GAYA
BAHASA DAN SARANA RETORIK
Makalah Ini Dibuat untuk Memenuhi
Tugas MataKuliah Apresiasi Puisi
Dosen Pengampu : Dr. Andri
Wicaksono,S.Pd.,M.Pd
Disusun
Oleh :
Kelompok
5
1. Aldi Susilo (221210012)
2. Jessika Amanda Putri (221210003)
3. Luluk Dwi Aprila (221210022)
4. Wayan Nela Setiama Dewi (221210033)
SEKOLAH TINGGI
KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
PERSATUAN GURU
REPUBLIK INDONESIA
(STKIP)
PGRI BANDAR LAMPUNG
TAHUN AKADEMIK
2023/2024
KATA
PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan
Yang Maha Esa, karena dengan rahmat dan perkenan-Nya kami dapat menyelesaikan
makalah ini.Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas Apresiasi Puisi .Tidak lupa
kami mengucapkan terimakasih kepada Bapak Andri Wicaksono yang telah membimbing
kami dalam hal materi pembahasan makalah ini, serta semua pihak yang telah
membantu dalam penyusunan makalah ini.
Dalam makalah ini, akan dibahas Mengenai
Gaya Bahasa dan Sarana Retorik. Kami berharap makalah ini dapat memberikan
pengetahuan yang nantinya akan bermanfaat untuk kita.
Kami menyadari bahwa makalah ini tidak
luput dari kekurangan.Oleh karena itu, saran dan kritik yang membangun sangat
kami harapkan demi penyempurnaan makalah ini.
Bandar
Lampung, November 2023
Penyusun
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL.......................................................................................... i
KATA PENGANTAR........................................................................................ ii
DAFTAR ISI...................................................................................................... iii
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang .............................................................................................. 1
B.
Rumusan Masalah........................................................................................... 3
C.
Tujuan Makalah ............................................................................................. 3
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Gaya Bahasa.................................................................................................. 4
1. Hakikat
Gaya Bahasa............................................................................... 4
2. Fungsi
Gaya Bahasa dalam Karya Sastra................................................... 5
3. Jenis-Jenis
Gaya Bahasa........................................................................... 8
B.
Sarana Retorik................................................................................................ 12
1. Hakikat
Sarana Retorik............................................................................. 12
2. Jenis-Jenis
Sarana Retorik ........................................................................ 15
BAB III PENUTUP
A.
Kesimpulan..................................................................................................... 19
B.
Saran.............................................................................................................. 19
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Gaya bahasa menurut Keraf
(2006:112) menyatakan bahwa gaya bahasa dalam retorika dikenal dalam istilah
Style. Kata style diturunkan dari kata latin yang berarti alat untuk mengukir
pada lempengan lilin, namun dewasa ini kata style dapat diartikan sebagai
diartikan sebagai kemampuan dan keahlian seseorang dalam menulis atau
menggunakan kata-kata secara indah. Retorika itu sendiri merupakan suatu cara
penggunaan bahasa untuk memperoleh efek estetis yang diperoleh dengan
kreativitas pengungkapan bahasa, yaitu bagaimana pengarang menyiasati bahasa
sebagai sarana untuk mengungkapkan gagasannya. Menurut Nurgiyantoro (2002:307)
Pengungkapan bahasa dalam sastra itu sendiri dapat mencerminkan sikap dan
perasaan pengarang. Karya sastra banyak terlahir dari permasalahan hidup yang
dialami oleh penulis, sastra sudah menjadi wadah untuk mengekspresikan
pikiran-pikiran ataupun imajinasi manusia yang tidak
terbatas pada sebuah cerita saja, akan tetapi sastra juga lahir dalam bentuk
syair puisi, lirik-lirik lagu serta bisa juga ditunjukan melalui drama yang
diperankan oleh manusia itu sendiri. Jenis karya sastra itu sendiri dikenal
dalam dua bentuk, yaitu fiksi dan non-fiksi. Bentuk karya sastra fiksi adalah
prosa, puisi, dan drama. Adapun contoh karya sastra non-fiksi yaitu biografi,
esai, dan kritik sastra. Lirik lagu sendiri termasuk dalam karya sastra puisi.
Karena, pada dasarnya lirik lagu tersebut diambil dari satuan lirik-lirik yang
disebut puisi. pengarang akan membuat satuan nada, lalu merangkainya menjadi
satu yaitu lagu yang berawal dari proses estetika. Proses estetika itu sendiri
merupakan usaha untuk meluapkan dan mengutarakan perasaan hati seseorang pada
secarik kertas berupa kata-kata. Selanjutnya kata- kata tersebut ditulis dengan
gaya bahasa yang menarik sehingga menjadikannya lagu yang dapat dinikmati oleh
masyarakat.
Gaya bahasa atau majas pada
dasarnya saling berkaitan erat dengan semantik karena pada gaya bahasa terdapat
makna tersirat yang dapat membuat seseorang sulit untuk memahami makna yang
terdapat pada gaya bahasa. Oleh
karena itu, diperlukan kajian
semantik agar dapat memahami makna dengan
baik. Menurut Ferdinand de Saussure
dalam Chaer (2012:284) yang menyatakan bahwa tanda linguistik (signe
linguistique) terdiri dari komponen
signifian dan signifie, maka
sesungguhnya studi linguistik tanpa disertai dengan studi semantik adalah tidak
ada artinya, sebab kedua komponen itu tidak dapat dipisahkan.
Penggunaan gaya bahasa itu sendiri
sering digunakan oleh para pengarang karya sastra untuk membuat karyanya
menjadi lebih menarik dan memiliki ciri
khasnya sendiri. Salah satu contoh
karya sastra yang sangat digemari saat ini
adalah lagu. Sebuah lagu pada
umumnya terdiri dari melodi, aransemen, notasi
dan lirik, dimana pada bagian lirik
ini pengarang biasanya menyisipkan beberapa gaya bahasa untuk menjadikan
lagunya menjadi lebih bermakna dan
menyentuh hati pendengarnya.
Sarana pada dasarnya merupakan tipu
muslihat pikiran yang mempergunakan susunan bahasa yang khas sehingga pembaca
atau pendengar merasa dituntut untuk berpikir. Perbedaan antara sarana retorik
di satu pihak, dan bahasa kias dan citraan di pihak lain, terletak pada
tujuannya. Walaupun demikian, sebenarnya di antara aspek-aspek bahasa puitik
itu sangat sulit ditarik garis perbedaan yang tegas. Istilah-istilah yang
sering dipergunakan dalam pembicaraan bahasa kias, seperti metafora, simile,
personifikasi, dansimbol juga sering disebut sebagai sarana retorik. Itulah
sebabnya, jika di kalangan umum semuanya disebut sebagai majas atau gaya
bahasa, hal itu tidak mengherankan. Hanya saja, untuk kepentingan pemahaman
puisi secara lebih baik, penetapan ciri masing-masing aspek tersebut tetap
penting. Dengan sarana retorik, sikap penyair terhadap objek tertentu atau
terhadap gagasan yang diekspresikan dalam puisi menjadi tampak jelas.
B. Rumusan
Masalah
a.
Apa yang dimaksud dengan gaya bahasa?
b.
Apa saja fungsi dari gaya bahasa dalam
karya sastra?
c.
Apa saja jenis-jenis gaya bahasa?
d.
Apa yang dimaksud dengan sarana retorik?
e.
Apa saja dari jenis-jenis sarana
retorik?
C. Tujuan
Masalah
a. Mengetahui
dan memahami hakikat gaya bahasa
b. Mengetahui
dan memahami fungsi dari gaya bahasa dalam karya sastra
c. Mengetahui
dan memahami jenis-jenis gaya bahasa
d. Mengetahui
dan memahami hakikat sarana retorik
e. Mengetahui
dan memahami jenis-jenis sarana retorik
BAB II
PEMBAHASAN
A. Gaya
Bahasa
1.
Hakikat Gaya Bahasa
Gaya bahasa adalah susunan
perkataan yang terjadi karena perasaan yang timbul atau hidup dalam hati
penulis, yang menimbulkan suat perasaan tertentu dalam hati pembaca. Gaya
bahasa itu menghidupkan kalimat dan memberi gerak pada kalimat. Gaya itu
menimbulkan reaksi tertentu, untuk menimbulkan tanggapan pikiran kepada
pembaca. Setiap pengarang mempunyai gaya dan cara sendiri dalam melahirkan
pikiran. Namun, ada sekumpulan bentuk atau beberapa macam bentuk yang biasa
dipergunakan, sering disebut dengan sarana retorika (rhetorical devices).
Sarana retorika merupakan sarana kepuitisan yang berupa muslihat pikiran
(Altenbernd dalam Pradopo, 2017:93). Corak-corak atau jenis-jenis sarana
retorika tiap periode itu ditentukan atau sesuai dengan gaya sajaknya,
alirannya, paham, konversi dan konsepsi estetikanya.
Sejalan dengan pengertian gaya
bahasa di atas Ratna (2010:164) menyatakan gaya bahasa adalah pilihan kata
tertentu sesuai dengan maksud penulis atau pembicara dalam rangka memperoleh
aspek keindahan. Gaya bahasa digunakan penyair dalam puisinya untuk
meningkatkan efek asosiasi tertentu, membandingkan sesuatu dengan yang lain
serta untuk memperoleh aspek keindahan. Sujiman (1984:71) menyatakan bahwa
style atau gaya bahasa adalah ilmu yang meneliti penggunaan bahasa dalam karya
sastra. Sujiman memberi perbedaan istilah antara penggunaan bahasa dengan gaya
bahasa. Penggunaan bahasa dalam karya sastra mengandung pengertian penggunaan
bahasa yang bersifat normal-praktis. Artinya, hubungan antarsatuan lingualnya
dalam konstruksi kalimat itu sejajar sedangkan pemahaman gaya bahasa dianggap
memiliki konstruksi yang tidak sejajar konstituen pembentuknya karena
konstruksi ini lebih memperhatikan kontekstualitas pada teks karya sastranya.
Beragam pandangan terhadap gaya
bahasa tersebut mengisyaratkan bahwa puisi memiliki tradisi sendiri, sehingga
suatu puisi menolak unsur yang ada pada puisi sebelumnya; tidak hanya dalam hal
isi atau persoalan yang diangkat, tetapi juga hal penggunaan bahasanya (Sayuti,
2019:7.5). Gaya bahasa merupakan cara mengungkapkan pikiran melalui bahasa
secara khas yang memperlihatkan jiwa dan kepribadian penulis (pemakai bahasa).
Unsur antara lain pilihan kata atau diksi, frase, Kausa, dan kalimat. Lebih
lanjut diungkap Ardin, dkk. (2019), disebutkan bahwa sebuah gaya bahasa yang
baik harus mengandung tiga unsur, meliputi kejujuran, sopan santun, dan
menarik.
Dengan demikian, bahasa puisi
ditandai oleh adanya ketidaksinambungan. Maksudnya, kehadiran puisi selalu
didasari oleh adanya ketegangan antara konvensi dan inovasi. Penyair selalu
berusaha menciptakan ciri khas baru yang belum dilakukan oleh sebelumnya.
Akibatnya, bahasa puisi pun menjadi bahasa yang unik, yang tidak general,
tetapi partikular. Keunikan itu karena diciptakan oleh penyair untuk
menimbulkan nilai estetis dan untuk menunjukkan partikularitas yang
dimilikinya. Partikularitas itu antara lain dicapai melalui penyimpangan
kaidah-kaidah bahasa normatif sebagai bentuk kreativitas. Akan tetapi, yang
harus selalu disadari bahwa sejauh apapun seorang penyair menyimpangi kaidah
normatif, penggunaan bahasa dalam puisinya, tetapi dalam kerangka komunikasi,
yakni untuk menyampaikan gagasannya kepada pembaca agar mendapatkan kesan
khusus.
2.
Fungsi Gaya Bahasa dalam Karya Sastra
Sebagai media, melalui bahasa
pilihannya masing-masing penyair membangun komunikasi dengan khalayaknya untuk
menyampaikan sesuatu. Apa pun yang dikomunikasikan penyair atau sebaliknya,
apapun yang dipahami dan ditafsirkan oleh pembaca, selalu bersangkut paut
dengan bahasa. Dalam konteks ini, bahasa mengemban fungsi pertamanya, yakni
fungsi komunikatif. Di samping mengembang fungsi pertama sebagai pembawa pesan,
bahasa puisi memiliki karakteristik khusus, yakni untuk mencapai efek
keindahan. Secara sederhana dapat dinyatakan bahwa bahasa puisi tidak sekadar
pembawa pesan, tetapi pesan itu harus disampaikan dengan cara yang indah, unik,
baru, dan orisinal. Dalam rangka mencapai tujuan estetis itulah penuturan puisi
mempunyai pola tersendiri yang diwujudkan dalam pilihan-pilihan gaya bahasa.
Fungsi gaya bahasa kias dalam puisi
ada beberapa macam dan yang relatif dominan dan sering muncul dalam puisi
adalah mengkonkretkan gambaran serta membangkitkan kesan dan suasana (Sayuti,
2019:7.6).
a. Fungsi Mengonkretkan Gambaran
Gambaran atau ide yang diungkapkan
penyair dalam puisi pada umumnya merupakan hal yang abstrak, asing, atau kadang
berupa hal yang kurang masuk akal. Oleh karena itu, penyair harus memilih dan
mengambil pembanding yang lebih familiar, konkret, atau nyata melalui gaya
bahasa yang digunakan. Gaya bahasa cukup efektif dalam menyampaikan maksud
penyair karena gaya bahasa dapat mengonkretkan sesuatu yang abstrak.
Konkretitasi digunakan untuk menggambarkan lukisan keadaan atau suasana batin
dengan maksud untuk membangkitkan imaji pembaca. Penyair berusaha mengonkretkan
kata-kata, kata-kata tersebut diupayakan agar dapat merujuk kepada arti yang
menyeluruh.
Perhatikan puisi Amir Hamzah
berjudul "Berdiri Aku" berikut ini. Cermati pilihan kata dan simbol
yang digunakan untuk menggambarkan keadaan dan suasana pantai di sore atau
senja hari. Kata-kata yang dipilih dapat mengonkretkan gambaran tentang pantai
dengan tepat. seperti camar, buih, bakau, ubur, elang, dan angin pulang
digunakan untuk memperjelas gambaran tentang pantai dengan segala keindahannya.
BERDIRI AKU
Berdiri aku di senja senyap Camar
melayang menepis buih Melayah bakau puncak Berjulang datang ubur terkembang
Angin pulang menyeduk bumi Menepuk teluk mengempas emas Lari ke gunung memuncak
sunyi Berayun-ayun di atas alas
Benang raja mencelup ujung Naik
marak mengerak corak Elang leka sayap tergulung dimabuk wama berarak-arak.
Dalam rupa maha sempurna Rindu-sendu mengharu kalbu Ingin datang merasa sentosa
Menyecap hidup bertentu tuju
b. Fungsi Membangkitkan Kesan dan
Suasana Tertentu
Kesan dan suasana tertentu dalam
diri pembaca setelah melakukan kegiatan membaca puisi berkenaan dengan
keterlibatan unsur inderawi dalam diri pembaca. Melalui ungkapan-ungkapan
bahasa tertentu, kita sebagai pembaca sering merasakan indera ikut terangsang
atau terbangkitkan seolah-olah ikut melihat, mendengar, dan merasakan apa yang
dilukiskan dalam teks puisi tertentu. Tentu dan telinga, tetapi kita merasakan
keterlibatan unsur inderawi ja, kita tidak melihat dan mendengar secara
langsung dengan mata tersebut secara imajinatif.
Kata-kata dan kalimat dalam puisi
yang mampu membangkitkan pengalaman Indrawi pada ujungnya dapat menumbuhan
kesan dan Suasana tertentu dalam diri pembaca. Hal tersebut mungkin terjadi
karena kata dan kalimat dalam puisi mampu membangkitkan pengalaman sensoris.
Pada saat kita membaca atau mendengar kata atau ungkapan yang melibatkan unsur
inderawi dapat memunculkan aktivitas mental dalam rongga imajinasi yang
memungkinkan terjadinya gambaran atau kesan khusus dari suatu objek. Kata-kata
dan kalimat tersebut mampu membangkitkan kesan dan tertentu yang tertangkap
secara inderawi mengenai suatu objek, peristiwa, aksi, tindakan, atau
pernyataan-pernyataan. Oleh karena itu, sesuatu yang pada awalnya abstrak,
melalui penggunaan kata- kata yang bernuansa inderawi dapat lebih mudah dibayangkan
dan diimajinasikan sehingga mudah untuk dipahami. Kata-kata dan kalimat
tersebut mampu membangkitkan kesan dan suasana tertentu yang tertangkap secara
inderawi mengenai suatu objek, peristiwa, aksi, tindakan, atau
pernyataan-pernyataan. Oleh karena itu, sesuatu yang pada awalnya abstrak,
melalui penggunaan kata-kata yang bernuansa inderawi dapat lebih mudah
dibayangkan dan diimajinasikan sehingga mudah untuk dipahami.
Sebagai contoh, simaklah puisi yang
berjudul "Dari Seorang Guru kepada Murid-muridnya" karya Hartoyo
Andangjaya berikut ini
DARI SEORANG GURU KEPADA
MURID-MURIDNYA
Apakah yang kupunya, anak-anakku
selain buku-buku dan sedikit ilmu sumber pengabdian kepadamu
Kalau di hari Minggu engkau datang
ke rumahku aku takut, anak-anakku kursi-kursi tua yang di sana dan meja tulis
sederhana dan jendela-jendela yang tak pernah diganti kainnya semua padamu akan
bercerita tentang hidup di rumah tangga.
Ah, tentang ini aku tak pernah
bercerita depan kelas, sedang menatap wajah-wajahmu remaja - horison yang
selalu biru bagiku - karena kutahu, anak-anakku engkau terlalu muda engkau
terlalu bersih dari dosa
Puisi di atas berisi lukisan
kehidupan seorang guru yang sederhana dan serba tidak berkecukupan. Jika
pelukisan kondisi tersebut dinyatakan dengan kalimat: hidupku yang miskin,
sederhana, dan kekurangan, gambaran tersebut belum mampu
3.
Jenis-jenis Gaya Bahasa
Tarigan (2009:6) membagi gaya
bahasa menjadi empat kelompok, yaitu: (1) gaya bahasa perbandingan, (2) gaya
bahasa pertentangan, (3) gaya bahasa pertautan, dan (4) gaya bahasa perulangan.
Berdasarkan langsung tidaknya makna yang terkandung dalam sebuah kata, frasa,
atau klausa. Pembagian gaya bahasa menurut Tarigan kemudian dikutip pula oleh
Damayanti (2013:43- 61), Wicaksono (2014:35), dan Sadikin (2011:32-42) menjadi
empat kelompok, yaitu: (1) gaya bahasa perulangan: aliterasi, asonansi,
antanaklasis, kiasmus, epizeuskis, tautotes, anafora, epistrofa, simploke,
mesodiplosis, epanalepsis, anadiplosis; (2) gaya bahasa perbandingan:
perumpamaan, metafora, personifikasi, depersonifikasi, alegori, antitesis,
pleonasme dan tautologi, perifrasis, antisipasi, koreksio; (3) gaya bahasa
pertentangan: hiperbola, litotes, ironi, oksimoron, paronomosia, zeugma dan
silepsis, satire, inuendo, antifrasis, paradoks, klimaks, antiklimaks,
apostrof, anastrof dan inversi, histeron proteran, hipalase, sinisme, sarkasme;
dan (4) gaya bahasa pertautan: metonimia, sinekdoke, alusio, eufimisme, eponim,
antonomasia, epitet, erotesis, paralelisme, elipsis, gradasi, asindeton,
polisideton.
Berbeda dari penjabaran di atas,
Keraf (2007:124-145) membagi gaya bahasa berdasarkan struktur kalimat yang
meliputi: (1) klimaks: (2) antiklimaks; (3) paralelisme; (4) antitesis, dan (5)
repetisi (epizeukis, tautotes, anafora, epistrofa, simploke, mesodiplosis. dan
anadiplosis). Kemudian berdasarkan langsung tidaknya makna, meliputi: (1) gaya
bahasa retoris terdiri dari aliterasi, asonansi, anastrof, apofasis
(preterisiso), apostrof asindenton, polisindenton, kiasmus, elipsis, eufemisme,
litotes, histeron, prosteron, dan tautology, perifrasis, prolepsis
(antisipasi), erotesis (pertanyaan retoris), silepsis dan zeugma koreksio
(epanortosis), hiperbola, paradoks, dan oksimoron; (2) gaya kiasan meliputi
persamaan atau simile, metafora, alegori parable, fable, personifikasi
(prosopopoeia), alusi, eponim, epitet, sinekdoke, metonimia, antonomasia,
hipalase, ironi, sinisme, dan sarkasme, satire, innuendo, antifrasis.
Pembagian jenis gaya bahasa yang
diungkap oleh Gorys Keraf kemudian dikutip oleh Suminto A. Sayuti dalam
bukunya, Puisi (2019:7.19) yang hanya jenis gaya berdasarkan berdasarkan
struktur kalimat. Namun, tidak semua jenis gaya bahasa berdasarkan struktur
kalimat diuraikan. Yang diuraikan adalah jenis gaya bahasa yang memiliki
frekuensi pemakaian relatif tinggi dalam puisi-puisi Indonesia. Jenis gaya
bahasa yang dibahas adalah paralelisme, anafora, klimaks dan antiklimaks,
polisindenton dan asindenton, dan antitesis. Berikut penjelasan secara lebih
komprehensif.
a. Paralelisme
Paralelisme adalah gaya bahasa
perulangan seperti repetisi yang khusus terdapat dalam puisi, terdiri dari
anafora (pengulangan pada awal kalimat) dan epifora (pengulangan di akhir
kalimat). Paralelisme dapat diartikan sebagai pengulangan ungkapan yang sama
dengan tujuan memperkuat nuansa makna. Keraf (2007:126) berpendapat paralelisme
merupakan gaya bahasa yang berusaha mencapai kesejajaran dalam pemakaian kata
atau frase yang menduduki fungsi yang sama dalam bentuk gramatikal yang sama.
Kata-kata tersebut memiliki pengertian yang dekat. Paralelisme (persejajaran)
adalah mengulang isi kalimat yang maksud tujuannya serupa. Kalimat yang berikut
hanya dalam satu atau dua kata berlainan dari kalimat yang mendahului
(Slametmuljana dalam Pradopo, 2007:97).
Jakobson (1996: 14) lebih lanjut
menyatakan bahwa realisasi linguistik fungsi puitis adalah melalui paralelisme,
atau dikenal sebagai prinsip kesetaraan, "Fungsi puitis memproyeksikan
prinsip kesetaraan dari sumbu seleksi ke dalam sumbu kombinasi." Artinya, biasanya
dalam bahasa puisi jenis yang sama dari elemen yang dipilih dari sumbu
paradigmatik yang sama ditempatkan di berbagai titik dari rantai sintagmatik
dan merupakan urutan (Zhao, 2012). Jadi, paralelisme adalah salah satu gaya
bahasa yang berusaha mengulang kata atau yang menduduki fungsi gramatikal yang
sama untuk mencapai suatu kesejajaran.
b. Klimaks
Gaya bahasa klimaks adalah semacam
gaya bahasa yang mengandung urutan-urutan pikiran yang setiap kali semakin
meningkat kepentingannya dari gagasan-gagasan sebelumnya (Keraf, 2007:124).
Jadi, dapat dijelaskan klimaks adalah pemaparan pikiran atau hal berturut-turut
dari sederhana dan kurang penting meningkat kepada hal atau gagasan yang
penting atau kompleks. Biasanya kalimat tersebut dibaca dengan intonasi dari rendah
ke tinggi. Makin tinggi intonasi pengucapannya, makin terjadi ketegangan
permasalahan.
c. Antiklimaks
Keraf (2007:124) berpendapat bahwa
antiklimaks adalah gaya bahasa yang gagasan-gagasannya diurutkan dari yang
terpenting berturut-turut ke gagasan yang kurang penting. Antiklimaks adalah
gaya bahasa yang susunan ungkapannya disusun makin lama makin menurun.
Dalam pengucapannya, kalimat gaya
bahasa ini makin menurun dari intonasi tinggi ke intonasi rendah. Oleh karena
itu, emosi yang terdapat pada pembaca makin lama makin menurun.
d. Anafora
Keraf (2007:127) menyatakan anafora
adalah repetisi yang berwujud pengulangan kata pertama pada tiap baris atau
kalimat berikutnya. Sedangkan (2009:442) berpendapat bahwa anafora adalah kata
atau kelompok kata diulang pada baris berikutnya. Dengan demikian, dapat
dikatakan bahwa anafora adalah perulangan kata pertama yang sama pada kalimat
berikutnya.
e. Polisindenton
Polisindenton adalah pengulangan
berupa penggunaan kata tugas tertentu, misalnya "dan" dalam sebuah
kalimat. Kata tugas tersebut berfungsi menghubungkan gagasan, rincian,
penyebutan, atau sesuatu yang lain yang dianggap sejajar dan seimbang. Artinya,
fungsi dan kedudukan sesuatu yang disebutkan secara berurutan dalam kalimat
yang bersangkutan sejajar dan seimbang, dan karenanya perlu mendapat penekanan
yang sama (Nurgiyantoro,2018:414; Sayuti, 2019:7.24). Frekuensi pemanfaatan
polisindenton dalam puisi tidak setinggi dalam prosa fiksi.
f .Asindenton
Asidenton adalah pengulangan yang
berupa pengulangan pungtuasi, tanda baca, misalnya saja “tanda koma” (,) dalam
sebuah kalimat. Asidenton adalah gaya yang berupa acuan bersifat padat dan
mampat, beberapa kata, frasa, atau kalimat yang tidak dihubungkan dengan kata
penghubung, seperti ucapan Julius Caesar: vini, vidi, vici ‘aku datang, aku
lihat, aku menang’.
g. Antitesis
Antitesis adalah gaya bahasa yang
menggunakan paduan kata yang artinya bertentangan. Keraf (2007:126) berpendapat
bahwa antitesis adalah sebuah gaya bahasa yang mengandung gagasan- gagasan yang
bertentangan dengan mempergunakan kata-kata atau kelompok kata yang berlawanan.
Antitesis dapat diartikan dengan bahasa yang membandingkan dua hal yang
berlawanan.
B.
Sarana Retorik
1.
Hakikat Sarana Retorik
Menurut kamus Merriam-Webster
Online, Retorika memiliki tiga arti, yaitu: 1) seni bicara atau menulis yang
efektif, sebagai (a) kajian mengenai prinsip-prinsip dan aturan komposisi yang
dirumuskan oleh para kritikus kuno; (b) studi tentang bicara atau menulis
sebagai sarana komunikasi atau persuasi; 2) ketrampilan bicara yang efektif; 3)
komunikasi verbal sebagai wacana. Retorika bertujuan melibatkan tiga perhatian
pendengar, yaitu logos, pathos, dan ethos, serta lima standar retorika, yaitu
penemuan, pengaturan, gaya, ingatan, dan penyampaian. Retorika, tata bahasa,
dan logika merupakan tiga seni wacana dari masa sebelum masehi.
Sarana
pada dasarnya merupakan tipu muslihat pikiran yang mempergunakan susunan bahasa
yang khas sehingga pembaca atau pendengar merasa dituntut untuk berpikir.
Perbedaan antara sarana retorik di satu pihak, dan bahasa kias dan citraan di
pihak lain, terletak pada tujuannya. Walaupun demikian, sebenarnya di antara
aspek-aspek bahasa puitik itu sangat sulit ditarik garis perbedaan yang tegas.
Istilah-istilah yang sering dipergunakan dalam pembicaraan bahasa kias, seperti
metafora, simile, personifikasi, dansimbol juga sering disebut sebagai sarana
retorik. Itulah sebabnya, jika di kalangan umum semuanya disebut sebagai majas
atau gaya bahasa, hal itu tidak mengherankan. Hanya saja, untuk kepentingan
pemahaman puisi secara lebih baik, penetapan ciri masing-masing aspek tersebut
tetap penting. Dengan sarana retorik, sikap penyair terhadap objek tertentu
atau terhadap gagasan yang diekspresikan dalam puisi menjadi tampak jelas.
Jika diperhatikan secara cermat sarana retorik membangun arti melalui struktur
sintaktis. Artinya kata-kata tertentu disusun secara khas dalam jalinan konteks
pilihan agar penikmat puisi menjadi tertarik dan terpacu daya pikirnya untuk menangkap
yang dikemukakan penyair.
Semua bentuk sarana retorik dalam
puisi merupakan sarana untuk berpikir yang dipergunakan oleh penyair agar
pembaca atau pendengar karyanya dapat lebih menghayati gagasan, kecenderungan
tematik, perasaan, atau sikap yang dikemukakan, atau suasana yang akan
ditumbuhkan dalam puisi secara keseluruhan. Untuk membuat gambaran yang lebih
jelas kepada pembaca atau pendengar puisinya, penyair akan mempergunakan bahasa
kias metafora dan personifikasi sehingga peristiwa atau gagasan yang diungkap
dalam puisinya seolah-olah hadir secara konkret.
Bertolak pada aspek-aspek tersebut
dapat diketahui bentuk bangunan citraan yang manakah yang menjadi pilihan
penyair berikut sumber-sumber yang ditimbanya. Demikian seterusnya, hingga
masing-masing aspek bahasa akan menunjukkan peranannya. Dengan demikian,
jelaslah bahwa antara bahasa kias, bangunan citra, dan sarana retorik merupakan
kesatuan yang tak terpisahkan. Di antaranya hanya dapat dibuat
perbedaan-perbedaan. Dalam karya sastra bergaya (seperti puisi, kata adat,
pemeo, atau pantun), teknik pembaitan dan panjang-pendeknya frase disesuaikan
dengan melodi atau ritme lagu yang diperkuat oleh sarana sarana pengingat
(sepekan paralelisme, asonansi, aliterasi, dan lain-lain) yang mengharuskan
penyair lisan itu memilih kata-kata tertentu yang spesifik atau menciptakan
penggunaan bahasa baru, tetapi dengan pola yang sudah ada (Sweeney dalam Taum,
2011:193-218). Masing-masing teknik dan sarana retorika itu biasanya diikuti
secara ketat dan teratur.
Setiap pengarang mempunyai gaya dan
cara sendiri dalam melahirkan pikiran. Namun, ada sekumpulan bentuk atau
beberapa macam bentuk yang biasa dipergunakan, sering disebut dengan sarana
retorika (rhetorical devices). Sarana retorika merupakan sarana kepuitisan yang
berupa muslihat pikiran (Altenbernd dalam Pradopo, 2017:93).
Definisi lain menyatakan bahwa
sarana retorika adalah alat penggunaan bahasa yang memperoleh efek estetis yang
dapat diperoleh melalui kreativitas pengungkapan bahasa yaitu bagaimana penulis
mensiasati bahasa sebagai sarana untuk mengungkapkan gagasannya, sehingga
terwujud suatu wacana yang khas dan efektif. Sarana retorika yang dimaksud
adalah sarana retorika menurut Abrams (dalam Nurgiyantoro, 2018: 295-296)
yaitu: pemajasan, penyiasatan srruktur kalimat, dan citraan.
Kemudian, Nurgiyantoro dalam
bukunya Sastra Anak (2005:341- 342) juga menjelaskan bahwa sebagai salah satu
bentuk teks sastra yang notabene memiliki unsurunsur keindahan kebahasaan yang
sengaja dikedepankan, puisi juga mengedepankan keindahan lewat bahasa. Karena
media pengekspresian puisi adalah bahasa, keindahan yang dicapai lewat bahasa
adalah hal yang utama dan pertama-tama diusahakan ketercapaiannya. Oleh karena
itu, adalah suatu hal yang wajar jika kemudian bahasa puisi dimanipulasi,
dieksploitasi, disiasati, atau didayakan sedemikian rupa untuk memperoleh efek
keindahan tersebut.
Untuk mencapai tujuan di atas, ada
berbagai cara yang ditempuh dan sebagaimana dikemukakan sebelumnya salah satu
wujudnya adalah lewat seleksi kata secara ketat. Selain itu, yang sebenarnya
masih juga terkait dengan seleksi kata, ia juga lazim dilakukan lewat
penggunaan berbagai bentuk sarana retorika. Sarana retorika merupakan sarana
yang efektif untuk memperindah gaya bahasa sebuah teks puisi dan kesastraan
pada umumnya. Pengguaan sarana retorika dimaksudkan untuk lebih "menggayakan" dan menghidupkan pengekspresian
serta untuk memperoleh efek khusus yang bernilai lebih, baik yang menyangkut bentuk-bentuk
ekspresi kebahasaan maupun berbagai dimensi makna yang dapat dibangkitkan
(Wibowo, 2012:24). Sarana retorika sengaja dipakai untuk memperindah
pengungkapan kebahasaan dan memperluas (juga mengkongkretkan dan memfalitasi)
jangkauan pemaknaan.
2. Jenis-jenis Sarana Retorik
Corak-corak
atau jenis-jenis sarana retorika tiap periode kesastraan di Indonesia
ditentukan atau sesuai dengan gaya sajaknya, alirannya, paham, konversi
konsepsi estetikanya. Sarana retorika yang dominan adalah tautologi, pleonasme,
keseimbangan, retorik retisense, paralelisme, dan penjumlahan (enumerasi).
Corak-corak atau jenis-jenis sarana retorika tiap periode atau angkatan
ditentukan atau sesuai dengan gaya sajaknya, aliran, paham, serta konvensi dan
konsepsi estetikanya. Sarana-sarana retorika yang tidak banyak dipergunakan
dalam puisi-puisi Pujangga Baru, di antaranya: Paradoks, hiperbola, pertanyaan
retorik, klimaks, kiasmus.
Angkatan
45, sesuai dengan aliran ekspresionisme banyak menggunakan sarana retorika yang
bertujuan intensitas dan ekspresivitas, di antaranya hiperbola, litotes,
tautologi, dan penjumlahan. Hal itu dapat dijumpai dalam karya Sutan Takdir
Alisjahbana ( Dalam Gelombang).
Dalam
puisi tersebut, tampak semua hal berimbang dan semetris, berupa persamaan atau
pertentangan; silih berganti tiada henti; - suka-duka; bahagia-merana;
tertawa-kecewa. Keseimbangan ini disebabkan oleh tautologi, pleonasme,
perseimbangan, dan paralelisme.
·
Tautologi adalah saran retorika yang
menyatakan hal atau keadaan dua kali; maksudnya supaya arti kata atau keadaan
itu lebih mendalam bagi pembaca atau pendengar.
·
Pleonasme adalah sarana retorika yang
sepintas lalu seperti tautologi, tetapi kata yang kedua sebenarnya telah
tersimpul dalam kata yang pertama. Sifat atau hal yang dimaksudkan itu lebih
terang bagi pembaca atau pendengar.
·
Enumerasi adalah saran retorika yang
berupa pemecahan suatu hal atau keadaan menjadi beberapa bagian dengan tujuan
agar hal atau keadaan itu lebih jelas dan nyata bagi pembaca atau pendengar.
·
Paralelisme (persejajaran) adalah
mengulang isi kalimat yang maksud tujuannya serupa. Kalimat yang berikut hanya
dalam satu atau dua kata berlainan dari kalimat yang mendahului.
·
Retorik retisense adalah sarana
mempergunakan titik-titik banyak untuk mengganti perasaan yang tak
terungkapkan. Pada umumnya penyair romantik banyak menggunakan sarana retorika
ini, lebih-lebih sajak romantik remaja banyak menggunakannya.
·
Hiperbola adalah saran retorika yang
melebih-lebihkan suatu hal atau keadaan, dengan maksud untuk menyangatkan.
Untuk intensitas dan ekspresivitas, penyair merasa perlu melebihkan hal yang
dibandingkan itu agar mendapatkan perhatian yang lebih seksama dari pembaca.
·
Paradoks adalah sarana retorika yang
menyatakan sesuatu secara berlawanan, tetapi sebetulnya tidak bila
sungguh-sungguh
·
Kiasmus adalah sarana retorika yang
menyatakan sesuatu yang diulang, dan salah satu bagian kalimatnya dibalik
posisinya (Pradopo, 2010:95-100).
Dalam
kaitannya dengan sarana retorik, akhirnya perlu dikemukakan bahwa dalam
sejumlah hal, seperti sudah dikemukakan lewat contoh di atas, sarana adalah
alat yang membuat pembaca sadar terhadap objek yang disajikan dalam puisi
(Sayuti, 2019:6.5). Karenanya, bagi penyair, pemilihan dan penetapan sarana
juga dapat dilihat sebagai teknik ekspresi yang membuat objek tertentu bisa
diamati dan yang membuatnya menjadi sesuatu yang puitik. Oleh karena itu,
sarana retorik juga penting dalam kaitannya dengan hakikat penafsiran puitik,
yang karenanya pula menjadi penting dalam pemahaman, pemaknaan, dan penilaian
puisi. Dinyatakan demikian karena terdapat sejumlah hal yang
melatarbelakanginya, yaitu:
Sarana
boleh saja dipertimbangkan, dan sering kali terjadi, secara eksklusif sebagai
sesuatu yang formal, yang berada pada wilayah komposisi (elemen formal), dan
bukannya pada isi (elemen semantik); 2) sarana berfungsi sebagai latar belakang
yang bersifat khusus, yang bisa berupa bahasa praktis, atau dapat pula berupa
tradisi pui tik; 3) sarana adalah yang menjembatani kesenjangan antara dan
pembaca, atau yang membuat puisi tertentu menjadi objek estetis yang orisinal
dan bernilai.
Terkait
dengan jenis sarana retorika, Sayuti (2019:6.13) menyajikan pembatasan secara
kuantitas hanya pada sarana retorik yang mempunyai frekuensi pemakaian tinggi
dalam puisi-puisi Indonesia, yakni (a) repetisi, (b) pertanyaan retoris, (c)
ironi, dan (d) alegori.
a.
Repetisi
Repetisi
merupakan sarana retorik yang berkenaan dengan segala bentuk perulangan, baik
pengulangan kata maupun frase dalam baris yang sama, pada permulaan sejumlah
baris, pada akhir baris, termasuk pula pengulangan seluruh atau sebagian bait
puisi. Fungsinya antara lain sebagai penekan, yakni menekankan sesuatu yang
disampaikan oleh penyair, dan mungkin pula untuk melukiskan keadaan atau
peristiwa yang terjadi secara terus-menerus.
b.
Ironi
Ironi
merupakan pengungkapan kata-kata yang tidak sesuai atau bertentangan dengan
maksud sebenarnya, biasanya bermaksud untuk menyindir atau mengejek. Dari sudut
semantis, Sayuti (2010:266) membaginya menjadi tiga: ironi pernyataan; ironi
situasi; ironi yang variatif.
c.
Pertanyaan retoris
Pertanyaan
retoris merupakan sarana retorik yang sering dimanfaatkan oleh para penyair.
Sarana ini berbentuk pertanyaan yang diajukan tanpa perlu dijawab karena
jawabannya sudah tersinge dalam jalinan konteks yang tersedia, atau jawabannya
diserahkan sepenuhnya kepada pembaca atau pendengar. Pertanyaan retoris membuat
pikiran pembaca bekerja mencari makna yang tersirat dalam puisi, atau
baris-baris puisi yang mengandungnya.
d.
Alegori
Alegori
adalah cerita kiasan ataupun lukisan kiasan. Cerita kiasan atau lukisan kiasan
ini mengisahkan hal lain atau kejadian lain. Pada dasarnya alegori berkaitan
dengan bahasa kias jenis metafora. Ada kesamaan karakteristik antara bahasa
kias metafora dan alegori, yakni ada unsur yang dibandingkan dengan unsur
pembandingnya. Jika dalam metafora perbandingan itu terdapat pada suatu hal
atau sesuatu yang diekspresikan dalam larik-larik tertentu, dalam alegori
pembandingan itu mencakup keseluruhan makna teks yang bersangkutan. Dalam
sebuah puisi secara keseluruhan dipakai sebagai kiasan sesuatu, seseorang,
keadaan, kejadian, proses atau hal-hal lain.
Majas
Alegori adalah sejenis gaya bahasa perbandingan yang dikisahkan dalam
lambang-lambang metafora yang diperluas kesinambungan, tempat, objek-objek atau
gagasan-gagasan yang diperlambangkan (Tarigan, 2009:24). Menurut Pradopo
(2017:71), majas alegori ialah cerita kiasan atau lukisan kiasan. Alegori ini
banyak digunakan dalam sajak-sajak Pujangga Baru. Namun, pada waktu sekarang
banyak juga sajak-sajak Indonesia modern. Alegori ini sebenarnya metafora yang
dilanjutkan.
Pada
hakikatnya alegori adalah sebuah cerita kiasan yang maknanya tersembunyi pada
makna literal. Dengan demikian, terdapat dua makna yang terdapat dalam sebuah
teks alegoris Pertama, makna literal, yakni makna yang secara langsung ditunjuk
oleh teks. Kedua, makna sebenarnya yang dimaksudkan, yakni makna yang
tersembunyi di balik teks literal dan harus ditafsirkan. Makna alegoris dapat
dihadirkan melalui prinsip personifikasi yakni dengan "mengorangkan"
atau "memanusiakan" sesuatu yang non-human ditampilkan dengan
memiliki sifat-sifat manusiawi. Dalam konteks ini, makna alegoris yang
sesungguhnya dapat ditemukan melalu rujukan tokoh atau figur yang dihadirkan.
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dapat
disimpulkan bahwa pemahaman mendalam terhadap gaya bahasa dan penerapan saran
retorik adalah kunci utama untuk mencapai komunikasi yang efektif dan
persuasif. Gaya bahasa memberikan keindahan pada penyampaian pesan, sementara
saran retorik mengarahkan pada strategi yang dapat memengaruhi pendengar atau
pembaca. Oleh karena itu, penting bagi setiap individu untuk mengasah
keterampilan ini guna meningkatkan daya persuasi dan kejelasan komunikasi.
B. Saran
Sebagai
saran, praktik terus-menerus dan peningkatan kesadaran terhadap penggunaan gaya
bahasa serta saran retorik dapat membantu pengembangan kemampuan komunikasi
secara holistik.
Sebagai
saran, disarankan agar pembaca terus mengasah kemampuan mereka dalam mengidentifikasi
dan menerapkan gaya bahasa yang sesuai dengan konteks komunikasi. Selain itu,
praktik aktif menggunakan saran retorik dalam berbicara atau menulis dapat
membantu pembaca mengembangkan keahlian komunikasi yang lebih persuasif.
Kesadaran dan latihan terus-menerus merupakan kunci untuk memperkuat
keterampilan ini, memastikan bahwa pesan yang disampaikan memiliki dampak
maksimal pada audiens.
DAFTAR PUSTAKA
Aminuddin.
(2014). Pengantar Apresiasi Sastra. Bandung: Sinar Baru._. 2003. Semantik
Pengantar Studi Tentang Makna. Bandung: Cv Sinar Baru.
Heryansya, Tedy
Rizkha. 2017. “Mengenal Jenis-Jenis Puisi Lama”. Artikel (online),
https://blog. Ruangguru.com/mengenal-jenis-jenis-puisi-lama,diunduh pada
Agustus 2019
No comments:
Post a Comment