ASPEK PSIKOLOGIS DARI KESULITAN BELAJAR
A. Latar
Belakang
Seperti halnya
ilmu kedokteran, psikologi juga terus menerus terlibat dalam upaya
penanggulangan kesulitan belajar. Karena implikasi psikologis dari kesulitan
belajar maka banyak anak berkesulitan belajar yang dikirim oleh guru psikolog
untuk memperoleh pemeriksaan psikologis. Para psikologis merupakan salah satu
anggota tim yang sangat penting dalam penanggulangan kesulitan belajar,
terutama pada tahap diagnosis dan pemberian rekomendasi upaya perbaikan. Agar
guru dapat bekerja dengan baik dalam tim multidispliner maka salah satu
keharusan yang sangat penting adalah memahami aspek psikologis dari kesulitan
belajar.
B. Tujuan
Ada tiga macam
tujuan yang hendak dicapai melalui pembahasan dalam bab ini. Ketiga tujuan
tersebut adalah :
(1) Aspek psikologi perkembangan dari kesulitan belajar,
(2) Aspek psikologi behavioral dari kesulitan belajar,
dan
(3) Aspek psikologi kognitif dari kesulitan belajar.
1. Aspek
Psikologi Perkembangan dari Kesulitan Belajar
Ditinjau dari aspek psikologi perkembangan, ada pola perkembangan yang
bersifat umum da nada yang bersifat individual. Pola perkembangan yang bersifat
umum didasarkan atas hasil generalisasi pola perkembangan manusia pada umumnya.
Pola perkembangan ini sangat besar manfaatnya bagi upaya penyusunan kurikulum
sekolah bagi anak normal atau anak pada umumnya. Pola perkembangan individual
berbeda-beda antara anak yang satu dari anak lainnya. Pola perkembangan
individual sangat bermanfaat bagi upaya penyusunan program pendidikan yang
sesuai dengan laju perkembangan tiap anak.
Pola perkembangan umum atau pola perkembangan anak normal dapat dijadikan
dasar untuk menentukan anak berkesulitan belajar. Ditinjau dari aspek psikologi
perkembangan, kesulitan belajar disebabkan oleh factor kematangan. Bertolak
dari pandangan semacam itu, mempercepat atau menghambat proses perkembangan
dapat menimbulkan masalah belajar. Lingkungan social yang berupaya mempercepat
proses perkembangan anak dapat menimbulkan kesulitan belajar, begitu pula
dengan lingkungan social yang tidak memberikan
stimulasi terhadap suatu fungsi yang telah matang untuk berkembang.
Bertolak dari aspek psikologi perkembangan, ada dua konsep yang perlu
diperhatikan, yaitu kelambtan kematangan dan tahapan-tahpan perkembangan.
Berdasarkan dua konsep tersebut maka perlu dipahami implikasinya bagi upaya
penanggulangan kesulitan belajar.
a.
Kelambatan
Kematangan
Ditinjau dari aspek psikologi perkembangan, kesulitan belajar dapat
dipandang sebagai kelambatan kematangan fungsi neurologis tertentu. Menurut
pandangan ini, tiap individu memiliki laju perkembangan yang berneda-beda, baik
dalam fungsi motoric, kognitif, maupun afektif. Oleh karena itu anak yang
memperlihatkan gejala kesulitan belajartidak selayaknya dipandang memiliki
disfungsi neurologis tetapi sebagai perbedaan laju perkembangan berbagai fungsi
tersebut.
Tuntutan-tuntutan dari sekolah dan upaya mengajarkan sesuatu yang tidak
sesuai dengan tahapan perkembangan anak dapat menimbulkan kesulitan belajar.
Pandangan ini didukung oleh hasil penelitian Koppitz (Lerner, 1988: 169), yang
selama lima tahun melakukan suatu studi terhadap 177 anak berkesulitan belajar
yang ditempatkan di kelas khusus. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa
sebagian besar dari anak-anak tersebut memperlihatkan kelambatan kematangan
Menurut Koppitz, anak-anak berkesulitan belajar memerlukan waktu satu atau dua
tahun lebih banyak dari pada yang diperlukan oleh anak yang tidak berkesulitan
belajar untuk menyelesaikan tugas-tugas sekolah. Selain itu, hasil penelitian
Koppitz menunjukkan bahwa jika anak-anak berkesulitan belajar diberi waktu dan
bantuan yang cukup mereka ternyata mampu mengerjakan tugas-tugas akademik
secara baik, menurut Lerner (1988: 160).
Kelambatan kematangan juga didukung oleh hasil penelitian yang dilakukan
oleh Silver dan Hagin. Hasil penelitian terhadap anak-anak yang diagnosis
berkesulitan belajar membaca dan memperoleh pelayanan pendidikan khusus,
beberapa tahun kemudian, setelah mereka berusia antara 16 hingga 24 tahun,
banyak diantara mereka yang tidak memperlihatkan kesulitan dalam orientasi
ruang, dalam membedakanbunyi-bunyi, dan dalam membedakan kiri-kanan, meskipun
pada masa anak-anak mereka memperlihatkan adanya problema-problema tersebut.
Melalui proses pematangan, beberapa dari berbagai problema tersebut menghilang,
tetapi ada pula yang masih menetap.
Pandangan lain tentang pengaruh kematangan terhadap kesulitan belajar
dikemukakan oleh Samuel A. Krik. Menurut Krik seperti dikutip oleh Lerner
(1988: 169), pada tahap-tahap awal perkembangan anak secara normal cenderung
menampilkan fungsi–fungsi yang menyenangkan dan menghindari yang tidak
menyenangkan. Ketika suatu fungsi mengalami kelambatan dari kematangan, anak
berkesulitan belajarmalah menghindari dan menarik diri aktivitas-aktivitas yang
menurut fungsi tersebut. Akibatnya, fungsi yang ditolak tersebut gagal untuk
berkembang sehingga kesulitannya menjadi semakin parah.
b.
Tahapan-Tahapan
Perkembangan
Tahapan-tahapan perkembangan yang paling erat kaitannya dengan kesulitan
belajar di sekolah adalah tahapan-tahapan perkembangan kognitif. Pengertian kognitif
mencakup aspek-aspek struktur intelekyang digunakan untuk mengetahui sesuatu,
yaitu fungsi mental yang mencakup persepsi, pikiran, symbol, penalaran, dan
pemecahan masalah (Girganunarsa, 1981; 234). Perwujudan fungsi kognitif dapat
dilihat dari kemampuan anak dalam menggunakan bahasa dan matematika (Weinmen,
1981 : 142).
Piaget sebagai tokoh peneliti perkembangan kognitif sesungguhnya tidak
mengemukakan penahapan berdasarkan umur. Penahapan perkembangan kognitif yang
didasarkan atas umur dilakukan oleh Ginsburg dan Opper (Dirgagunarsa, 1981:
123). Adapun tahap-tahap perkembangan kognitif tersebut adalah (1) tahap sensorimotor (usia 0-2 tahun), (2)
tahap praoperasional (usia 2-7 tahun), (3) tahap konkret-operasional (usia 7-11
tahun), dan (4) tahap formal-operasional (usia 11 atau lebih).
Tahap operasional formal dimulai pada sekitar umur 11 tahun. Pada tahapan
ini anak memperlihatkan adanya suatu masa transisi utama dalam proses berfikir.
Pada tahapan ini, anak lebih mampu berfikir abstrak, menggunakan berbagai
teori, dan menggunakan berbagai hubungan logis tanpa harus menunjuk pada
hal-hal konkret. Tahapan operasi formal ini merupakan landasan yang
memungkinkan anak melakukan pemecahan berbagai masalah. Banyak anak berkesulitan belajar yang meskipun
umurnya telah mencapai 11 tahun tetapi masih berada pada tahapan operasi
konkret. Mereka memerlukan banyak bantuan dan latihan agar memiliki landasan
yang kuat untuk mencapai tahapan operasi formal. Transisi dari suatu tahapan ke
tahapan yang lain memerlukan kematangan. Menurut Piaget, tahapan-tahapan
tersebut berurutan dan hierarkis. anak hendaknya diberi kesempatan untuk
memantapkan perilaku dan berfikir sesuai dengan tahapan-tahapan
perkembangannya.
c.
Implikasi Teori
Perkembangan bagi Kesulitan Belajar
Teori perkembangan kematangan memiliki implikasi yang bermakna untuk
memahami dan mengajar anak berkesulitan belajar. Teori tersebut mengemukakan
bahwa kemampuan kognitif anak kualitatif berbeda dari orang dewasa. Kemampuan
kognitif berkembang menurut cara yang berurutan yang tidak dapat diubah.
Suatu implikasi penting dari pendekatan perkembangan kematangan adalah
bahsa sekolah hendaknya merancang pengalaman belajar untuk mempertinggi
kemantapan perkembangan alami. Dalam beberpa hal, lingkungan pendidikan mungkin
lebih banyak menghalangi dari pada membantu perkembangan anak. Jika sekolah
membuat tuntutan intelektual yang melebihi tahapan perkembangan anak, kesulitan
belajar mungkin anak terjadi. Tujuan penting dari sekolah seharusnya adalah
untuk memperkuat landasan berfikir anak yang dapat menjadi landasan belajar
berikutnya.
Para pendidik umumnya menggunakan istilah kesiapan (readiness) untuk
menunjuk pada tahap taraf perkembangan kematangan yang diperlukan sebelum
keterampilan yang diinginkan dapat dipelajari. Sebagai contoh, kesiapan untuk
berjalan memerlukan suatu saraf tertentu dari perkembangan system neurologis,
kekuatan otot yang cukup, dan perkembangan fungsi-fungsi motoric prasyarat
tertentu. Hingga seorang bayi memiliki berbagai kemampuan tersebut, upaya
mengajarkan keterampilan berjalan akan merupakan pekerjaan yang sia-sia.
2. Aspek
Psikologi Behavioral dari Kesulitan Belajar
Psikologi behavioral memberikan sumbangan teori-teori penting untuk
mengajar anak berkesulitan belajar. Pusat perhatian teori-teori ini terutama
pada tugas-tugas yang diajarkan dan analisis perilaku yang dibutuhkan untuk
mempelajari tugas-tugas tersebut. Pembelajaran yang bertolak dari teori ini
kadang-kadang disebut pembelajaran langsung (direct instruction), tetapi ada pula
yang menyebut belajar tuntas (mastery learning), pengajaran terarah (directed
teaching), analisis tugas (task analysis), atau pengajaran keterampilan
berurutan (sequential skills teaching). Suatu rekomendasi yang didasarkan atas
teori behavioral adalah bahwa guru hendaknya lebih memusatkan perhatian pada
keterampilan-keterampilan akademik yang diperlukan oleh anak dari pada
memusatkan pada kekurangan yang menghambat anak untuk belajar.
a. Analisis Perilaku dan Pembelajaran Langsung
Teori-teori behavioram menghendaki agar guru
menganalisis tugas-tugas akademik yang berkenan dengan berbagai keterampilan
yang mendasari penyelesaian tugas-tugas tersebut. Berbagai keterampilan
tersebut selanjutnya disusun dalam suatu aturan dan urutan logis, dan anak
dievaluasi untuk menentukan keterampilan yang telah dikuasai dan yang belum
dikuasai. Pembelajaran merupakan pemberian bantuan kepada anak untuk menguasai
berbagai subketerampilan yang belum dikuasai. Pembelajaran semacam itu disebut
pembelajaran langsung (direct instruction).
Dalam pembelajaran langsung suatu perilaku akhir
(terminal behavior) yang diharapkan dari anak dianalisis sehingga menjadi
rangkaiantugas-tugas (task) yang berurutan. Berdasarkan analisis tugas (task
analysis) tersebut guru melakukan evaluasi terhadap anak untuk menentukan
tugas-tugas yang belum dikuasai, dan selanjutnya mengajarkan tugas-tugas yang
belum dikuasai tersebut kepada anak. Setelah anak mampu memperlihatkan semua
perilaku seperti yang dituntut dalam analisis tugas, semua perilaku tersebut
diintegrasikan sehingga perilaku akhir yang diharapkan dapat dicapai. Ada tujuh
langkah pembelajaran langsung yang menurut Lerner (1988: 175) perlu diikuti :
1)
Merumuskan
tujuan pembelajaran yang harus dicapai oleh anak,
2)
Menganalisis
tujuan pembelajaran ke dalam tugas-tugas khusus,
3)
Menyusun
tugas-tugas khusus tersebut ke dalam suatu urutan yang logis,
4)
Menentukan
tugas-tugas yang telah dan yang belum dikuasai oleh anak,
5)
Mengajarkan
tugas-tugas yang belum dikuasai oleh anak,
6)
Mengajarkan
hanya satu tugas untuk waktu tertentu, dan baru mengajarkan tugas selanjutnya
bila tugas sebelumnya telah dikuasai oleh anak, dan
7)
Melakukan
evaluasi untuk menentukan keefektifan program pembelajaran.
b. Tahap-Tahap Belajar
Para guru mengetahui bahwa diperlukan suatu periode
waktu tertentu bagi anak untuk secara penuh memahami suatu konsep yang telah
diajarkan. Biasanya anak tidak secara penuh memahami suatu konsep pada saat
pertama kali diajarkan. Fenomena ini lebih banyak terjadi pada anak
berkesulitan belajar daripada anak yang tidak berkesulitan belajar. Oleh karena
itu, dalam merancang kegiatan pembelajaran, guru perlu menyadari keberadaan
anak dalam tahapan belajar. Ada empat tahapan belajar yang perlu diperhatikan
yaitu perolehan (acquisition), kecakapan (proficiency), pemeliharaan
(maintenenance), dan generalisasi (generalization).
1.
Perolehan. Pada
tahap ini anak telah terbuka terhadap pengetahuan baru tetapi belum secara
penuh memahaminya. Anak masih memerlukan banyak dorongan dan pengaruh dari guru
untuk menggunakan pengetahuan tersebut. (contoh: kepada anak diperlihatkan
table perkalian lima dan konsepnya dijelaskan sehingga ia mulai memahaminya).
2.
Kecakapan. Pada
tahap ini anak mulai memahami pengetahuan atau keterampilan tetapi masih
memrlukan banyak latihan. (contoh : setelah anak memahami table dan konsep
perkalian lima, ia diberi banyak latihan dalam bentuk menghafal atau menulis,
dan diberi macam-macam ulangan pengetahuan).
3.
Pemeliharaan.
Anak dapat memelihara atau mempertahankan suatu kinerja taraf tinggi setelah
pembelajaran langsung, dan ulangan penguatan (reinforcement) dihilangkan.
(contoh : anak dapat menggunakan perkalian lima secara cepat tanpa memerlukan
pengarahan dan ulangan penguatan dari guru).
4.
Generalisasi.
Pada tahap ini anak telah memiliki dan menginternalisasikan pengetahuan yang
dipelajarinya sehingga ia dapat menerapkannya ke dalam berbagai situasi.
(contoh : anak dapat menerapkan table perkalian lima dalam memecahkan berbagai
soal matematika).
c. Implikasi bagi Kesulitan Belajar
Ada beberapa implikasi teori behavioral bagi
kesulitan belajar.
1.
Pembelajaran
langsung merupakan pembelajaran yang efektif.
Guru perlu
memahami cara melakukan analisis tugas-tugas dan suatu tujuan pembelajaran dan
cara menyusun tugas-tugas tersebut secara berurutan. Bagi anak berkesulitan
belajar merupakan hal yang sangat penting untuk memperoleh pembelajaran
langsung dalam menyelesaikan tugas-tugas akademik.
2.
Pendekatan
pembelajaran langsung dapat digabungkan dengan berbagai pendekatan ini.
Jika guru
memiliki pengetahuan tentang kekhasan gaya belajar dan kesulitan belajar anak,
pembelajaran langsung dapat menjadi lebih efektif jika digabungkan dengan
pendekatan yang didasarkan atau gaya belajar anak.
3.
Tahapan belajar
anak harus dipertimbangkan
Dalam merancang
pembelajaran, tahapan belajar anak merupakan konsep yang sangat penting untuk
dipahami dan diperhatikan oleh guru. Guru tidak dapat mengharapkan anak belajar
secara sempurna pada awal anak diperkenalkan pada suatu bidang baru. Bagi anak
berkesulitan belajar diperlukan usaha yang lebih banyak dari guru untuk
membantu mereka melalui tahapan-tahapan belajar bila dibandingkan dengan anak
yang tidak berkesulitan belajar.
3. Aspek
Psikologi Kognitif dari Kesulitan Belajar
Psikologi kognitif berkenaan dengan proses belajar, berfikir, dan
mengetahui. Kemampuan kognitif merupakan kelompok keterampilan mental yang
esensial pada fungsi-fungsi kemanusiaan. Melalui kemampuan kognitif tersebut
memungkinkan manusia mengetahui, menyadari, mengerti, menggunakan abstraksi,
menalar, membahas, dan menjadi kreatif. Suatu analisis tentang sifat kognitif
merupakan hal yang sangat penting untuk memahami kesulitan belajar. Salah satu
teori psikologi kognitif yang membahas kesulitan belajar adalah yang dikenal
dengan teori pemrosesan psikologis.
Seperti telah dikemukakan di Bab 1, P.L. 94-142 Amerika Serikat
mengemukakan bahwa anak berkesulitan belajar memiliki gangguan dalam satu atau
lebih dari proses psikologis dasar yang diperlukanuntuk belajar disekolah.
Proses psikologis merupakan kemampuan dalam persepsi, bahasa, ingatan,
perhatian, pembentukan konsep (concept formation), pemecahan masalah dsb
(Lerner, 1988: 177). Implikasi dari teori gangguan pemrosesan psikologis adalah
bahwa kekurangan atau adanya gangguan dalam proses kognitif tersebut merupakan
keterbatasan instrinsik yang dapat mengganggu proses belajar anak. Banyak dalam
gangguan dalam proses ini merupakan bidang-bidang praakademik atau yang
bersifat perkembangan dari belajar. Teori kematangan yang telah dibahas
sebelumnya dalam bab ini memandang bahwa gangguan tersebut sebagai suatu
kekurangan kesiapan, tetapi teori pemrosesan psikologis memandang lebih jauh
dengan mendorong para guru untuk membantu anak mengembangkan kemampuan-kemampuan
praakademik, yang diperlukan untuk belajar akademik(Krik seperti dikuti oleh
Lerner, 1988: 178).
Teori pemrosesan psikologi merumakan landasan awal dalam bidang kesulitan
belajar dengan menghubungkan dalam pemrosesan psikologis dengan abnormalitas dalam
system saraf pusat. Dalam mengaplikasian teori tersebut ke dalam pembelajaran,
kekurangan atau gangguan dalam persepsi auditoris dan visual memperoleh
penekanan khusus. Teori ini telah menyediakan suatu landasan dalam melaksanakan
asesmen dan program pembelajaran anak berkesulitan belajar.
Dalam kegiatan pembelajaran, teori pemrosesan psikologis menyarankan agar
setelah guru melakukan diagnosis kemampuan dan ketidakmampuan pemrosesan
psikologis anak melalui observasi atau tes, mereka perlu membuat preskripsi
atau resep metode pengajaran yang sesuai. Menurut Lerner(1988: 178) ada tiga
rancangan pembelajaran yang berbeda yang berasal dari teori ini.
a. Melatih proses yang kurang. Kegunaan metode ini
adalah untuk membantu anak membangun dan mengembangkan berbagai fungsi
pemrosesan yang lemah melalui latihan. Rancangan pembelajaran merupakan upaya
untuk memperbaiki proses yang kurang atau memperbaiki ketidakmampuan dan
menyiapkan anak untuk belajar lebih lanjut.
b. Mengajar melaui proses yang disukai. Pendekatan ini
menggunakan modalitas kekuatan anak sebagai dasar strategi pembelajaran. Anak
yang lebih menyukai modalitas pendengaran sebagai sarana untuk belajar diajar
dengan menggunakan strategi pembelajaran yang lebih menekankan pada penggunaan
indera pendengaran. Metode pembelajaran yang menekankan pada modalitas
pemrosesan tersebut oleh Lerner (1988: 179) disebut
aptitude-treatment-interaction.
c. Pendekatan kombinasi. Pendekatan pengajaran ketiga
meruapakan kombinasi dua pendekatan sebelumnya. Alasannya adalah, bahwa guru
tidak hanya menekankan pada kekuatan pemrosesan tetapi juga secara bersamaan
psikologis memberikan landasan yang berguna dalam bidang kesulitan belajar.
Konsep tersebut memberikan penjelasan yang logis untuk memahami kesulitan
belajar, tanpaa menyalahkan anak yang tidak mau belajar. Konsep tersebut juga
memungkinkan guru untuk berupaya mengajar anak berkesulitan belajar meskipun
untuk itu guru harus bekerja keras.
DAFTAR
PUSTAKA
No comments:
Post a Comment