REFORMULASI PENDIDIKAN ISLAM DALAM MENGHADAPI PERUBAHAN
ZAMAN : ANALISIS TERHADAP KEKURANGAN DAN KEKUATAN PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA
ABSTRAK
Artikel ini dibuat
dengan tujuan untuk memberikan sumbangan pemikiran kepada dunia pendidikan
berupa reformulasi kepemimpinan pendidikan Islam di era revolusi industri 4.0.
Era RevolusiIndustri 4.0 merupakan era yang ditandai dengan adanya revolusi
digital yakni perpaduan berbagai teknologiyangmengaburkangarisruang
fisik,digital,dan biologis.Erainiberdampak padasemakin dekatnya jarang ruang
dan waktu serta mengurangi aktivitas dan komunikasi secara fisik pada lokasi
geografis. Semua berubah dari manual menuju serba digital yang ternyata
berdampak signifikan terhadap berbagai bidang kehidupan masyarakat, termasuk
pada dunia pendidikan. Apabila
kepemimpinan pendidikan Islam acuh dan tidak mampu beradaptasi dengan era ini, maka pendidikan
Islam akan semakin tertinggal. Untuk itu perlu dilakukan reformulasi
kepemimpinan pendidikan Islam, yakni melalui langkah disruptive mindset,
self-driving, dan reshape or create. Dengan langkah-langkah tersebut para
pemimpin pendidikan Islam akan mampu memberikan perubahanbagi pengembangan
pendidikan Islam . Reformulasi kepemimpinan pendidikan Islam ini juga perlu
didukung pula dengan penguatan terhadap user, penguatan strategi, dan penguatan
teknologi informasi dan komunikasi yang berlandaskan pada nilai-nilai
ke-Islam-an dan applicable sehingga pendidikan Islam mampu memberikan apa yang
menjadi harapan dan kebutuhan masyarakat di era ravolusi industry
PENDAHULUAN
Zaman yang
berputardan selalu berubah merupakan sunnatullah , termasuk manusia di
dalamnya. Ketika manusia tidak mampu mengikuti dan mengadaptasikan dirinya dengan
perubahan tersebut walaupun sebenarnya manusia sendirilah sebagai pemicu
perubahan, maka ketertinggalanlah yang akan menimpa manusia.
Perubahan dan
perkembangan zaman yang terjadi seiring dengan berjalannya waktu berdampak pada
semakin terasa singkatnya waktu dan jarak yang tak lagi mengenal batas
georgrafis maupun waktu. Revolusi Industri merupakan istilah
yang diperkenalkan Friedrich Engels dan Louis Auguste Blanqui sebagai masuknya
era digital. Dengan diawali munculnya mesin tenaga uap dan penemuan kekuatan
alat tenun yang secara radikal dapat mempercepat produksi barang-barang di mana
pada era ini dikenal dengan Era Revolusi Industri 1.0. Setelah itu,
berkembanglah listrik dan jalur perakitan yang memungkinkan produksi masal yang
dikenal dengan Era Revolusi Industri 2.0. Lalu, muncul berbagai alat dengan
otomatisasi bertenaga komputer yang dapat memungkinkan seseorang melakukan
pekerjaannya dengan memprogram mesin dan jaringan yang ini dikenal dengan Era
Revolusi Industri 3.0.
Saatini, dunia termasuk Indonesia tengah
memasuki era baru sebagai lanjutan dari era-era sebelumnya yang dikenal dengan
Era Revolusi Industri 4.0. Era ini ditandai dengan adanya revolusi digital
yakni perpaduan berbagai teknologi yang mengaburkan garis ruang fisik, digital,
dan biologis. Era ini berimplikasi pada semakin dekatnya jarak ruang dan waktu
serta mengurangi aktivitas dan komunikasi secara fisik pada lokasi geografis.
Semua berubah dari manual menuju serba digital.
Dengan dimulainya Era Revolusi Industri 4.0 pada abad ini ternyata berdampak signifikan terhadap berbagai lini kehidupan masyarakat, mulai dari ekonomi, dunia kerja, sosial, politik, budaya, termasuk pada dunia pendidikan hingga muncullah istilah Pendidikan 4.0, yakni istilah yang digunakan oleh para ahli pendidikan untuk menggambarkan berbagai cara untuk mengintegrasikan teknologi informasi dan komunikasi yang berkembang saat ini, baik secara fisik maupun nonfisik kedalam kegiatan pembelajaran. (Muhammad Haris, 2019: 47)
Pertama, belajar
dapat dilakukan kapan saja dan di mana saja. Kedua, belajar akan bersifat
perseorangan untuk tiap siswa. Ketiga, siswa memiliki pilihan dalam menentukan
bagaimana mereka ingin belajar. Keempat, siswa akan dihadapkan pada
pembelajaran berbasis proyek yang lebih banyak. Kelima, siswa akan dihadapkan
pada pembelajaran langsung melalui pengalaman lapangan, seperti: Magang, proyek
mentoring dan proyek kolaborasi. Keenam, siswa akan terpapardengan interpretasi
data di mana merekadiminta untuk menerapkan pengetahuan teoritis mereka ke
dalam angka dan menggunakan keterampilan penalaran mereka untuk membuat
kesimpulan berdasarkan logika serta tren dariset data yang diberikan. Ketujuh,
siswa akan dinilai secara berbeda dan platform konvensional untuk menilai siswa
dapat menjadi tidak relevan atau tidak memadai. Pengetahuan faktual siswa dapat
dinilai selama proses pembelajaran. Adapun aplikasi pengetahuan dapat diuji
ketika mereka mengerjakan proyek di lapangan. Kedelapan, pendapat siswa akan
dipertimbangkan dalam merancang dan memperbarui kurikulum.
Terakhir, siswa
akan menjadi lebih mandiri dalampembelajaran,sehinggamemaksa para guru untuk
mengambil peran baru sebagai fasilitator yang akan memandu siswa melalui proses
belajar mereka. (Muhammad Haris, 2019: 45-46)
Hal yang menjadi
pertanyaan saat ini, bagaimanakah pendidikan Islam menghadapi tantangan Era
Revolusi Industri 4.0 ini yang semuanya serba maya, cepat, dan berlandaskan
teknologi informasi, padahal kecenderungan yang ada pendidikan Islam khususnya
di Indonesia relatif masih menggunakan cara-cara
tradisionaldalamkegiatanpembelajarannya.Ini adalah tantangan tersendiri bagi
kepemimpinan pendidikan Islam agar mampu menyesuaikan diri dengan berbagai kecanggihan teknologi saat ini agar
tujuan pendidikan Islam yang terkonsentrasitidakhanyapadaintelektualyang
mumpuni, namun juga pencapaian akhlak yang luhur. Untuk itu, perlu dirumuskan
bagaimana kepemimpinan pendidikan Islam yang mampu menyesuaikan diri dengan
perubahan dan perkembangan jaman.
METODE
Library research
merupakan jenis penelitian yang digunakan dalam riset ini dengan deskriptif eksploratory literature sebagai
pendekatan penelitian. Penggunaan pendekatan tersebut dimaksudkan untuk
menggali dan melakukan kajian secara mendalam terhadap berbagai literatur
khusunya yang berkaitan dengan kepemimpinan kependidikan Islam dan fenomena
gelombang industri 4.0. Dari informasi-informasi yang diperoleh, kemudian
dilakukan analisis dengan tujuan akhir untuk menemukan kepemimpinan pendidikan
Islam yang dapatmenyesuaikan perkembangan jaman di era industri 4.0 dengan
tajuk reformulasi kepemimpinan pendidikan Islam di era 4.0.
HAKIKAT DAN TUJUAN PENDIDIKAN
ISLAM
Dalam Islam,
menuntut ilmu yang sarat kaitannya dengan pendidikan merupakansebuah kewajiban
mutlak bagi setiap insan, bahkan untuk menegaskan akan pentingnya pendidikan,
Allah Swt. mentitahkan kepada manusia agar melakukannya dari semenjak manusia
lahir ke dunia hingga kembali lagi kepada asal mula ia diciptakan yakni ketika
manusia masuk ke dalam liang lahat.
Pendidikan di dalam
Islam dikenal dengan beberapa istilah, seperti: Tarbiyah dan Ta’lim. Menurut
pendapat Abdurrahman an Nahlawi yang dikutip oleh Heri JauhariMuchtar (2005:
124) bahwa kata tarbiyah mengandung makna memperbaiki,menguasai urusan,
menuntun, menjaga, dan memelihara. Adapun menurut Abdurahman al Bani kata
tarbiyah berasal dari kata rabba yang mengandung empat unsur: a. Menjaga dan
memelihara fitrah anak menjelang baligh, b. Mengembangkan seluruh potensi dan kesiapa bermacam-macam
hal, c. Mengerahkan seluruh fitrah dan potensi ini menuju kebaikan dan
kesepurnaan yang layak baginya, dan d. Proses ini dilaksanakan secara bertahap.
Adapun ta’lim
mengandung arti upaya agar berilmu. Menurut Islam, ilmu itu mengandung segala
kemaslahatan bagi umat manusia.Karenailmulahmanusiamenjadilebih utama dari pada
malaikat dan karena ilmu pula manusiaberhakmenjadikhalifah Allah dimuka bumi.
Imam al Ghazali
(dalam Heri Jauhari Muchtar, 2005: 125) menyatakan bahwa ilmu adalah keutamaan
dan pencapaian ilmu sudah merupakan tujuan pendidikan. Mengenai pengajaran dan
pendidikan, Imam al Ghazali mengarahkannya pada dua sasaran, yakni kesempurnaan
insan dengan taqarrub kepada Allah Swt dan memperoleh kebahagiaan dunia serta
akhirat sehingga pada hakikatnya pendidikan Islam merupakan:
Proses yang pasti,
karena bersumber dari sifat Allah Yang MahaMendidik yang menciptakanmanusia
secara fitrah selalu menginginkan kemajuan terus- menerus.
Proses yang tetap,
karena bersumber dari Allah Swt dan berproses sesuai dengan sunnatullah dan
tidak bergeser sedikitpun.
Proses yang
objektif, karena pendidikan berlaku untuk segenap umat manusia. Tidak
bergantung kepada apa dan bagaimana status sosialnya di muka bumi.
Memelihara
ketauhidan umat manusia terhadap Allah Swt yang merupakan inti dari hidup dan
kehidupan umat manusia, karena tujuan hidup umat manusia adalah untuk beribadah
kepada Allah Swt.
PendidikanIslamjugamerupakankonsep
‘allama maa lam ya’lam (Allah mengajarkan segala sesuatu yang tidak diketahui
manusia). Haltersebutmengandungpengertianbahwa
Allah mengajarkan
suatu pengetahuan baru kepada manusia setiap saat. Karena itu, manusia dituntut untuk
belajar tentang apa sajasepanjang hidupnya dan hendaknya selalu berdialog
dengan perkembangan jaman. Lebih jauh ayat tersebut menjelaskan nilai semua
pengetahuan menurut al Qur’an adalah sama pentingnya. Islam tidak mengenal
pembedaan ilmu antara ilmu pengetahuan agama dan ilmu pengetahuan non agama
(sekuler). Selama pengetahuan itu bernilaibaik, selamaitu pulaia
bernilai kegamaan (HeriJauhariMuchtar,2005: 125).
Selain itu, konsep
ilmu dalam Islam sebagai salah satu unsur pendidikan hendaknya mengacu kepada
lingkungan dan kebutuhan masyarakat. Karena itu harus bersifatapplicable (asas
manfaat). Hal ini dapat dilacak dari beragamnya pengetahuan yang diberikan
Allah kepada para Nabi dan umat mereka. Walaupun ragamnya berbeda, semua
memiliki nilai yang sama, yaitu diarahkan untuk mengenal Allah Swt dengan
segala sifat-sifat- Nya sehingga manusia selalu merasa di dekat- Nya dan mampu
mengubah dunia sesuai kebutuhan manusia sekaligus melestarikannya. Pengenalan
pengetahuan pada saat yang sama merupakan penanaman dan pembentukan serta
pengembangan nilai-nilai yang mencerahkan, mengantarkan manusia kepada
kehidupan yang takwa dan dapat menjauhkan dari kehidupan yang fahsya dan munkar.
Selanjutnya, segala
sesuatu tentunya memiliki tujuan yang hendak dicapai. Makna tujuan sendiri
ialah sesuatu yang diharapkan tercapai setelah suatu usaha atau kegiatan
selesai (Bukhari Umar, 2010: 52). Tujuan juga merupakan sesuatu yang esensial
bagi kehidupan manusia. Dengan adanya tujuan, semua aktifitas dan gerak manusia
menjadi lebih dinamis, terarah, dan bermakna (Samsul Nizar, 2008: 116).
Adapun tujuan
pendidikan Islam pada umumnya ialah untuk membina manusia agar menjadi hamba
Allah yang saleh dengan seluruh aspek kehidupannya, perbuatan, pikiran, dan
perasaannya (Zakiah Daradjat, 1995:35).Selainitu,tujuanumumlainnya
adalah membentuk
kepribadian sebagai khalifah Allah atau sekurang-kurangnya mempersiapkan kejalan yang mengacu kepada tujuan
akhir/ utama manusia. Tujuan utama khalifah Allah adalah beriman kepada Allah
dan tunduk patuh secara total kepada-Nya (Abdurrahman Saleh Abdullah, 1990:
133).
Tujuan pendidikan
Islam menurutpara ahli sebagaimana dikutip oleh Moh. Roqib (2009: 27-30, Lihat
pula Mahmud Yunus, t.t.: 22danJuwariyah,2010:16,dimanakeduanya menekankan
akhlak sebagai tujuan pendidikan Islam) antara lain sebagai berikut:
Naquibal Attas
menyatakan bahwa tujuan pendidikan yang penting harus diambil dari pandangan
hidup. Jika pandangan hidup itu Islam maka tujuannya adalah membentuk manusia
sempurna menurut Islam (insane kamil).
Mohammad Athiyah al
Abrasyi merumuskan tujuan pendidikan Islam secara lebih rinci. Dia menyatakan
bahwa tujuan pendidikan Islam adalah untuk membentuk akhlak mulia, persiapan
untuk menghadapi kehidupan dunia dan akhirat, persiapan untuk mencaririzki, menumbuhkan semangat ilmiah, dan menyiapkan profesionalisme subyek didik.
Ahmad Fuad al
Ahwani menyatakan bahwa pendidikan Islam adalah perpaduan yang menyatu antara
jiwa, membersihkan ruh, mencerdaskan akal, dan menguatkan jasmani. Fokus di
sini adalah keterpaduan atau integrasi
Umar Muhammad at
Taumi asy Syaibani mengemukakan pendapat bahwa tujuan tertinggi dari pendidikan
Islam adalah persiapan untuk kehidupan dunia dan akhirat, yakni untuk memproses
manusia yang siap untuk berbuat dan memakai fasilitas dunia ini guna beribadah
kepada Allah.
Dari berbagai
gagasan tujuan pendidikan tersebut dapat ditarik benangmerah bahwasannya tujuan
pendidikan Islam secara umum menitik beratkan pada akhlak seseorang, baik
akhlak kepada Sang Pencipta, sesama,maupunterhadaplingkungandan
semesta. Ketika
seseorang telah mampu dan menyadari hakikat penciptaan dirinya serta
melaksanakan apa yang menjadi tugas dan kewajibannya, maka pada saat itu tujuan
pendidikan Islam telah tercapai dalam dirinya. Seyogyanya pula setiap lembaga
pendidikan Islam khususnya bagi para pemimpin dan pemegang kebijakan mampu
mengarahkan para peserta didiknya untuk mencapai tujuan tersebut.
KEPEMIMPINANPENDIDIKAN
ISLAM IDEAL
Kepemimpinan
pendidikan Islam memiliki peran strategis bagi pencapaian tujuan yang telah
dicitakan di mana hal tersebut sangat dipengaruhi oleh sosok pemimpin
didalamnya. Terdapat beberapa kriteria pemimpin ideal dalam pandangan Islam,
sebagai berikut:
Adil, yaitu yang
meletakan segala sesuatu secara proporsional, tertib, dan disiplin. Ia tidak
berat sebelah, tidak pilih-pilih bulu, dan bijaksana dalam mengambil keputusan.
Amanah, artinya jujur,
bertanggungjawab, dan mempertanggungjawabkan seluruh titipan aspirasi masyarakat atau
bawahannya. Tidak melakukan penghianatan kepada rakyatnya.
Fathanah, artinya memiliki
kecerdasan.
Tablig, artinya
menyampaikansegala sesuatu dengan benar, tidak ada yang ditutup-tutupi,
terbuka, dan menerima saran atau kritik bawahannya.
Shidiq, artinya
benar atau jujur, sebagai ciri dari perilaku pemimpin yang adil, apa yang
dikatakan sama dengan apa yang dilakukan.
Qana’ah, artinya
menerima apa adanya, tidak serakah, dan pandai berterimakasih kepada Tuhan.
Pemimpin yang qana’ah adalah pemimpin yang tidak akan melakukankorupsidan merugikan
uang negara, mengambinghitamkan masyarakat, dan anak buahnya.
Siyasah, artinya
pemimpin yang pandai mengatur strategi guna memperoleh kemaslahatan bagi
masyarakat atau anak buahnya.
Sabar,artinyapandaimengendalikan
hawa nafsu danmenyalurkan seluruh tenaga serta pikirannya ‘dengan kecerdasan
emosional yang optimal (BeniAhmadSaebani,2012:299-
300, lihat pula
Mulyono, 2012: 11 dan Imam al Mawardi yang dikutip oleh Muhadi Zainuddin dan
Abd. Mustaqim, 2012: 37- 39 yang keduanya membahas pula idealitas kepemimpinan
pendidikan Islam).
Mujamil Qomar
(2007: 277) mengungkapkan bahwa jabatan pemimpin merupakan jabatan yang
istimewa sebab, pemimpin organisasi apapun dipersyaratkan memiliki berbagai
kelebihan menyangkut pengetahuan, perilaku, sikap, maupun keterampilan
dibanding orang lain. Pada umumnya, seseorang memiliki kelebihan- kelebihan
tertentu, tetapi sebaliknya juga memiliki kelemahan-kelemahan tertentu.
Figur pemimpin yang
ideal sangatlah diharapkan oleh masyarakat, lantaran seorang pemimpin menjadi
contoh terbaik dalamsegala ucapan, perbuatan, dan
kebiasaan, termasuk
dalam hal berpakaian. Dalam konteks pendidikan Islam, pemimpin harus memiliki
keunggulan yang lebihlengkap. Dasar filosofinya adalah pendidikan Islam yang
memiliki tugas sebagai lembaga yang berusaha keras untuk membangun umat tidak
hanya pada kecerdasan intelektual, namun juga kesalehan sosial dan kemantapan spiritual.
REFORMULASIKEPEMIMPINAN
PENDIDIKAN ISLAM DI ERA 4.0
AlIslaamuya’luwalaayu’laa‘alaih
Islam adalah agama yang unggul dan tidakdapat diungguli oleh yang lainnya. Ini
adalah ungkapan bagaimana hebatnya agama Islam hingga tidak ada yang mampu mengunggulinya.
Sekali lagi, pada dasarnya Islam adalah agama yang unggul, namun bagaimana
dengan umat Islam, terlebih bagaimana dengan pendidikan Islam.
Syamsul Ma’arif
(2007) menyebutkan bahwa pendidikan Islam saat ini masih jauh tertinggal dengan
Barat. Hal tersebutdisebabkan oleh beberapa hal, antara lain: Pertama,
orientasi pendidikan Islam masihharus diperjelas arahnya pada tujuan yang
semestinya sesuai dengan orientasi Islam. Saat ini, pendidikan Islam hanya
concern pada transfer pengetahuan keagamaan semata.Kedua, praktik pendidikan
Islam masih memelihara warisan lama, sehingga ilmu yang dipelajari adalah ilmu
klasik dan ilmu modern tidak tersentuh. Ketiga, umat Islam masih sibuk terbuai
dengan romantisme masa lalu. KebesaranumatIslammasalampausampaisaat ini masih
mempengaruhi mindset umat Islam. Mereka masih berbangga dengan kejayaanmasa
lalu, tetapi tidak sadar bahwa kebanggan
itu justru hal yang menyebabkan ketertinggalan. Keempat, model pembelajaran
pendidikanIslam masih menekankan pada pendekatan intelektual verbalistik dan
menegasi interaksi edukatif dan komunikasi humanistic antara pendidik dan
peserta didik.
Untuk itu, terdapat
dua alasan mendasar perlu dilakukannya modernisasi pendidikan Islam, yaitu:
Pertama, konsep dan praktik pendidikan. Islam selama ini terlalu sempit yang terlalu menekankan pada kepentingan akhirat sehingga melahirkan dikotomi keilmuan yang telah diwariskan ummat Islam sejak masa kemunduran Islam (abad kedua belas). Adapun dikotomi keilmuan dalam pendidikan Islam meliputi 1. Dikotomi antara ilmu agama dannon agama, yang berdampak pada pelanggengan supremasi ilmu-ilmu agama yang berjalan secara monoton, 2. Dikotomi antara wahyu dan alam yang menyebabkan kemiskinan penelitian empiris dalam pendidikan Islam, dan 3. Dikotomi antara iman dan akal. Dalam konten ini, Islam harusdiyakini sebagai religion of nature, yang dengannya segala bentuk dikotomi antara agama dan ilmu pengetahuan dihilangkan.Alam beserta isinya mengandung tanda-tanda yang memperlihatkan kebesaran Tuhan yang menggambarkan kehadiran kesatuan sistem global yang dengan mendalaminya, seseorang akan mampu menangkap makna dan kebijaksanaan dari suatu yang transenden
Kedua,
lembaga-lembaga pendidikan Islam sampai saat ini, belum mampu memenuhi
kebutuhan umat Islam secara keseluruhan terutama dalam menghadapi tantangan
dunia modern dan tantangan masyarakat serta bangsa Indonesia di segala bidang
(Hasan Langgulung, 1988).
Oleh sebab itu,
untuk menghadapi dan menyongsong Era Revolusi Industri 4.0 yang tengah berjalan
saat ini diperlukan adanya reformulasi kepemimpinan pendidikan Islam yang mampu
menjawab berbagai permasalahan dan dinamika pendidikan Islam serta mampu
menyesuaikan dan memanfaatkan berbagai perkembangan teknologi di era ini menuju
kebangkitan dan tercapainya tujuan pendidikan Islam.
Dengan meminjam
istilah yangdigunakan oleh Rhenald Kasali (2017), perlu dilakukan tiga langkah
oleh para pemimpin pendidikan Islamdalammenghadapiera4.0ini, yaitu: disruptive
mindset, self-driving, dan reshape or create.
Disruptive mindset.
Mindset ialah bagaimana manusia berpikir dengan ditentukan oleh setting yang
dibuat sebelum berpikir dan bertindak. Pendidikan Islam hari ini tengah berada
di zaman digital yang serba cepat, mobilitas tinggi, akses informasi menjadi
kebutuhan primer bagi setiap orang. Segala sesuatu yang diperlukan haruslah
segera tersedia, jika dalam aksesnya memerlukan waktu yang relatif lama, maka
masyarakat akan meningggalkannya dan beralih ke pelayanan lain yang lebih cepat
dan akses mudah. Kecepatanresponakansangatberpengaruh
terhadap pengguna
(user). Inilah yang dinamakan Rhenald Kasali sebagai corporate mindset (mindset
korporat). Mindset ini perlu dibangun oleh para pelaku pendidikan Islam
terutama pemimpin lembaga pendidikan Islam sebagai kompas dalam perjalanannya
sehingga pelayanan yang diberikan kepada user tidak lagi birokratis.
Rhenald
mengungkapkan beberapa ciri orang yang memiliki mindset korporat, yaitu:
Pertama, tidak terikat waktu dan tempat. Orang tersebut bekerja tidak terbatas
pada jam dan ruang kerja. Orang seperti ini telah menyadari bahwa waktu dan
tempat tidak lagi menjadi penghalang dalam bekerja. Jika mindset ini diterapkan
dalam manajemen lembaga pendidikan Islam, maka akan terbentuk sistem manajerial
yang efektif dan efisien.Selanjutnya, apabila hal tersebut ditarik dalam
konteks pembelajaran, guru akan lebih leluasa dan fleksibel dalam menjalankan
tugas dan fungsinya. Kedua, memberikan pelayanan yang proaktif. Kegiatan
pembelajaran yang masih terkonsentrasi pada transfer pengetahuan yang dilakukan
oleh guru dan terkurung di dalam kelas, maka hal tersebut akan
sulitmenghasilkan lulusan yang berdaya saingtinggi. Paradigma pendidikan kini
telahberubah, bukan lagi berupa teacher centered, tapi sudah beralih menjadi
student centered. Guru dituntut untuk lebih proaktif dalam memberikan
fasilitas, bimbingan, dan dampingan kepada peserta didik.
Ketiga, tidak
terpaku pada anggaran atau biaya. Orang yang memiliki mindset korporat tidak
berhenti berinovasi karena kendala dana. Keempat, memaksimalkan fungsi media
sosial. Pengelola pendidikan Islam saat ini harus mampu memanfaatkan kemajuan
media komunikasi yang tersedia. Media sosial bukan lagi hiburan semata. Ia
telah menjelma menjadi alat komunikasi yang efektif, alat bantu kerja, dan
inspirasi dalam berinovasi. Peluang ini harus mampu dimanfaatkan dengan baik
oleh para pimpinan lembaga pendidikan Islam. Kelima, berpikir solutif jika
dihadapkan pada masalah dan bukan sibuk memikirkan alasan
untukmenyelematkandiri. Keenam,tidak alergi
cara create,
menciptakan hal yang baru yang benar benar belom ada sebelumnya. Dengan kata
lain bahwa sistem yang lama telah exspired. Sistem yang usang diganti dengan
sistem baru seperti mengembangkan sistem pelayanan berbasis digital sehingga
warga lembaga pendidikan Islam mampu dengan leluasa mengakses dan memanfaatkan
segala keperluan terkait pendidikan dan layanan administrasi. Contoh lain
seperti dengan mengembangkan model pembelajaran kekinian yang memanfaatkan
teknologidigital, seperti e- learning, blended learning,dan lainsebagainya.
Menurut hemat
penulis, sudah saatnya pendidikan Islam terutama para pemimpin lembaganya untuk
mau membuka diri dengan perubahan dan perkembangan era yang ada. Al
islaamushalihunlikullizamanwamakan, Islam adalah agama yang selalu sesuai dan
cocok untuk setiap era dan tempat termasuk di era 4.0 ini. Ketika para pemimpin
pendidikan Islam tidak mau mengikuti dan beradaptasi dengan perubahan yang ada,
maka umat Islam akan semakin tertinggal dengan kemajuan yang ada.
Oleh karena itu,
bagi para pemimpin lembaga pendidikan Islam perlu merubah, baik pikiran/
mindset, perilaku, dan perasaan sebagaimana yang dipaparkan oleh Rhenald Kasali
untuk mampu mengikuti perkembangan jaman. Terdapat beberapa hal yang perlu
menjadi fokus utama dalam melakukan reformulasi kepemimpinan pendidikan Islam
di era 4.0 ini, antara lain:
Pertama, penguatan
user. User atau pengguna di sini ialah masyarakat secara luas yang menggunakan
jasa pendidikan Islam. Masyarakat perlu diberi edukasi tentang tujuan
pendidikan Islam yang akan dicapai dengan menggunakan sarana-sarana yang serba
berbau teknologi tanpa menghilangkan nilai ke-Islam- an di dalamnya. Agar dapat
bernilai jual, kualitas yang dibangun pun seyogyanya tidak sebatas dari sudut
pandang produsen dalam hal ini lembaga pendidikan Islam, namun sudah mulai
merambah pada apa yang menjadi harapan dan keinginan masyarakat sehingga
orientasi mutu yang dibangunakan bersifat
applicable sesuai
dengan kebutuhanmasyarakat. Lembaga pendidikan Islam perlu menanyakan secara
langsung apa yang menjadi kebutuhan masyarakat saat ini sehingga dalam
merumuskan tujuan dan prosesnya akan sesuai dengan jawaban yang diharapkan oleh
masyarakat. Untuk itu, perlu dibangun mindset bahwa mutu adalah apa yang
menjadi harapan dan kebutuhan masyarakat.
Kedua, penguatan strategi.
Kepemimpinan lembaga pendidikan Islam diera 4.0 ini tidak lagi sebatas pada bagaimana agar
lembaga yang dipimpinnya dapat tetap eksis, namun harus lebih dari sekedar
eksis. KepemimpinanlembagapendidikanIslamera
4.0 ini harus mampu
berorientasi bagaimana pendidikan Islam mampu bersaing dan bahkan
menyaingipendidikan-pendidikan lain terutama pendidikan Barat yang saat ini
tengah berjaya yang tentunya dengan bercirikhas ke-Islam-an. Dengan demikian
momentum era 4.0 ini dapat menjadi pijakan untuk mengembalikankejayaan ilmu
pengetahuan Islam. Seorang pemimpin lembaga pendidikan Islam pun harus mampu
memberikan teladan bagi para anggotanya untuk mau belajar dalam penguasaan
teknologi dengan memberikan berbagai macam stimulus yang tentunya pemimpin
tersebut harus mampu menggunakan teknologi yang ada terlebih dahulu. Selain itu, pendidikan Islamj uga perlu diarahkan
untuk menjawabpermasalahan yang riil ada di kehidupan, bukansebatasteori
ataukonsepsehinggaperlu dirancang kurikulum pendidikan Islam beserta sarana
pembelajaran penunjang lainnya yang mampu menjawab permasalahan praktis di masyarakat.
Ketiga, penguatan
teknologi, sistem informasi dan komunikasi. Pemimpin lembaga pendidikan Islam
seyogyanya mulaimenyiapkan sarana dan prasarana pembelajaran berbasis teknologi
dengan tanpa meninggalkan sarana dan tradisi lama yang telah sesuai bagi
pencapaian tujuan pendidikan Islam. Pemenuhan kebutuhan teknologi dalam
pembelajaran ini penting diwujudkan sebagai terhadap adanya
perubahan. Justru di era saat ini, perubahan telah menjadi kebutuhan. Suatu
lembaga jika tetap bertahan dalam pengelolaannya akan kalah dengan lembaga yang
pengelolaannya lebih dinamis. Ketujuh, berpikirdanbertindak
strategik.Langkahdalam pengelolaan lembaga pendidikan Islam harus memiliki roadmap
yang jelas. Sasaran yang dicanangkan harus realistis dan terukur. Untuk itu,
reorientasi kurikulum dan visi pendidikan Islampenting
untukdilakukan.Kurikulum,visi, program tahunan,program semester harus jelas,
fleksibel, kontekstual, dan futuristik.
Self-Driving.
Organisasi yang tangkasdan dinamis dalam menyesuaikan diri terhadap disruption
adalah organisasi yang memiliki Sumber Daya Manusia (SDM) bermental pengemudi
yang baik (good drivers) bukan penumpang (passanger). SDM yang bermental good
driver akan membuka diri, cepat dan tepat membaca situasi, berintegritas, tangkas
dalam bertindak, waspada terhadap segala kemungkinan buruk serta mampu
bekerjasecara efektif, inovatif, dan efisien. Kemampuan-kemampuan tersebut
dibutuhkan oleh para pemimpin dan pengelola lembaga pendidikan Islam. Mereka
dituntut agar mampu menjadi pengemudi yang handal bagi lembaganya. Oleh karena
itu, kompetensi manajerial saja belumlah cukup dan harus diiringi
dengankemampuan memimpin. Sementara SDM yang bermental penumpang akan cenderung
birokratis, kaku, lambat, dan kurang disiplin.
Reshape or Create.
Terdapat sebuah analogi pemikiran yang populer di kalangan umat Islam yang hingga saat ini masih dipegang teguh,
yaitu mempertahankan yang lama yang baik dan mengambil yang baru yang lebih
baik. Di era revolusi industri 4.0 perlu adanya perombakan yang tidak sedikit
mulai dari tataran manejemen dan profesionalitas SDM yang memerlukan
peningkatan kompetensi dan kapasitasnya. Hal tersebut dapat dilakukan dengan
berbagai cara, antara lain melalui diklat pelatihan, seminar, loka karya,
beasiswa studi, dan sebagainya. Cara lain untuk menyikapi era revolusi industri 4.0 dapat dilakukan dengan upaya mengikuti
dan beradaptasi terhadap kemajuan di era 4.0. Sistem informasi dan komunikasi
yang dapat melayani dengan cepat, tepat, dan efektif pun perlu dibangun demi
menunjang penyesuaian terhadap era 4.0 dalam dunia pendidikan. Semua sistem
yang dibangun diarahkan pada pencapaian tujuan pendidikan yang tidak sekedar
pemuasan terhadap rasahaus intelektual, namun hal yang lebih utama ialah
peningkatan kualitas akhlak. Segala teknologi, sistem informasi dan komunikasi
yang dibangun dilandaskan bagi pencapaian tujuan pendidikan Islam itu sendiri.
Revolusi industri
4.0 dengan disruptive innovation-nya menempatkan pendidikan Islam termasuk
kepemimpinan para pengambil kebijakan di dalamnyadalam perjuangan eksistensi
yang kuat dan ketat. Perjuangan tersebut membawa dampak dan implikasi yang
beragam. Penyelenggara Pendidikan Islam berhak untuk memilih dan memposisikan
dirinya dan sudah saatnya pendidikan Islammau membuka diri dan menerima era
disrupsi dengan segala konsekuensinya, maka ia akan mampu turut bersaing dengan
yang lain. Bagi para pemimpin lembaga pendidikan Islam perlu disadari bahwa
dalam mengikuti perkembangan era ini dengan segala perkembangan teknologi dan
komunikasi, nilai-nilai Islam perlu menjadi landasan dalam pengembangannya agar
jangan sampai para generasi Islam melek teknologi, unggul intelektual, namun
miskin akan moral dan ketika itu terjadi sesungguhnya bukan keberhasilan yang
dicapai, namun justru kegagalan pendidikan Islam itu sendiri.
KESIMPULAN
Reformulasi
kepemimpinan pendidikan Islam di era revolusi industri 4.0 perludilakukan agar
pendidikan Islam tidak hanya sebatas mampu menjaga eksistensinya, namun juga
mampu berdaya saing di kancah pendidikan global dengan tujuan utama peningkatan
kualitas akhlak yang diimbangi dengan intelektual yang unggul bagi para
generasiIslam.Terdapatbeberapalangkahyang perlu dilakukan untuk mereformulasi
kepemimpinan pendidikan Islam diera 4.0 ini, yaitu: disruptive mindset, self-driving, dan reshape or create. Dengan
langkah-langkah tersebut para pemimpin pendidikan Islam akan mampu memberikan
terobosan-terobosan bagi pengembangan pendidikan Islam dan memberikan jaminan
kepuasan bagi para penggunanya.
Reformulasi
kepemimpinan pendidikan Islam ini juga perlu didukung pula dengan penguatan
terhadap user, penguatan strategi,dan penguatan teknologi informasi dan
komunikasi yang berlandaskan pada nilai-nilai ke-Islam-an dan applicable sehinggapendidikan
Islam mampu menjawab apa yang menjadi harapan dan kebutuhan masyarakat, bukan
lagi sebatas pada pendidikan yang melangit namun lupa bahwa ia ada di bumi.
Akhirnya, revolusi industri 4.0 dengan disruptive innovation-nya menempatkan
pendidikan Islam dan kepemimpinan para pengambil kebijakan di dalamnya dalam
perjuangan eksistensi yang kuat dan ketat. Perjuangan tersebut membawa dampak
dan implikasi yang beragam. Penyelenggara pendidikan Islam sudah saatnya untuk
memilih dan memposisikan dirinya untuk mau membuka diri dan menerima era disrupsi dengan tanpa meninggalkan akar
ke-Islam-annya agar ia akan mampu mewujudkan tujuan pendidikan Islam dan
berdaya saing dengan yang lain.
DAFTARPUSTAKA
Abdullah, A. S.
(1990). Teori-teori Pendidikan Berdasarkan Al-Qur’an (Terj. M. Arifin &
Zainuddin). Jakarta: PT Rineka Cipta.
Daradjat, Z.
(1995). Pendidikan Islam dalam Keluarga dan Sekolah. Jakarta: Ruhama.
Haris, M. (2019).
Manajemen Lembaga Pendidikan Islam dalam Menghadapi Revolusi Industri 4.0. Jurnal
Manajemen Pendidikan, 1(1), 45–57.
Indrafachrudi, S.,
dkk. (1993). Pengantar Kepemimpinan Pendidikan. Surabaya: Usaha Offset
Printing.
Juwariyah. (2010). Dasar-dasar
Pendidikan Anak dalam Al-Qur’an. Yogyakarta: Teras.
Kasali, R. (2017). Disruption:
“Tak Ada yang Tak Bisa Diubah Sebelum Dihadapi – Motivasi Saja Tidak Cukup”
Menghadapi Lawan Tak Kelihatan dalam Peradaban Uber. Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama.
Langgulung, H.
(1988). Pendidikan Islam. Jakarta: Pustaka Al-Husna.
Ma’arif, S. (2007).
Revitalisasi Pendidikan Islam. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Muchtar, H. J.
(2005). Fikih Pendidikan. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Mulyasa, E. (2004).
Menjadi Kepala Sekolah Profesional. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Mulyono. (2012). Educational
Leadership. Malang: UIN-Malang Press.
Nizar, S. (2008). Memperbincangkan
Dinamika Intelektual dan Pemikiran Hamka tentang Pendidikan Islam. Jakarta:
Kencana.
Qomar, M. (2009). Manajemen
Pendidikan Islam. Jakarta: Erlangga.
Roqib, M. (2009). Ilmu
Pendidikan Islam. Yogyakarta: LKiS.
Saebani, B. A.
(2012). Filsafat Manajemen. Bandung: Pustaka Setia.
Umar, B. (2010). Ilmu
Pendidikan Islam. Jakarta: Amzah.
Yunus, M. (tanpa
tahun). Pokok-pokok Pendidikan dan Pengajaran. Jakarta: Hidakarya Agung.
Zainuddin, M.,
& Mustaqim, A. (2012). Studi Kepemimpinan Islam: Konsep, Teori, dan
Praktiknya dalam Sejarah. Yogyakarta.