A.
Tanda
Tanda
menurut KBBI adalah yang menjadi alamat atau yang menyatakan
sesuatu. Tanda atau sign dapat
dikatakan sebagai substitusi (penggantian) untuk hal lain. Oleh karena itu,
tanda memerlukan interpretasi.
Teori tanda
telah dikembangkan oleh seorang pemikir Amerika, Peirce, pada abad ke-18.
Keberadaan teori tentang tanda ini kemudian dipertegas dengan munculnya buku
The Meaning of Meaning: A Study of The
Influence of Langue upon Thought and of the Science of Syombolism karya
C.K. Odgen dan I.A. Richards tahun 1923.
Teori tanda mengalami perkembangan,
dan kemudian dikenal dengan teori semiotik yang dikenal atas tiga cabang, yaitu
(a) semantik, (b) sintaksis,
dan (c) pragmatik. Semantik
berhubungan dengan makna tanda-tanda, sintaksis berhubungan dengan kombinasi
atau gabungan tanda-tanda, sedangkan pragmatik berhubungan dengan asal-usul,
pemakaian, dan akibat pemakaian tanda-anda di dalam tingkah laku berbahasa.
Ada beberapa
cara pengelompokan tanda. Berdasarkan sumber atau asal-usulnya, tanda dibedakan
menjadi tiga jenis, yaitu: Tanda yang ditimbulkan oleh alam yang diketahui
manusia karena pengalaman, misalnya:
a) Hari mendung
adalah tanda akan segera turun hujan,
b) Asap
membumbung adalah tanda adanya kebakaran,
c) Petir adalah
tanda hujan akan turun lebat;
Tanda yang
ditimbulkan oleh binatang yang diketahui manusia dari suara binatang tersebut,
misalnya:
a) Anjing
menggonggong adalah tanda ada orang yang masuk halaman rumah,
b) Ayam
berkokok adalah tanda hari mulai pagi;
a) Tanda yang
ditimbulkan oleh manusia.
Tanda yang
ditimbulkan oleh manusia dibedakan menjadi dua jenis yaitu, bersifat verbal dan
bersifat nonverbal. Tanda yang bersifat verbal adalah tanda-tanda yang
digunakan sebagai alat komunikasi, diihasilkan oleh alat bicara, sedangkan
tanda bersifat nonverbal adalah tanda-tanda yang dihasilkan selain dari alat
bicara manusia.
Berikut contoh tanda yang bersifat
nonverbal melalui gerakan anggota badan (body
gesture) atau dikenal dengan istilah bahasa isyarat dan yang bersifat
nonverbal melalui suara atau bunyi. Contoh tanda yang bersifat nonverbal
melalui gerakan anggota badan, yaitu:
a) acungan
jempol sebagai tanda hebat atau bagus,
b) anggukan
sebagai tanda hormat atau pernyataan ya,
c) gelengan
kepala sebagai tanda pernyataan tidak atau bukan.
Contoh tanda yang bersifat nonverbal melalui suara atau bunyi, yaitu:
a) siulan
sebagai tanda gembira, panggilan,
b) jeritan
sebagai tanda sakit, ada bahaya, permintaan pertolongan,
c) batuk kecil
sebagai tanda ingin berkenalan, ada orang lewat.
Tanda-tanda
dapat dibagi atas, (a) tanda yang sistematis dan (b) tanda yang tidak
sistematis. Tanda yang dimbulkan oleh anggota badan termasuk tanda yang tidak
sistematis, sedangkan tanda-tanda berupa rambu-rambu lalu-lintas termasuk tanda
yang sistematis. Dikatakan sistematis karena tanda-tanda tersebut bergerak
secara sistematis, misalnya warna merah bermakna berhenti, warna hijau bermakna
silakan jalan, dan warna kuning bersiap untuk melanjutkan perjalanan.
Tanda dapat
pula dibedakan berdasarkan indera yang digunakan sebagai dasar acuan. Berdasarkan
hal ini, tanda terbagi menjadi tiga jenis, yakni:
a) auditif (indera pendengaran), misalnya beduk sebagai
tanda tibanya waktu sholat; sirene
sebagai tanda ada orang terkena musibah (sakit atau meninggal), bel sebagai
tanda ada tamu yang hendak masuk ke rumah;
b) visual (berhubungan dengan
indera penglihatan), misalnya rambu lalu-lintas;
c) audio-visual (berhubungan
dengan penglihatan dan pendengaran), misalnya ambulans yang membunyikan sirene
dan lampu merah yang berputar-putar di atasnya sebagai tanda minta diberi jalan
agar bisa segera sampai ke tujuan (rumah sakit atau tempat pemakaman).
Ada pula tanda yang
diklasifikasikan berdasarkan perbedaan yang fundamental. Perbedaan tersebut
meliputi: (1) ikonik (pembayangan), seperti :foto, peta, model ; dan (2)
konvensional (berdasarkan kesepakatan umum) misalnya bahasa karena bahasa
adalah sistem tanda yang konvensional.
Tanda berbeda dengan simbol atau
lambang. Perbedaannya terlatak pada hubungannya dengan kenyataan. Tanda memilki
hubungan langsung dengan kenyataan, sedangkan lambang atau simbol tidak
memiliki hubungan langsung dengan kenyataan. Misalnya, papan yang berbentuk
bulat bercat putih dan di tengahnya terdapat lintangan berwarna merah yang
dipasang pada sebuah patok di satu di antara sudut jalan adalah tanda yang
bermakna bahwa jalan itu dilarang untuk dimasuki kendaraan. Orang-orang yang
melihat tanda tersebut tidak akan memasuki jalan yang dikenakan tanda itu.
Disamping itu, tanda lebih bersifat universal. Artinya, siapa pun orangnya,
dari mana pun ia berasal, ia akan tahu makna tanda tersebut tanpa harus
mempelajari bahasa suatu negara tersebut, sedangkan simbol atau lambang tidak
bersifat universal karena seseorang akan dapat memahami suatu lambang kalau ia
menguasai bahasa dari lambang atau simbol yang digunakan.
B.
Lambang atau simbol
Lambang memiliki pengertian sebagai sesuatu seperti tanda (lukisan,
tulisan, perkataan) yang menyatakan suatu hal, yang mengandung suatu makna
tertentu. Chaer mengemukakan (2013: 37) bahwa lambang sebenarnya juga adalah
tanda. Hanya bedanya lambang tidak memberi tanda secara langsung, melainkan
melalui sesuatu yang lain. Misalnya warna merah pada bendera Sang Merah Putih
merupakan lambang “keberanian”, dan warna putih merupakan lambang “kesucian”.
Gambar padi dan kapas pada burung Garuda Pancasila melambangkan”keadilan sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia”.
Lambang atau simbol merupakan tanda yang bersifat konvensional yang
dihasilkan manusia melalui alat ucapnya. Menurut Plato dalam Prawirasumantri
(1998: 24) bahwa lambang atau simbol adalah kata dalam suatu bahasa, sedangkan
makna adalah objek yang kita hayati di dunia yang berupa rujukan oleh lambang
tersebut. Seperti kata Odgen dan Ridchard (1972: 9) dalam Chaer (2013: 38)
bahwa lambang ini bersifat konvensional , perjanjian; tetapi ia dapat
diorganisasi, direkam dan dikomunikasikan.
Bunyi-bunyi bahasa atau satuan bahasa sebenarnya termasuk lambang sebab
sifatnya konvensional. Untuk memahami makna atau yang diacu oleh bunyi-bunyi
bahasa itu kita harus mempelajarinya. Tanpa memepelajarinya, orang Inggris
tidak akan tahu bahwa dalam bahasa Indonesia adalah ‘table’ dalam
bahasanya.
C.
Konsep
‘Konsep’ merupakan istilah yang diajukan Lyons sebagai pengganti istilah
‘thought’ atau ‘reference’. Istilah ‘konsep’ sebenarnya sama dengan istilah
‘makna’. Jika kita berbicara tentang konsep atau makna, kita tidak bisa
mengabaikan keberadaan dua unsure dasar dalam sistem tanda yang secara langsung
memiliki hubungan dengan konsepatau makna, yaitu:
1)
Signifiant: unsur abstrak yang terwujud dalam lambang atau simbol,
2)
Signifikantor: yang dengan adanya makna dalam lambang atau simbol itu mampu
mengadakan penjulukan, melakukan proses berfikir, dan mengadkan
konseptualisasi.
Lambang
atau simbol adalah satuan bahasa yang
berupa kata atau kalimat; acuan atau referent
adalah objek, peristiwa, fakta atau proses di dalam dunia pengalaman
manusia, sedangkan konsep atau pikiran atau reference
adalah apa yang ada dalam benak kita tentang objek yang ditunjukan oleh lambang
atau simbol.
Antara
konsep dan lambang terdapat hubungan timbale balik. Misalnya, kata ‘’rokok’
yang diujarkan oleh seorang penutur dapat menyebabkan penanggap tutur
memikirkan kata tersebut. Demikian pula si penutur. Dengan konsepnya dia
memakai lambang “r-o-k-o-k’ untuk mengacu pada objek yang sama. Dengan kata lain, sebelum seseorang mengatakan suatu
lambang, di dalam benaknya sudah ada konsep (makna). Kemudian lambang itu
dimaknai oleh si penanggap tutur.
Setiap
lambang atau simbol yang berupa kata mempunyai konsep. Konsep dapat dikenali
dalam keberadaanya sendiri (lepas atau bebas konteks) atau melalui relasi
dengan satuan bahasa lainnya (terikat konteks). Kata berkonsep yang bebas
konteks terbagi menjadi dua bagian, yaitu yang acuannya dapat dihindari dan
yang acuannya tidak dapat dihindari. Dengan demikian, ada tiga kelompok kata
yang dimanfaatkan untuk kegiatan komunikasi, yaitu:
1) kata yang berkonsep, bebas
konteks, acuannya dapat dihindari; ‘kursi’, ‘anggur’, ‘lemari’, ‘kuda’;
2) kata yang berkonsep, bebas
konteks, acuannya tidak dapat dihindari: ‘demokrasi’, ‘sakit’, ‘panjang’;
3) kata yang berkonsep, tetapi
harus terikat konteks: ‘yang’, ‘tetapi’, ‘dan’, ‘karena’.
Daftar
Pustaka
Pateda, Mansur. 1986. Semantik Leksikal. Ende-Flores: Nusa Indah.
Sulistyowati. 2002. Kamus Lengkap
Bahasa Indonesia. Jakarta: CV. Buana Raya.
Prawirasumantri, Abud.,dkk.
1998. Semantik Bahasa Indonesia: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Chaer, Abdul. 2013. Pengantar
Semantik Bahasa Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta.
No comments:
Post a Comment