BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Konsep
sosiologi sastra didasarkan pada dalil bahwa karya sastra ditulis oleh seorang
pengarang, dan pengarang merupakan a salient being, makhluk yang mengalami
sensasi-sensasi dalam kehidupan empirik masyarakatnya. Dengan demikian, sastra
juga dibentuk oleh masyarakatnya, sastra berada dalam jaringan sistem dan nilai
dalam masyarakatnya. Dari kesadaran ini muncul pemahaman bahwa sastra memiliki
keterkaitan timbal-balik dalam derajat tertentu dengan masyarakatnya, dan
sosiologi sastra berupaya meneliti pertautan antara sastra dengan kenyataan
masyarakat dalam berbagai dimensinya (Soemanto, 1993).
Konsep
dasar sosiologi sastra sebenarnya sudah dikembangkan oleh Plato dan Aristoteles
yang mengajukan istilah ‘mimesis’, yang menyinggung hubungan antara sastra dan
masyarakat sebagai ‘cermin’. Pengertian mimesis (Yunani: perwujudan atau
peniruan) pertama kali dipergunakan dalam teori-teori tentang seni seperti
dikemukakan Plato (428-348) dan Aristoteles (384-322), dan dari abad ke abad
sangat memengaruhi teori-teori mengenai seni dan sastra di Eropa (Van
Luxemburg, 1986:15).
Menurut
Plato, setiap benda yang berwujud mencerminkan suatu ide asli (semacam gambar
induk). Seni pada umumnya hanya menyajikan suatu ilusi (khayalan) tentang
‘kenyataan’ (yang juga hanya tiruan dari kenyataan yang sebenarnya) sehingga
tetap jauh dari kebenaran.
Aristoteles
juga mengambil teori mimesis Plato yakni seni menggambarkan kenyataan, tetapi
dia berpendapat bahwa mimesis tidak semata-mata menjiplak kenyataan melainkan
juga menciptakan sesuatu yang baru karena kenyataan itu tergantung pula pada
sikap kreatif orang dalam memandang kenyataan. Jadi sastra bukan lagi copy
(jiplakan) atas copy (kenyataan) melainkan sebagai suatu ungkapan atau
perwujudan mengenai universalia (konsep-konsep umum). Dari kenyataan yang
wujudnya kacau, penyair memilih beberapa unsur lalu menyusun suatu gambaran
yang dapat kita pahami, karena menampilkan kodrat manusia dan kebenaran
universal yang berlaku pada segala jaman.
Sosiologi
sastra tidak terlepas dari manusia dan masyarakat yang bertumpu pada karya
sastra sebagai objek yang dibicarakan. Sosiologi sebagai suatu pendekatan
terhadap karya sastra yang masih mempertimbangkan karya sastra dan segi-segi
sosial.
1.2 RUMUSAN MASALAH
Dalam latar belakang yang
telah kami tulis maka rumusan masalah yang akan kami bahas adalah:
1. Apa
yang dimaksud dengan sosiologi sastra?
2. Apa
saja teori-teori pendekatan sosiologi sastra?
3. Apa
saja Pembagian sosiologi Sastra Menurut Wellek dan Warren?
4. Apa
saja Klasifikasi sosiologi Sastra Menurut Ian Watt?
5. Apa
kaitan Sastra dengan Masyarakat?
1.3 TUJUAN PENULISAN
Berdasarkan rumusan masalah
yang kami buat, maka tujuan penulisan makalah yang kami buat antara lain:
1. Dapat
mendefinisikan apa yang dimaksud dengan sosiologi sastra;
2. Dapat
mengetahui apa saja teori-teori pendekatan sastra;
3. Dapat
mengetahui Pembagian sosiologi Sastra Menurut Wellek dan Warren;
4. Dapat
mengklsifikasikan sosiologi Sastra Menurut Ian Watt;
5. Dapat
mengetahui kaitan antara Sastra dengan Masyarakat.
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Sosiologi Sastra
Sosiologi
sastra berasal dari kata sosiologi dan sastra. Sosiologi berasal dari kata sos
(Yunani) yang berarti bersama, bersatu, kawan, teman, dan logi (logos) berarti sabda,
perkataan, perumpamaan. Sastra dari akar kata sas (Sansekerta) berarti
mengarahkan, mengajarkan, memberi petunjuk dan instruksi. Akhiran tra berarti
alat, sarana. Merujuk dari definisi tersebut, keduanya memiliki objek yang sama
yaitu manusia dan masyarakat. Meskipun demikian, hakikat sosiologi dan sastra
sangat berbeda bahkan bertentangan secara dianetral.
Menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia( 1989: 855 ). sosiologi sastra merupakan
pengetahuan tentang sifat dan perkembangan masyarakat dari atau mengenai sastra
karya para kritikus dan sejarawan yang terutama mengungkapkan pengarang yang
dipengaruhi oleh status lapisan masyarakat tempat ia berasal, ideologi politik
dan soaialnya, kondisi ekonomi serta khalayak yang ditujunya.
Sosiologi
merupakan ilmu pengetahuan kemasyarakatan umum yang merupakan hasil terakhir
dari pada perkembangan ilmu pengetahuan. Sosiologi lahir pada saat-saat
terakhir perkembangan ilmu pengetahuan, oleh karena sosiologi didasarkan pada
kemajuan-kemajuan yang telah dicapai ilmu-ilmu pengetahuan lainnya. Selanjutnya
Camte berkata bahwa sosiologi dibentuk berdasarkan pengamatan dan tidak pada
spekulasi-spekulasi perihal keadaan masyarakat dan hasil- hasil observasi
tersebut harus disusun secara sistematis dan metodologis (Suekanto, 1982: 4 ).
Sosiologi
adalah ilmu objektif kategoris, membatasi diri pada apa yang terjadi dewasa ini
(das sain) bukan apa yang seharusnya terjadi (das solen). Sebaliknya karya
sastra bersifat evaluatif, subjektif, dan imajinatif.
Sosiologi
sastra merupakan pendekatan yang bertolak dari orientasi kepada semesta, namun
bisa juga bertolak dari orientasi kepada pengarang dan pembaca. Menurut
pendekatan sosiologi sastra, karya sastra dilihat hubungannya dengan kenyataan,
sejauh mana karya sastra itu mencerminkan kenyataan. Kenyataan disini
mengandung arti yang cukup luas, yakni segala sesuatu yang berada diluar karya
sastra dan yang diacu oleh karya sastra. Demikianlah, pendekatan sosiologi
sastra menaruh perhatian pada aspek dokumenter sastra, dengan landasan suatu
pandangan bahwa sastra merupakan gambaran atau potret fenomena sosial. Pada
hakikatnya, fenomena sosial itu bersifat konkret, terjadi di sekeliling kita
sehari-hari, bisa di observasi, di foto, dan di dokumentasikan. Oleh pengarang,
fenomena itu diangkat kembali menjadi wacana baru dengan proses kreatif
(pengamatan, analisis, interpretasi, refleksi, imajinasi, evaluasi, dan
sebagainya) dalam bentuk karya sastra.
Sastra
menyajikan gambaran kehidupan, dan kehidupan itu sendiri sebagian besar terdiri
dari kenyataan sosial. Dalam pengertian ini, kehidupan mencakup hubungan antar
masyarakat dengan orang-orang, antar manusia, antar peristiwa yang terjadi
dalam batin seseorang. Maka, memandang karya sastra sebagai penggambaran dunia
dan kehidupan manusia, kriteria utama yang dikenakan pada karya sastra adalah
“kebenaran” penggambaran atau yang hendak digambarkan. Namun Wellek dan Warren
mengingatkan, bahwa karya sastra memang mengekspresikan kehidupan, tetapi
keliru kalau dianggap mengekspresikan selengkap-lengkapnya. Hal ini disebabkan
fenomena kehidupan sosial yang terdapat dalam karya sastra tersebut kadang
tidak disengaja dituliskan oleh pengarang, atau karena hakikat karya sastra itu
sendiri yang tidak pernah langsung mengungkapkan fenomena sosial, tetapi secara
tidak langsung, yang mungkin pengarangnya sendiri tidak tahu.
Pengarang
merupakan anggota yang hidup dan berhubungan dengan orang- orang yang berada
disekitarnya, maka dalam proses penciptaan karya sastra seorang pengarang tidak
terlepas dari pengaruh lingkungannya. Oleh karena itu, karya sastra yang lahir
ditengah-tengah masyarakat merupakan hasil pengungkapan jiwa pengarang tentang
kehidupan, peristiwa, serta pengalaman hidup yang telah dihayatinya. Dengan
demikian, sebuah karya sastra tidak pernah berangkat dari kekosongan sosial.
Artinya karya sastra ditulis berdasarkan kehidupan sosial masyarakat tertentu
dan menceritakan kebudayaan-kebudayaan yang melatar belakanginya.
2.2 Teori Pendekatan Sosiologi Sastra
Menurut
Ratna (2003 : 2) ada sejumlah definisi mengenai sosiologi sastra yang perlu
dipertimbangkan dalam rangka menemukan objektivitas hubungan antara karya
sastra dengan masyarakat, antara lain:
1. Pemahaman terhadap karya sastra
dengan pertimbangan aspek kemasyarakatannya.
2. Pemahaman terhadap totalitas karya
yang disertai dengan aspek kemasyarakatan
yang terkandung didalamnya.
3.
Pemahaman terhadap karya sastra sekaligus hubungannya dengan masyarakat
yang melatar belakanginya.
4.
Sosiologi sastra adalah hubungan dua arah (dialektik) antara sastra
dengan masyarakat.
5.
Sosiologi sastra berusaha menemukan kualitas interdependensi antara
sastra dengan masyarakat.
2.3 Pembagian sosiologi Sastra
Menurut Wellek dan Warren
Wellek
dan Warren (1956: 84, 1990: 111) membagi sosiologi sastra sebagai berikut :
1. Sosiologi pengarang, profesi pengarang, dan
institusi sastra, masalah yang berkaitan disini adalah dasar ekonomi produksi
sastra, latar belakang sosial status pengarang, dan idiologi pengarang yang
terlibat dari berbagai kegiatan pengarang diluar karya sastra, karena setiap
pengarang adalah warga masyarakat, ia dapat dipelajari sebagai makhluk sosial.
Biografi pengarang adalah sumber utama, tetapi studi ini juga dapat meluas ke lingkungan
tempat tinggal dan asal. Dalam hal ini, informasi tentang latar belakang
keluarga, atau posisi ekonomi pengarang akan memiliki peran dalam pengungkapan
masalah sosiologi pengarang (Wellek dan Warren, 1990: 112)
2. Sosiologi karya sastra yang memasalahkan
karya sastra itu sendiri yang menjadi pokok penelaahannya atau apa yang
tersirat dalam karya sastra dan apa yang menjadi tujuannya. Pendekatan yang
umum dilakukan sosiologi ini mempelajari sastra sebagai dokumen sosial sebagai
potret kenyataan sosial. (Wellek dan Warren, 1990: 122) Beranggapan dengan
berdasarkan pada penelitian Thomas Warton (penyusun sejarah puisi Inggris yang
pertama) bahwa sastra mempunyai kemampuan merekam ciri-ciri zamannya. Bagi
Warton dan para pengikutnya sastra adalah gudang adat-istiadat, buku sumber
sejarah peradaban.
3. Sosiologi sastra yang memasalahkan pembaca
dan dampak sosial karya sastra, pengarang dipengaruhi dan mempengaruhi
masyarakat, seni tidak hanya meniru kehidupan, tetapi juga membentuknya. Banyak
orang meniru gaya hidup tokoh-tokoh dunia rekaan dan diterapkan dalam
kehidupannya.
5.4 Klasifikasi sosiologi Sastra
Menurut Ian Watt (dalam Damono, 1989 : 3-4)
klasifikasi
menurut Ian Watt (dalam Damono, 1989 : 3-4) yang meliputi hal-hal berikut:
1.
Konteks Sosial Pengarang
Ada
kaitannya dengan posisi sosial sastrawan dalam masyarakat, dan kaitannya dengan
masyarakat, pembaca termasuk juga faktor-faktor sosial yang dapat mempengaruhi
karya sastranya, yang terutama harus diteliti yang berkaitan dengan :
1) Bagaimana pengarang mendapat mata
pencahariannya, apakah ia mendapatkan dari pengayoman masyarakat secara
langsung, atau pekerjaan yang lainnya;
2) Profesionalisme dalam kepengaragannya; dan
2. Sastra Sebagai Cermin Masyarakat
Maksudnya
seberapa jauh sastra dapat dianggap cermin keadaan masyarakat. Pengertian
“cermin” dalam hal ini masih kabur, karena itu, banyak disalah tafsirkan dan
disalah gunakan. Yang harus diperhatikan dalam klasifikasi sastra sebagai
cermin masyarakat adalah :
1) Sastra mungkin tidak dapat dikatakan
mencerminkan masyarakat pada waktu ditulis, sebab banyak ciri-ciri masyarakat
ditampilkan dalam karya itu sudah tidak berlaku lagi pada waktu ia ditulis;
2) Sifat “lain dari yang lain” seorang pengarang
sering mempengaruhi pemilihan dan penampilan fakta-fakta sosial dalam karyanya;
3) Genre sastra sering merupakan sikap sosial
suatu kelompok tertentu, dan bukan sikap sosial seluruh mayarakat;
4) Sastra yang berusaha untuk menampilkan
keadaan masyarakat secermat-cermatnya mungkin saja tidak dapat dipercaya
sebagai cermin masyarakat.
Sebaliknya,
sastra yang sama sekali tidak dimaksudkan untuk menggambarkan masyarakat
mungkin masih dapat digunakan sebagai bahan untuk mendapatkan informasi tentang
masyarakat tertentu. Dengan demikian, pandangan sosial pengarang diperhitungkan
jika peneliti karya sastra sebagai cermin masyarakat.
3. Fungsi Sosial Sastra
Maksudnya
seberapa jauh nilai sastra berkaitan dengan nilai-nilai sosial. Dalam hubungan
ini ada tiga hal yang harus diperhatikan, yaitu sebagai berikut:
1) Sudut pandang ekstrim kaum Romantik yang
menganggap sastra sama derajatnya dengan karya pendeta atau nabi. Karena itu,
sastra harus berfungsi sebagai pembaharu dan perombak;
2) Sastra sebagai penghibur saja;
3) Sastra harus mengajarkan sesuatu dengan cara
menghibur.
2.5 Penelitian Mengenai Sastra
dengan Masyarakat
Menurut
Ratna (2003: 332) ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan mengapa sastra
memiliki kaitan erat dengan masyarakat dan dengan demikian harus diteliti dalam
kaitannya dengan masyarakat, sebagai berikut:
1. Karya sastra ditulis oleh pengarang,
diceritakan oleh tukang cerita, disalin oleh penyalin, dan ketiganya adalah
anggota masyarakat.
2. Karya sastra hidup dalam masyarakat,
menyerap aspek-aspek kehidupan yang terjadi dalam masyarakat yang pada
gilirannya juga di fungsikan oleh masyarakat.
3. Medium karya sastra baik lisan maupun
tulisan dipinjam melalui kompetensi masyarakat yang dengan sendirinya telah
mengandung masalah kemasyarakatan.
4. Berbeda dengan ilmu pengetahuan,
agama, adat-istiadat dan tradisi yang lain, dalam karya sastra terkandung
estetik, etika, bahkan juga logika. Masyarakat jelas sangat berkepentigan
terhadap ketiga aspek tersebut.
5.
Sama dengan masyarakat, karya sastra adalah hakikat intersubjektivitas,
masyarakat menemukan citra dirinya dalam suatu karya.
Berdasarkan
uraian tersebut dapat dikatakan bahwa sosiologi sastra dapat meneliti melalui
tiga perspektif. Pertama, perspektif teks sastra, artinya peneliti
menganalisisnya sebagai sebuah refleksi kehidupan masyarakat dan sebaliknya.
Kedua, persepektif biologis yaitu peneliti menganalisis dari sisi pengarang.
Perspektif ini akan berhubungan dengan kehidupan pengarang dan latar kehidupan
sosial, budayanya. Ketiga, perspektif reseptif, yaitu peneliti menganalisis
penerimaan masyarakat terhadap teks sastra.
BAB
III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Sastra
dapat dikatakan sebagai cermin masyarakat, atau diasumsikan sebagai salinan
kehidupan, tidak berarti struktur masyarakat seluruhnya dapat tergambar dalam
sastra, hanya gambaran masalah masyarakat secara umum yang ditinjau dari sudut
lingkungan tertentu yang terbatas. Sosiologi sastra lebih memperoleh tempat
dalam penelitian sastra karena sumber-sumber yang dijadikan acuan mencari
keterkaitan antara permasalahan dalam karya sastra dengan permasalahan dengan
masyarakat lebih mudah diperoleh.
.
3.2 Saran
Dalam
makalah ini, mungkin masih ada kesalahan maupun kekurangan. Oleh sebab itu,
diharapkan adanya pendapat-pendapat yang berkualitas sehingga mendukung
dilakukannya perbaikan demi kesempurnaan makalah ini.
No comments:
Post a Comment