi gaya bahasa berdasarkan struktur kalimat yang meliputi: (1) klimaks: (2) antiklimaks; (3) paralelisme; (4) antitesis, dan (5) repetisi (epizeukis, tautotes, anafora, epistrofa, simploke, mesodiplosis. dan anadiplosis). Kemudian berdasarkan langsung tidaknya makna, meliputi: (1) gaya bahasa retoris terdiri dari aliterasi, asonansi, anastrof, apofasis (preterisiso), apostrof asindenton, polisindenton, kiasmus, elipsis, eufemisme, litotes, histeron, prosteron, dan tautology, perifrasis, prolepsis (antisipasi), erotesis (pertanyaan retoris), silepsis dan zeugma koreksio (epanortosis), hiperbola, paradoks, dan oksimoron; (2) gaya kiasan meliputi persamaan atau simile, metafora, alegori parable, fable, personifikasi (prosopopoeia), alusi, eponim, epitet, sinekdoke, metonimia, antonomasia, hipalase, ironi, sinisme, dan sarkasme, satire, innuendo, antifrasis.

 

Pembagian jenis gaya bahasa yang diungkap oleh Gorys Keraf kemudian dikutip oleh Suminto A. Sayuti dalam bukunya, Puisi (2019:7.19) yang hanya jenis gaya berdasarkan berdasarkan struktur kalimat. Namun, tidak semua jenis gaya bahasa berdasarkan struktur kalimat diuraikan. Yang diuraikan adalah jenis gaya bahasa yang memiliki frekuensi pemakaian relatif tinggi dalam puisi-puisi Indonesia. Jenis gaya bahasa yang dibahas adalah paralelisme, anafora, klimaks dan antiklimaks, polisindenton dan asindenton, dan antitesis. Berikut penjelasan secara lebih komprehensif.

 

 

 

 

a. Paralelisme

Paralelisme adalah gaya bahasa perulangan seperti repetisi yang khusus terdapat dalam puisi, terdiri dari anafora (pengulangan pada awal kalimat) dan epifora (pengulangan di akhir kalimat). Paralelisme dapat diartikan sebagai pengulangan ungkapan yang sama dengan tujuan memperkuat nuansa makna. Keraf (2007:126) berpendapat paralelisme merupakan gaya bahasa yang berusaha mencapai kesejajaran dalam pemakaian kata atau frase yang menduduki fungsi yang sama dalam bentuk gramatikal yang sama. Kata-kata tersebut memiliki pengertian yang dekat. Paralelisme (persejajaran) adalah mengulang isi kalimat yang maksud tujuannya serupa. Kalimat yang berikut hanya dalam satu atau dua kata berlainan dari kalimat yang mendahului (Slametmuljana dalam Pradopo, 2007:97).

 

Jakobson (1996: 14) lebih lanjut menyatakan bahwa realisasi linguistik fungsi puitis adalah melalui paralelisme, atau dikenal sebagai prinsip kesetaraan, "Fungsi puitis memproyeksikan prinsip kesetaraan dari sumbu seleksi ke dalam sumbu kombinasi." Artinya, biasanya dalam bahasa puisi jenis yang sama dari elemen yang dipilih dari sumbu paradigmatik yang sama ditempatkan di berbagai titik dari rantai sintagmatik dan merupakan urutan (Zhao, 2012). Jadi, paralelisme adalah salah satu gaya bahasa yang berusaha mengulang kata atau yang menduduki fungsi gramatikal yang sama untuk mencapai suatu kesejajaran.

 

b. Klimaks

Gaya bahasa klimaks adalah semacam gaya bahasa yang mengandung urutan-urutan pikiran yang setiap kali semakin meningkat kepentingannya dari gagasan-gagasan sebelumnya (Keraf, 2007:124). Jadi, dapat dijelaskan klimaks adalah pemaparan pikiran atau hal berturut-turut dari sederhana dan kurang penting meningkat kepada hal atau gagasan yang penting atau kompleks. Biasanya kalimat tersebut dibaca dengan intonasi dari rendah ke tinggi. Makin tinggi intonasi pengucapannya, makin terjadi ketegangan permasalahan.

 

c. Antiklimaks

Keraf (2007:124) berpendapat bahwa antiklimaks adalah gaya bahasa yang gagasan-gagasannya diurutkan dari yang terpenting berturut-turut ke gagasan yang kurang penting. Antiklimaks adalah gaya bahasa yang susunan ungkapannya disusun makin lama makin menurun.

 

Dalam pengucapannya, kalimat gaya bahasa ini makin menurun dari intonasi tinggi ke intonasi rendah. Oleh karena itu, emosi yang terdapat pada pembaca makin lama makin menurun.

 

d. Anafora

Keraf (2007:127) menyatakan anafora adalah repetisi yang berwujud pengulangan kata pertama pada tiap baris atau kalimat berikutnya. Sedangkan (2009:442) berpendapat bahwa anafora adalah kata atau kelompok kata diulang pada baris berikutnya. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa anafora adalah perulangan kata pertama yang sama pada kalimat berikutnya.

 

e. Polisindenton

Polisindenton adalah pengulangan berupa penggunaan kata tugas tertentu, misalnya "dan" dalam sebuah kalimat. Kata tugas tersebut berfungsi menghubungkan gagasan, rincian, penyebutan, atau sesuatu yang lain yang dianggap sejajar dan seimbang. Artinya, fungsi dan kedudukan sesuatu yang disebutkan secara berurutan dalam kalimat yang bersangkutan sejajar dan seimbang, dan karenanya perlu mendapat penekanan yang sama (Nurgiyantoro,2018:414; Sayuti, 2019:7.24). Frekuensi pemanfaatan polisindenton dalam puisi tidak setinggi dalam prosa fiksi.

 

f .Asindenton

Asidenton adalah pengulangan yang berupa pengulangan pungtuasi, tanda baca, misalnya saja “tanda koma” (,) dalam sebuah kalimat. Asidenton adalah gaya yang berupa acuan bersifat padat dan mampat, beberapa kata, frasa, atau kalimat yang tidak dihubungkan dengan kata penghubung, seperti ucapan Julius Caesar: vini, vidi, vici ‘aku datang, aku lihat, aku menang’.

 

g. Antitesis

Antitesis adalah gaya bahasa yang menggunakan paduan kata yang artinya bertentangan. Keraf (2007:126) berpendapat bahwa antitesis adalah sebuah gaya bahasa yang mengandung gagasan- gagasan yang bertentangan dengan mempergunakan kata-kata atau kelompok kata yang berlawanan. Antitesis dapat diartikan dengan bahasa yang membandingkan dua hal yang berlawanan.

 

B. Sarana Retorik

1. Hakikat Sarana Retorik

Menurut kamus Merriam-Webster Online, Retorika memiliki tiga arti, yaitu: 1) seni bicara atau menulis yang efektif, sebagai (a) kajian mengenai prinsip-prinsip dan aturan komposisi yang dirumuskan oleh para kritikus kuno; (b) studi tentang bicara atau menulis sebagai sarana komunikasi atau persuasi; 2) ketrampilan bicara yang efektif; 3) komunikasi verbal sebagai wacana. Retorika bertujuan melibatkan tiga perhatian pendengar, yaitu logos, pathos, dan ethos, serta lima standar retorika, yaitu penemuan, pengaturan, gaya, ingatan, dan penyampaian. Retorika, tata bahasa, dan logika merupakan tiga seni wacana dari masa sebelum masehi.

 

Sarana pada dasarnya merupakan tipu muslihat pikiran yang mempergunakan susunan bahasa yang khas sehingga pembaca atau pendengar merasa dituntut untuk berpikir. Perbedaan antara sarana retorik di satu pihak, dan bahasa kias dan citraan di pihak lain, terletak pada tujuannya. Walaupun demikian, sebenarnya di antara aspek-aspek bahasa puitik itu sangat sulit ditarik garis perbedaan yang tegas. Istilah-istilah yang sering dipergunakan dalam pembicaraan bahasa kias, seperti metafora, simile, personifikasi, dansimbol juga sering disebut sebagai sarana retorik. Itulah sebabnya, jika di kalangan umum semuanya disebut sebagai majas atau gaya bahasa, hal itu tidak mengherankan. Hanya saja, untuk kepentingan pemahaman puisi secara lebih baik, penetapan ciri masing-masing aspek tersebut tetap penting. Dengan sarana retorik, sikap penyair terhadap objek tertentu atau terhadap gagasan yang diekspresikan dalam puisi menjadi tampak jelas. Jika diperhatikan secara cermat sarana retorik membangun arti melalui struktur sintaktis. Artinya kata-kata tertentu disusun secara khas dalam jalinan konteks pilihan agar penikmat puisi menjadi tertarik dan terpacu daya pikirnya untuk menangkap yang dikemukakan penyair.

 

Semua bentuk sarana retorik dalam puisi merupakan sarana untuk berpikir yang dipergunakan oleh penyair agar pembaca atau pendengar karyanya dapat lebih menghayati gagasan, kecenderungan tematik, perasaan, atau sikap yang dikemukakan, atau suasana yang akan ditumbuhkan dalam puisi secara keseluruhan. Untuk membuat gambaran yang lebih jelas kepada pembaca atau pendengar puisinya, penyair akan mempergunakan bahasa kias metafora dan personifikasi sehingga peristiwa atau gagasan yang diungkap dalam puisinya seolah-olah hadir secara konkret.

 

Bertolak pada aspek-aspek tersebut dapat diketahui bentuk bangunan citraan yang manakah yang menjadi pilihan penyair berikut sumber-sumber yang ditimbanya. Demikian seterusnya, hingga masing-masing aspek bahasa akan menunjukkan peranannya. Dengan demikian, jelaslah bahwa antara bahasa kias, bangunan citra, dan sarana retorik merupakan kesatuan yang tak terpisahkan. Di antaranya hanya dapat dibuat perbedaan-perbedaan. Dalam karya sastra bergaya (seperti puisi, kata adat, pemeo, atau pantun), teknik pembaitan dan panjang-pendeknya frase disesuaikan dengan melodi atau ritme lagu yang diperkuat oleh sarana sarana pengingat (sepekan paralelisme, asonansi, aliterasi, dan lain-lain) yang mengharuskan penyair lisan itu memilih kata-kata tertentu yang spesifik atau menciptakan penggunaan bahasa baru, tetapi dengan pola yang sudah ada (Sweeney dalam Taum, 2011:193-218). Masing-masing teknik dan sarana retorika itu biasanya diikuti secara ketat dan teratur.

 

Setiap pengarang mempunyai gaya dan cara sendiri dalam melahirkan pikiran. Namun, ada sekumpulan bentuk atau beberapa macam bentuk yang biasa dipergunakan, sering disebut dengan sarana retorika (rhetorical devices). Sarana retorika merupakan sarana kepuitisan yang berupa muslihat pikiran (Altenbernd dalam Pradopo, 2017:93).

 

Definisi lain menyatakan bahwa sarana retorika adalah alat penggunaan bahasa yang memperoleh efek estetis yang dapat diperoleh melalui kreativitas pengungkapan bahasa yaitu bagaimana penulis mensiasati bahasa sebagai sarana untuk mengungkapkan gagasannya, sehingga terwujud suatu wacana yang khas dan efektif. Sarana retorika yang dimaksud adalah sarana retorika menurut Abrams (dalam Nurgiyantoro, 2018: 295-296) yaitu: pemajasan, penyiasatan srruktur kalimat, dan citraan.

 

Kemudian, Nurgiyantoro dalam bukunya Sastra Anak (2005:341- 342) juga menjelaskan bahwa sebagai salah satu bentuk teks sastra yang notabene memiliki unsurunsur keindahan kebahasaan yang sengaja dikedepankan, puisi juga mengedepankan keindahan lewat bahasa. Karena media pengekspresian puisi adalah bahasa, keindahan yang dicapai lewat bahasa adalah hal yang utama dan pertama-tama diusahakan ketercapaiannya. Oleh karena itu, adalah suatu hal yang wajar jika kemudian bahasa puisi dimanipulasi, dieksploitasi, disiasati, atau didayakan sedemikian rupa untuk memperoleh efek keindahan tersebut.

 

Untuk mencapai tujuan di atas, ada berbagai cara yang ditempuh dan sebagaimana dikemukakan sebelumnya salah satu wujudnya adalah lewat seleksi kata secara ketat. Selain itu, yang sebenarnya masih juga terkait dengan seleksi kata, ia juga lazim dilakukan lewat penggunaan berbagai bentuk sarana retorika. Sarana retorika merupakan sarana yang efektif untuk memperindah gaya bahasa sebuah teks puisi dan kesastraan pada umumnya. Pengguaan sarana retorika dimaksudkan untuk lebih "menggayakan" dan menghidupkan pengekspresian serta untuk memperoleh efek khusus yang bernilai lebih, baik yang menyangkut bentuk-bentuk ekspresi kebahasaan maupun berbagai dimensi makna yang dapat dibangkitkan (Wibowo, 2012:24). Sarana retorika sengaja dipakai untuk memperindah pengungkapan kebahasaan dan memperluas (juga mengkongkretkan dan memfalitasi) jangkauan pemaknaan.

 

2. Jenis-jenis Sarana Retorik

Corak-corak atau jenis-jenis sarana retorika tiap periode kesastraan di Indonesia ditentukan atau sesuai dengan gaya sajaknya, alirannya, paham, konversi konsepsi estetikanya. Sarana retorika yang dominan adalah tautologi, pleonasme, keseimbangan, retorik retisense, paralelisme, dan penjumlahan (enumerasi). Corak-corak atau jenis-jenis sarana retorika tiap periode atau angkatan ditentukan atau sesuai dengan gaya sajaknya, aliran, paham, serta konvensi dan konsepsi estetikanya. Sarana-sarana retorika yang tidak banyak dipergunakan dalam puisi-puisi Pujangga Baru, di antaranya: Paradoks, hiperbola, pertanyaan retorik, klimaks, kiasmus.

 

Angkatan 45, sesuai dengan aliran ekspresionisme banyak menggunakan sarana retorika yang bertujuan intensitas dan ekspresivitas, di antaranya hiperbola, litotes, tautologi, dan penjumlahan. Hal itu dapat dijumpai dalam karya Sutan Takdir Alisjahbana ( Dalam Gelombang).

 

Dalam puisi tersebut, tampak semua hal berimbang dan semetris, berupa persamaan atau pertentangan; silih berganti tiada henti; - suka-duka; bahagia-merana; tertawa-kecewa. Keseimbangan ini disebabkan oleh tautologi, pleonasme, perseimbangan, dan paralelisme.

·        Tautologi adalah saran retorika yang menyatakan hal atau keadaan dua kali; maksudnya supaya arti kata atau keadaan itu lebih mendalam bagi pembaca atau pendengar.

·        Pleonasme adalah sarana retorika yang sepintas lalu seperti tautologi, tetapi kata yang kedua sebenarnya telah tersimpul dalam kata yang pertama. Sifat atau hal yang dimaksudkan itu lebih terang bagi pembaca atau pendengar.

 

·        Enumerasi adalah saran retorika yang berupa pemecahan suatu hal atau keadaan menjadi beberapa bagian dengan tujuan agar hal atau keadaan itu lebih jelas dan nyata bagi pembaca atau pendengar.

·        Paralelisme (persejajaran) adalah mengulang isi kalimat yang maksud tujuannya serupa. Kalimat yang berikut hanya dalam satu atau dua kata berlainan dari kalimat yang mendahului.

·        Retorik retisense adalah sarana mempergunakan titik-titik banyak untuk mengganti perasaan yang tak terungkapkan. Pada umumnya penyair romantik banyak menggunakan sarana retorika ini, lebih-lebih sajak romantik remaja banyak menggunakannya.

·        Hiperbola adalah saran retorika yang melebih-lebihkan suatu hal atau keadaan, dengan maksud untuk menyangatkan. Untuk intensitas dan ekspresivitas, penyair merasa perlu melebihkan hal yang dibandingkan itu agar mendapatkan perhatian yang lebih seksama dari pembaca.

·        Paradoks adalah sarana retorika yang menyatakan sesuatu secara berlawanan, tetapi sebetulnya tidak bila sungguh-sungguh

·        Kiasmus adalah sarana retorika yang menyatakan sesuatu yang diulang, dan salah satu bagian kalimatnya dibalik posisinya (Pradopo, 2010:95-100).

 

Dalam kaitannya dengan sarana retorik, akhirnya perlu dikemukakan bahwa dalam sejumlah hal, seperti sudah dikemukakan lewat contoh di atas, sarana adalah alat yang membuat pembaca sadar terhadap objek yang disajikan dalam puisi (Sayuti, 2019:6.5). Karenanya, bagi penyair, pemilihan dan penetapan sarana juga dapat dilihat sebagai teknik ekspresi yang membuat objek tertentu bisa diamati dan yang membuatnya menjadi sesuatu yang puitik. Oleh karena itu, sarana retorik juga penting dalam kaitannya dengan hakikat penafsiran puitik, yang karenanya pula menjadi penting dalam pemahaman, pemaknaan, dan penilaian puisi. Dinyatakan demikian karena terdapat sejumlah hal yang melatarbelakanginya, yaitu:

Sarana boleh saja dipertimbangkan, dan sering kali terjadi, secara eksklusif sebagai sesuatu yang formal, yang berada pada wilayah komposisi (elemen formal), dan bukannya pada isi (elemen semantik); 2) sarana berfungsi sebagai latar belakang yang bersifat khusus, yang bisa berupa bahasa praktis, atau dapat pula berupa tradisi pui tik; 3) sarana adalah yang menjembatani kesenjangan antara dan pembaca, atau yang membuat puisi tertentu menjadi objek estetis yang orisinal dan bernilai.

 

Terkait dengan jenis sarana retorika, Sayuti (2019:6.13) menyajikan pembatasan secara kuantitas hanya pada sarana retorik yang mempunyai frekuensi pemakaian tinggi dalam puisi-puisi Indonesia, yakni (a) repetisi, (b) pertanyaan retoris, (c) ironi, dan (d) alegori.

a. Repetisi

Repetisi merupakan sarana retorik yang berkenaan dengan segala bentuk perulangan, baik pengulangan kata maupun frase dalam baris yang sama, pada permulaan sejumlah baris, pada akhir baris, termasuk pula pengulangan seluruh atau sebagian bait puisi. Fungsinya antara lain sebagai penekan, yakni menekankan sesuatu yang disampaikan oleh penyair, dan mungkin pula untuk melukiskan keadaan atau peristiwa yang terjadi secara terus-menerus.

 

b. Ironi

Ironi merupakan pengungkapan kata-kata yang tidak sesuai atau bertentangan dengan maksud sebenarnya, biasanya bermaksud untuk menyindir atau mengejek. Dari sudut semantis, Sayuti (2010:266) membaginya menjadi tiga: ironi pernyataan; ironi situasi; ironi yang variatif.

 

c. Pertanyaan retoris

Pertanyaan retoris merupakan sarana retorik yang sering dimanfaatkan oleh para penyair. Sarana ini berbentuk pertanyaan yang diajukan tanpa perlu dijawab karena jawabannya sudah tersinge dalam jalinan konteks yang tersedia, atau jawabannya diserahkan sepenuhnya kepada pembaca atau pendengar. Pertanyaan retoris membuat pikiran pembaca bekerja mencari makna yang tersirat dalam puisi, atau baris-baris puisi yang mengandungnya.

 

 

d. Alegori

Alegori adalah cerita kiasan ataupun lukisan kiasan. Cerita kiasan atau lukisan kiasan ini mengisahkan hal lain atau kejadian lain. Pada dasarnya alegori berkaitan dengan bahasa kias jenis metafora. Ada kesamaan karakteristik antara bahasa kias metafora dan alegori, yakni ada unsur yang dibandingkan dengan unsur pembandingnya. Jika dalam metafora perbandingan itu terdapat pada suatu hal atau sesuatu yang diekspresikan dalam larik-larik tertentu, dalam alegori pembandingan itu mencakup keseluruhan makna teks yang bersangkutan. Dalam sebuah puisi secara keseluruhan dipakai sebagai kiasan sesuatu, seseorang, keadaan, kejadian, proses atau hal-hal lain.

 

Majas Alegori adalah sejenis gaya bahasa perbandingan yang dikisahkan dalam lambang-lambang metafora yang diperluas kesinambungan, tempat, objek-objek atau gagasan-gagasan yang diperlambangkan (Tarigan, 2009:24). Menurut Pradopo (2017:71), majas alegori ialah cerita kiasan atau lukisan kiasan. Alegori ini banyak digunakan dalam sajak-sajak Pujangga Baru. Namun, pada waktu sekarang banyak juga sajak-sajak Indonesia modern. Alegori ini sebenarnya metafora yang dilanjutkan.

 

Pada hakikatnya alegori adalah sebuah cerita kiasan yang maknanya tersembunyi pada makna literal. Dengan demikian, terdapat dua makna yang terdapat dalam sebuah teks alegoris Pertama, makna literal, yakni makna yang secara langsung ditunjuk oleh teks. Kedua, makna sebenarnya yang dimaksudkan, yakni makna yang tersembunyi di balik teks literal dan harus ditafsirkan. Makna alegoris dapat dihadirkan melalui prinsip personifikasi yakni dengan "mengorangkan" atau "memanusiakan" sesuatu yang non-human ditampilkan dengan memiliki sifat-sifat manusiawi. Dalam konteks ini, makna alegoris yang sesungguhnya dapat ditemukan melalu rujukan tokoh atau figur yang dihadirkan.

 

 

 

BAB III

PENUTUP

 

A.     Kesimpulan

Dapat disimpulkan bahwa pemahaman mendalam terhadap gaya bahasa dan penerapan saran retorik adalah kunci utama untuk mencapai komunikasi yang efektif dan persuasif. Gaya bahasa memberikan keindahan pada penyampaian pesan, sementara saran retorik mengarahkan pada strategi yang dapat memengaruhi pendengar atau pembaca. Oleh karena itu, penting bagi setiap individu untuk mengasah keterampilan ini guna meningkatkan daya persuasi dan kejelasan komunikasi.

 

B.     Saran

Sebagai saran, praktik terus-menerus dan peningkatan kesadaran terhadap penggunaan gaya bahasa serta saran retorik dapat membantu pengembangan kemampuan komunikasi secara holistik.

Sebagai saran, disarankan agar pembaca terus mengasah kemampuan mereka dalam mengidentifikasi dan menerapkan gaya bahasa yang sesuai dengan konteks komunikasi. Selain itu, praktik aktif menggunakan saran retorik dalam berbicara atau menulis dapat membantu pembaca mengembangkan keahlian komunikasi yang lebih persuasif. Kesadaran dan latihan terus-menerus merupakan kunci untuk memperkuat keterampilan ini, memastikan bahwa pesan yang disampaikan memiliki dampak maksimal pada audiens.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Aminuddin. (2014). Pengantar Apresiasi Sastra. Bandung: Sinar Baru._. 2003. Semantik Pengantar Studi Tentang Makna. Bandung: Cv Sinar Baru.

 

Heryansya, Tedy Rizkha. 2017. “Mengenal Jenis-Jenis Puisi Lama”. Artikel  (online),  https://blog. Ruangguru.com/mengenal-jenis-jenis-puisi-lama,diunduh pada Agustus 2019

 

No comments:

Post a Comment

TINDAK TUTUR LOKUSI DALAM FILM 'TENGGELAMNYA KAPAL VAN DER WIJCK' DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PEMBELAJARAN SASTRA

  TINDAK TUTUR LOKUSI DALAM FILM 'TENGGELAMNYA KAPAL VAN DER WIJCK' DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PEMBELAJARAN SASTRA   BAB I PEND...