BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Semantik merupakan
salah satu cabang linguistik yang berada pada tataran makna. Verhaar, dalam
Pateda (2010:7) mengatakan bahwa semantik adalah teori makna atau teori arti (Inggris
semantics kata sifatnya semantic yang dalam Bahasa Indonesia dipadankan dengan
kata semantik sebagai nomina dan semantis sebagai ajektiva). Kata semantik
disepakati sebagai istilah yang digunakan untuk bidang linguistik ynag
mempelajari hubungan antara tanda-tanda linguistik dengan hal-hal yang
ditandainya, (Chaer, 1995 :2). Dalam mata kuliah semantik ini beberapa ruang
lingkup yang akan dibahas adalah berbagai masalah makna dalam linguistik. Salah
satunya adalah pembahasan mengenai makna dan masalahnya.
Dalam makalah ini
akan dibahas mengenai pengertian makna, informasi, maksud, tanda, lambang,
konsep dan definisi, serta beberapa kaidah umum dalam studi semantik. Dengan
demikian diharapkan dapat memberikan penjelasan tentang perbedaan makna,
informasi dan maksud, serta dapat menambah pengetahuan para pembaca mengenai
studi semantik.
1.2 Rumusan Masalah
Bentuk
permasalahan yang akan dibahas oleh penulis adalah sebagai berikut:
1.
Apa pengertian makna?
2.
Apa itu Informasi?
3.
Apa itu Maksud?
1.3.
Tujuan Makalah
Sejalan
dengan rumusan masalah di atas, Makalah ini disusun
dengan tujuan untuk mngetahui dan mendeskripsikan:
1.
Mengetahui pengertian makna;
2.
Mengetahui tentang
informasi
3. Mengetahui pengertian maksud.
BAB II
PEMBAHASAN
Objek studi
semantik adalah makna, atau dengan lebih tepat makna yang terdapat dalam
satuan-satuan ujaran seperti kata, frase, klausa, dan kalimat. Persoalan makna
memang sangat sulit dan ruwet, walaupun makna ini adalah persoalan bahasa,
tetapi keterkaiatan dan keterkaitannya dengan segala segi kehidupan manusia
sangat erat. (Chaer : 27 , 1995).
Alat interaksi sosial
peranan bahasa besar sekali, bahasa muncul dan diperlukan dalam segala kegiatan
seperti pendidikan, perdagangan, keagamaan, politik, militer dan sebagainya.
Bahasa telah mempermudah dan memperlancar semua kegiatan dengan baik, dan
bahasa mampu mentransfer, keinginan, gagasan kehendak dan emosi dari seorang
manusia kepada manuisa lainnya. Bahasa yang wujudnya berupa bunyi-bunyi ujar
dalam suatu pola bersistem tidak lain dari pada lambang-lambang konsep dan gagasan
yang dipahami dan disepakati bersama oleh para anggota penuturnya.
Persoalan dan
hambatan itu lebih banyak terjadi sebagai akibat dari kemampuan berbahasa dan
bermalas penuturnya yang kurang, sehingga seringkali mereka tidak bisa
membedakan apa yang disebut informasi dan maksud. (Chaer,1995:28).
2.1 Pengertian Makna
Agar dapat memahami
makna atau arti kita perlu melihat kembali pada teori yang dikemukakan
oleh Ferdinand de Saussure, setiap tanda linguistik terdiri dari dua unsur
yaitu :
1. Yang diartikan (Perncis : signife, Inggris, Signified)
2. Yang mengartikan (Perancis, signifiant, inggris,
signifier)
Tidak
lain darinya konsep atau makan dari suatu tanda bunyi. Sedangkan yang
mengartikan itu adalah tidak lain dari bunyi-bunyi itu, yang terbentuk dari
fonem-fonem bahasa yang bersangkutan. Dengan kata lain, setiap tanda linguistik
terdiri dari unsur bunyi dan unsur makna. Kedua unsur ini adalah unsur dari
bahasa (intralingual), yang biasanya merujuk atau mengacu kepada sesuatu
relefan yang merupakan unsur luar biasa (exstalingual).
Makna
adalah bagian yang tidak terpisahkan dari semantik dan selalu melekat dari apa
saja yang kita tuturkan. Pengertian dari makna sendiri sangatlah beragam.
Mansoer Pateda (2001:79) mengemukakan bahwa istilah makna merupakan kata-kata
dan istilah yang membingungkan. Makna tersebut selalu menyatu pada tuturan kata
maupun kalimat. Menurut Ullman (dalam Mansoer Pateda, 2001:82) mengemukakan
bahwa makna adalah hubungan antara makna dengan pengertian. Dalam hal ini
Ferdinand de Saussure (dalam Abdul Chaer, 1994:286) mengungkapkan pengertian
makna sebagai pengertian atau konsep yang dimiliki atau terdapat pada suatu
tanda linguistik.
Sebuah tanda
linguistik dapat juga berwujud sebuah gabungan kata (yang dalam dunia
pengajaran dikenal dengan nama kata majemuk). Misalnya meja hijau yang bermakna
pengadilan, sampul surat yang bermakna amplop, dan mata sapi yang berarti telor
yang digoreng tanpa dihancurkan.
Pada bidang semantik
istilah yang bisa digunakan untuk tanda linguistik itu adalah leksem, yang
lazim didefinisikan sebagai kata atau frase yang merupakan satuan makna.
Sedangkan istilah yang lazim didefinisikan sebagai satuan bahasa yang berdiri
sendiri dan dapat terjadi dari fonem tunggal atau gabungan morfem adalah
istilah dalam bidang gramatik.
Makna atau konsep
bersifat umum, sedangkan sesuatu yang dirujuk yang berada diluar dunia bahasa,
bersifat tertentu. Hubungan kata dengan maknanya, seperti yang suah disebutkan
pada bab terdahulu memang bersifat arbiter artinya tidak ada hubungan wajib
antara deretan fonem pembentuk kata itu dengan maknanya. Namun hubungannya
bersifat konvensional, artinya disepakati oleh setiap anggota masyarakat atau
suatu bahasa untuk mematuhi hubungan itu. Sebab kalau tidak berkomunikasi
verbal yang dilakukan akan mendapat hambatan. Oleh karena itu dapat dikatakan,
secara sinkronis hubungan kata dengan maknanya tidak akan berubah.
Secara diakronis ada
kemungkinan bisa berubah sesuai dimana perkembangan budaya dan masyarakat yang
bersangkutan.Jadi, referen sebuah kata adalah tetap, tidak berubah adanya kesan
tidak tetap atau berubah itu adalah karena digunakannya kata itu secara
metaforis.
Dalam
Kamus Linguistik, pengertian makna dijabarkan menjadi :.
1.
maksud pembicara;
2.
pengaruh penerapan
bahasa dalam pemakaian persepsi atau perilaku manusia atau kelompok manusia;
3.
hubungan dalam arti
kesepadanan atau ketidak sepadanan antara bahasa atau antara ujaran dan semua
hal yang ditunjukkannya,dan
4. cara menggunakan lambang-lambang bahasa (Harimurti
Kridalaksana, 2001: 132).
Bloomfied
(dalam Abdul Wahab, 1995:40) mengemukakan bahwa makna adalah suatu bentuk
kebahasaan yang harus dianalisis dalam batas-batas unsur-unsur penting situasi
di mana penutur mengujarnya. Terkait dengan hal tersebut, Aminuddin (1998:50)
mengemukakan bahwa makna merupakan hubungan antara bahsa dengan bahasa luar
yang disepakati bersama oleh pemakai bahsa sehingga dapat saling dimengerti.
Dari
pengertian para ahli bahsa di atas, dapat dikatakan bahwa batasan tentang
pengertian makna sangat sulit ditentukan karena setiap pemakai bahasa memiliki
kemampuan dan cara pandang yang berbeda dalam memaknai sebuah ujaran atau kata.
Ø Jenis Makna
Menurut Chaer (1994), makna dapat dibedakan
berdasarkan beberapa kriteria dan sudut pandang. Berdasarkan jenis semantiknya,
dapat dibedakan antara makna leksikal dan makna gramatikal, berdasarkan ada
atau tidaknya referen pada sebuah kata atau leksem dapat dibedakan adanya makna
referensial dan makna nonreferensial, berdasarkan ada tidaknya nilai rasa pada
sebuah kata/leksem dapat dibedakan adanya makna denotatif dan makna konotatif,
berdasarkan ketepatan maknanya dikenal makna kata dan makna istilah atau makna
umum dan makna khusus. Lalu berdasarkan kriteri lain atau sudut pandang lain
dapat disebutkan adanya makna-makna asosiatif, kolokatif, reflektif, idiomatik
dan sebagainya.
·
Makna Leksikal dan Makna Gramatikal
Leksikal adalah bentuk adjektif yang diturunkan dari bentuk nomina
leksikon. Satuan dari leksikon adalah leksem, yaitu satuan bentuk bahasa yang
bermakna. Kalau leksikon kita samakan dengan kosakata atau perbendaharaan kata,
maka leksem dapat kita persamakan dengan kata. Dengan demikian, makna leksikal
dapat diartikan sebagai makna yang bersifat leksikon, bersifat leksem, atau
bersifat kata. Lalu, karena itu, dapat pula dikatakan makna leksikal adalah
makna yang sesuai dengan referennya, makna yang sesuai dengan hasil observasi
alat indera, atau makna yang sungguh-sungguh nyata dalam kehidupan kita (Chaer,
1994). Umpamanya kata tikus makna leksikalnya adalah sebangsa binatang pengerat
yang dapat menyebabkan timbulnya penyakit tifus. Makna ini tampak jelas dalam
kalimat Tikus itu mati diterkam kucing, atau Panen kali ini
gagal akibat serangan hama tikus.
Makna leksikal biasanya dipertentangkan dengan makna gramatikal. Kalau
makna leksikal berkenaan dengan makna leksem atau kata yang sesuai dengan
referennya, maka makna gramatikal ini adalah makna yang hadir sebagai akibat
adanya proses gramatika seperti proses afiksasi, proses reduplikasi, dan proses
komposisi (Chaer, 1994). Proses afiksasi awalan ter- pada kata angkat dalam
kalimat Batu seberat itu terangkat juga oleh adik, melahirkan makna
’dapat’, dan dalam kalimat Ketika balok itu ditarik, papan itu
terangkat ke atas melahirkan makna gramatikal ’tidak sengaja’.
Yang dimaksud makna gramatikal adalah makna yang berubah-ubah sesuai
dengan konteks pemakainya.
Hal ini terjadi akibat proses-proses gramatikal yang terjadi pada kata
tersebut, seperti pengimbuhan, pengulangan , dan pemajemukan.
Contoh:
Berumah
Contoh:
Berumah
- mempunyai rumah
Rumah-rumah- banyak rumah
Rumah sakit
- rumah tempat merawat orang sakit
Rumah sakit
- rumah tempat merawat orang sakit
Dari uraian di
atas, dapa kita simpulkan perbedaan makna leksikal dan
makna gramatikal sebagai berikut :
1.
Makna leksika
adalah makna asli, sedangkan makna gramatikal mekna sesuai konteks
2.
Makna leksikal
bersifat tetap, sedangkan makna gramatikal bisa berubah-ubah sesuai proses
gramatikal yang terjadi pada kata tersebut.
3.
Makna leksikal
berdiri sendiri, sedangkan makna gramatikal terikat dengan kata lain yang
mengikutinya
Ø Aspek-aspek Makna
Aspek-aspek
makna dalam semantik menurut Mansoer Pateda ada empat hal, yaitu :
1. Pengertian
(sense)
Pengertian
disebut juga dengan tema. Pengertian ini dapat dicapai apabila pembicara dengan
lawan bicaranya atau antara penulis dengan pembaca mempunyai kesamaan bahasa
yang digunakan atau disepakati bersama. Lyons (dalam Mansoer Pateda, 2001:92)
mengatakan bahwa pengertian adalah sistem hubungan-hubungan yang berbeda dengan
kata lain di dalam kosakata.
2. Nilai
rasa (feeling)Aspek makna yang berhubungan dengan nilai rasa berkaitan dengan
sikap pembicara terhadap hal yang dibicarakan.dengan kata lain, nilai rasa yang
berkaitan dengan makna adalah kata0kata yang berhubungan dengan perasaan, baik
yang berhubungan dengan dorongan maupun penilaian. Jadi, setiapkata mempunyai
makna yang berhubungan dengan nilai rasa dan setiap kata mempunyai makna yang
berhubungan dengan perasaan.
3. Nada
(tone)
Aspek
makna nada menurut Shipley adalah sikap pembicara terhadap kawan bicara (dalam
Mansoer Pateda, 2001:94). Aspek nada berhubungan pula dengan aspek makna yang
bernilai rasa. Dengan kata lain, hubungan antara pembicara dengan pendengar
akan menentukan sikap yang tercermin dalam kata-kata yang digunakan.
4. Maksud
(intention)
Aspek
maksud menurut Shipley (dalam Mansoer Pateda, 2001: 95) merupakan maksud senang
atau tidak senang, efek usaha keras yang dilaksanakan. Maksud yang diinginkan
dapat bersifat deklarasi, imperatif, narasi, pedagogis, persuasi, rekreasi atau
politik.
Aspek-aspek
makna tersenut tentunya mempunyai pengaruh terhadap jenis-jenis makna yang ada
dalam semantik. Di bawah ini akan dijelaskan seperti apa keterkaitan
aspek-aspek makna dalam semantik dengan jenis-jenis makna dalam semantik.
a. Makna Emotif
Makna emotif menurut Sipley (dalam Mansoer Pateda,
2001:101) adalah makna yang timbul akibat adanya reaksi pembicara atau sikap
pembicara mengenai atau terhadap sesuatu yang dipikirkan atau dirasakan.
Dicontohkan dengan kata kerbau dalam
kalimatEngkau
kerbau., kata itu tentunya
menimbulkan perasaan tidak enak bagi pendengar. Dengan kata lain,kata kerbau
tadi mengandung makna emosi. Kata kerbau dihubungkan dengan sikap atau
poerilaku malas, lamban, dan dianggapsebagai penghinaan. Orang yang dituju atau
pendengarnya tentunya akan merasa tersimggung atau merasa tidak nyaman. Bagi
orang yang mendengarkan hal tersebut sebagai sesuatu yang ditujukan kepadanya
tentunya akan menimbulkan rasa ingin melawan. Dengan demikian, makna emotif
adalah makna dalam suatu kata atau kalimat yang dapat menimbulkan pendengarnya
emosi dan hal ini jelas berhubungan dengan perasaan. Makna emotif dalam bahasa
indonesia cenderung mengacu kepada hal-hal atau makna yang positif dan biasa
muncul sebagai akibat dari perubahan tata nilai masyarakat terdapat suatu
perubahan nilai.
b. Makna Konotatif
Makna
konotatif berbeda dengan makna emotif karena makna konotatif cenderung bersifat
negatif, sedangkan makna emotif adalah makna yang bersifat positif (Fathimah
Djajasudarma, 1999:9). Makna konotatif muncul sebagai akibat asosiasi perasaan
kita terhadap apa yang diucapkan atau didengar. Misalnya, pada kalimat Anita menjadi bunga
desa. Kata nunga dalam
kalimat tersebut bukan berarti sebagai bunga di taman melainkan menjadi idola
di desanya sebagai akibat kondisi fisiknya atau kecantikannya. Kata bunga yang
ditambahkan dengan salah satu unsur psikologis fisik atau sosial yang dapat
dihubungkan dengan kedudukan yang khusus dalam masyarakat, dapat menumbuhkan
makna negatif.
c. Makna Kognitif
Makna
kognitif adalah makna yang ditunjukkan oleh acuannya, makna unsur bahasa yang
sangat dekat hubungannya dengan dunia luar bahasa, objek atau gagasan, dan
dapat dijelaskan berdasarkan analisis komponenya (Mansoer Pateda, 2001:109).
Kata pohon bermakna tumbuhan yang memiliki batang dan daun denga bentuk yang
tinggi besar dan kokoh. Inilah yang dimaksud dengan makna kognitif karena lebih
banyak dengan maksud pikiran.
d. Makna Referensial
Referen
menurut Palmer (dalam Mansoer Pateda, 2001: 125) adalah hubungan antara
unsur-unsur linguistik berupa kata-kata, kalimat-kalimat dan dunia pengalaman
nonlinguistik. Referen atau acuan dapat diartikan berupa benda, peristiwa,
proses atau kenyataan. Referen adalah sesuatu yangditunjuk oleh suatu lambang.
Makna referensial mengisyaratkan tentang makna yamg langsung menunjuk pada
sesuatu, baik benda, gejala, kenyataan, peristiwa maupun proses.
Makna
referensial menurut uraian di atas dapat diartikan sebagai makna yang langsung
berhubungan dengan acuan yang ditunjuk oleh kata atau ujaran. Dapat juga
dikatakan bahwa makna referensial merupakan makna unsur bahasa yanga dekat
hubungannya dengan dunia luar bahasa, baik berupa objek konkret atau gagasan
yang dapat dijelaskan melalui analisis komponen.
e. Makna Piktorikal
Makna
piktorikal menurut Shipley (dalam Mansoer Pateda, 2001:122) adalah makna yamg
muncul akibat bayangan pendengar ataupembaca terhadap kata yang didengar atau
dibaca. Makna piktorikal menghadapkan manusia dengan kenyataan terhadap
perasaan yang timbul karena pemahaman tentang makna kata yang diujarkan atau
ditulis, misalnya kata kakus, pendengar atau
pembaca akan terbayang hal yang berhubungan dengan hal-hal yang berhubungan
dengan kakus, seperti kondisi yang berbau, kotoran, rasa jijik, bahkan timbul
rasa mual karenanya.
2.2 Pengertian Informasi
Informasi
adalah unsur dari sebuah kata atau lebih tepat sebagai gejala dalam
ujaran. Informasi adalah
hasil pengolahan data yang memiliki arti atau manfaat bagi penerimanya. Ini
berati bahwa tidak semua fakta atau berita yang kita terima merupakan informasi
bagi kita. Sampai saat ini
banyak orang, termasuk juga linguis yang menyatakan bahwa kata ayah sama maksudnya dengan kata bapak, sebab keduanya
sama-sama mengacu pada orang tua laki-laki. Begitupun kalimat Dika menendang
bola bersama maknanya dengan bola ditendang Dika, sebab keduanya memberi
pengertian keterangan, atau informasi yang sama.
Sesungguhnya
pendapat mereka itu keliru kalau dilihat dari prinsip umum di atas. Tetapi,
mengapa terjadi demikian?karena mengacaukan pengertian makna dengan informasi
maka banyak juga orang yang menyatakan suatu kalimat tertentu sama maknanya
dengan parafase dari kalimat itu. Inipun keliru sebab parafase tidak lain dari
pada rumusan informasi yang sama dalam bentuk ujaran yang lain.
Disamping
parafase, ada juga istilah perifase, yaitu informasi yang sama dengan rumusan
yang lebih panjang.
Diatas sudah
disebutkan bahwa makna adalah unsur dari sebuah kata atau lebih tepat sebagai
gejala dalan ujaran. (Utterance-internal-phenomena). Ada prinsip umum dalam
semantik yang menyatakan bahwa kalau bentuk (maksudnya bentuk kata atau
leksem). Sampai saat ini banyak orang, termasuk banyak linguis, yang mengatakan
bahwa kata ayah sama maknanya dengan bola ditendang Dika, sebab keduanya
memberi pengertian, keterangan atau informasi yang sama. Mereka mengacukan
pengertian tentang makna dengan pengertian informasi. Gejala dalam ujaran
(Utterance-internal-phenomena). Tetapi dalam frase Bapak Presiden yang
terhormat tidak dapat diganti menjadi Ayah Presiden yang terhormat. Keduanya
memberikan informasi yang sama, yaitu “Dika menendang bola” tetapi maknanya
jelas tidak sama. Kalimat Dika menendang bola mengandung makna aktif, sedangkan
kalimat bola ditendang Dika mengandung makna pasif. Banyak orang mengatakan
bahwa kedua kalimat itu bersifat obsional. Kehadiran preposisi oleh pada
kalimat kedua memberi makna penonjolan akan adanya pelaku, sedangkan pada
kalimat pertama penonjolan akan adanya pelaku itu tidak ada.
Karena mengacaukan
pengertian makna dengan informasi, makna banyak juga orang yang mengatakan
suatu kalimat tertentu sama maknanya dengan parafrase dari kalimat itu malah
bait puisi berikut (dari Ali Hasyim).
Begitu
hilang sudah melayang
Hari
mudaku sudah pergi
Sekarang
petang datang membayang
Batang
usiaku sudah tinggi
Adalah parafrase dari
kalimat saya sudah tua karena informasinya sama. Disamping parafrase ada
juga istilah perifrase, yaitu informasi yang sama dengan rumusan yang lebih
panjang.
Begitu juga frase
gadis yang mengenakan baju merah itu adalah perifrase menambah sesuatu pada
yang diperifrasekan tetapi tetap mempertahankan informasinya yang sama. Dapat
dikatakan bahwa setiap perifase adalah parafase juga, tetapi tidak setiap
parafrase adalah perifrase.
Kualitas
informasi ditentukan oleh beberapa faktor yaitu sebagai berikut :
·
Keakuratan dan teruji kebenarannya.
Informasi harus bebas dari kesalahan-kesalahan dan tidak menyesatkan.
·
Kesempurnaan informasi
Informasi disajikan dengan lengkap tanpa pengurangan, penambahan, dan
pengubahan.
·
Tepat waktu
Infomasi harus disajikan secara tepat waktu, karena menjadi dasar dalam
pengambilan keputusan.
·
Relevansi
Informasi akan memiliki nilai manfaat yang tinggi, jika Informasi tersebut
dapat diterima oleh mereka yang membutuhkan.
·
Mudah dan murah
Apabila cara dan biaya untuk memperoleh informasi sulit dan mahal, maka
orang menjadi tidak berminat untuk memperolehnya, atau akan mencari
alternatif substitusinya (Budi Sutedjo Dharma Oetomo, 2002 : 16 -17).
·
Akurat,
Berarti informasi harus bebas dari kesalahan-kesalahan dan harus jelas
mencerminkan maksudnya.
2.3
Pengertian Maksud
Diatas telah dibicarakan
bedanya makna dengan informasi. Makna adalah gejala dalam ujaran, sedangkan
informasi adalah gejala luar ujaran. Selain informasi sebagai sesuatu yang luar
ujaran ada lagi sesuatu yang lain yang juga luar ujaran, yaitu yang
disebut maksud (Chaer, 1995 :33).
Informasi dan maksud
sama-sama sesuatu yang luar ujaran. Dilihat dari segi objeknya atau yang
dibicarakan; sedangkan maksud dilihat dari segi Si pengujar, orang yang
berbicara atau pihak subjeknya. Disini orang yang berbicara itu mengujarkan
suatu ujaran entah berupa kalimat maupun frase, tetapi yang dimaksudkannya
tidak sama dengan makna lahiriah itu sendiri. Disimpang-simpang jalan di
Jakarta banyak pedagang asongan menawarkan barang dagangannya kepada para
pengemudi atau penumpang kendaraan (yang kebetulan kendaraannya tertahan arus
lalu lintas) dengan kalimat tanya “koran, koran ?” atau “ jeruk, Pak?”.
Padahal mereka tidak bermaksud bertanya, melainkan bermaksud menawarkan.
Maksud banyak digunakan
dalam bentuk-bentuk ujaran yang disebut metafora, ironi, litotes, dan
bentuk-bentuk gaya bahasa lain. Selama masih menyangkut segi bahasa, maka
maksud itu masih dapat disebut sebagai persoalan bahasa. (Chaer, 1995 :36).
Sebagai penutup
pembicaraan makna, maksud dan informasi ini, perhatikan diagram dari Verhaan
(1978) berikut :
ISTILAH
|
Segi (dalam keseluruhan peristiwa pengujaran
|
Jenis Semantik
|
MAKNA
|
Segi lingual atau dalam ujaran
|
Semantik kalimat gramatikal dan leksikal
|
INFORMASI
|
Segi objektif (yakni segi yang dibicarakan)
|
(Luar semantik;ekstralingual)
|
MAKSUD
|
Segi subjektif (yakni dipihak pemakai bahasa)
|
Semantik maksud
|
Sekali lagi kita
perhatikan, makna menyangkut segi lingual atau
dalam ujara, sehingga padanya kita menemukan persoalan semantik leksikal,
semantik gramatikal, semantiuk kalimat. Sedangkan informasi menyangkut
segi objek yang dibicarakan. Jadi informasi tidak menyangkut persoalan semantik
karena sifatnya yang berada diluar bahasa (ekstralingual).Sebaliknya maksud
yang menyangkut pihak pengujar masih memiliki persoalan semantik, asal saja
lambang-lambang yang digunakan masih berbentuk lingual. (Chaer, 1995 :37).
BAB III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Dari uraian materi
pada bagian isi dapat disimpulkan bahwa makna, informasi, dan maksud memiliki
perbedaan. Makna merupakan gejala dalam ujaran atau dapat dikatakan sebagai
tanda linguistik yang biasanya merujuk atau mengacu pada suatu referen. Pengertian
dari makna sendiri sangatlah beragam. Mansoer Pateda (2001:79) mengemukakan
bahwa istilah makna merupakan kata-kata dan istilah yang membingungkan. Makna
tersebut selalu menyatu pada tuturan kata maupun kalimat. Sedangkan
informasi adalah gejala luar ujaran. Dan maksud merupakan gejala diluar ujaran
pula, namun perbedaannya dengan informasi adalah jika informasi merupakan
sesuatu diluar ujaran yang dilihat dari segi objek atau yang dibicarakan, maka
maksud merupakan sesuatu diluar ujaran yang dilihat dari segi subjek atau pengujar.
DAFTAR PUSTAKA
Chaer, Abdul.2007. Linguistik
Umum. Jakarta : Rineka Cipta.
.
No comments:
Post a Comment